Selasa, 06 November 2012

LATAR BELAKANG BERDIRINYA MATHLA’UL ANWAR


Kondisi Umum Masyarakat Banten
Sejak dihancurkannya kesultanan Banten pada tahun 1813 oleh Gubernur Jenderal Deandeles, praktis Banten dinyatakan daerah jajahan Belanda. Kekuatan Belanda di Banten memaksa perubahan, dan sejak itu seluruh daeah di Banten mengalami guncangan. Sebab ketika penetrasi kolonial secara intensif menyentuh kehidupan sehari-hari rakyat melalui pajak yang berat, pengerahan tenaga buruh yang berlebihan, dan peraturan yang menindas,  serta tekanan militer yang represif, jelas realitas sosial-politik di Banten dirasakan sebagai kenyataan yang jauh dari apa yang mereka harapkan. 

Kolonialisme sebagai bentuk penguasaan wilyah memiliki system administrasi yang sistematis dengan mengatur segala kewenangan organisasi sosial-politik di kawasan kolonial sesuai dengan keperluan negara jajahan. Sistem itu bertentangan dengan apa yang diharapkan dalam bentuk harmoni sosial.

Lebih dari itu kehadiran kolonialisme Belanda bukan hanya menghancurkan tata-niaga masyarakat pribumi, system ekonomi  dan politik tradisional, tetapi juga menghancurkan system idiologi negara sebagai pemersatu bangsa, sehingga kesatuan rakyat di negara jajahan bercerai berai, yang juga mengakibatkan terjadinya koflik dan peperangan antar golongan dalam kebangkrutan politik tersebut. Demikianlah politik adu domba yang dilancarkan Belanda menyebabkan terjadinya perselisihan dan sengketa politik antar elite dan pewaris kesultanan yang tak jarang melahirkan peperangan local.

Perpecahan politik ini melengkapi kemunduran structural sosial masyarakat Banten. Kekacauan politik yang juga diikuti oleh kemerosotan ekonomi, sekaligus disertai dengan marginalisasi masyarakat. Sebagian penduduk kembali ke daerah-daerah pelosok pedesaan dan di sinilah pendidikan agama Islam dikembangkan dengan fasilitas yang seadanya dan dengan orientasi yang teramat anti-kolonialisme. 

Ketika tata kehidupan tradisional yang membentuk harmoni sosial masyarakat mengalami penghancuran, sebagian mereka  membentuk pandangan-pandangan baru dan tumbuhnya mitologi keagamaan yang kian mengental dalam kehidupan masyarakat. Demikian ini sebagian besar yang mayoritas petani kembali ke alam pikiran masa lalunya, semacam restorasi tradisi, dengan mencari tulang punggung ketenangan dan ketenteraman teologis yang pernah dirasakan sebelumnya.

Idiolegi keagamaan semacam itu menimbulkan rasa kebencian yang dalam terhadap kolonialisme. Sehingga sebagian dari elte agama membentuk fron perlawanan terhadap penjajahan Belanda tanpa henti. Guru agama/kyai tidak hanya mengambil jarak dengan pemerintah kolonial, tapi juga menjadikan kegiatan-kegiatan sosial-keagamaan itu dinyatakan sebagai jalan jihad melawan kolonialisme Belanda. Mereka memilih menjadi buronan yang selalu diawasi dan dikejar-kejar oleh pemerintah. Karena itu sering terjadi pemberontakan dan perlawanan walau banyak di antara para tokoh dan pimpinan agama Islam di Banten yang tertangkap dan kemudian dibuang ke negeri orang. 

Juga tak sedikit para kyai/Guru Agama yang ‘uzlah meninggalkan keramaian kota dan masuk ke pedalaman. Kelompok ini membuka lembaran baru dengan cara bertani sambil mengajarkan ilmu agama Islam secara mandiri.  Dengan demikian bahkan mereka tetap mempunyai akar yang kuat dan mendapat tempat terhormat di kalangan masyarakat.  

Pada zaman ini muncul kembali kepercayaan-kepercayaan tradisional sebagai bentuk simbolisme harmoni hubungan manusia dengan lingkungan alamnya. Masyarakat petani yang walaupun sudah memluk agama Islam, jika memulai menuai padi, terlebih dahulu akan mengadakan upacara “mipit”.  Upacara ini adalah membuat sesajian untuk menyuguh Dewi Sri atau Sri Pohaci yang dipercaya sebagai dewi padi yang berwenang untuk memberkahi padi.  Suatu jangjawokan (mantera dalam bahasa Sunda) yang sudah menjadi aksioma adalah “mipit” amit ngala menta”.  Artinya, mengambil apa pun dari suatu tempat, berupa apa saja, harus izin terlebih dahulu kepada roh halus yang menguasai tempat tersebut.  Kalau setelah melakukan sesuatu kemudian mendapat musibah, seperti sakit kepala atau demam, atau tersandung apa saja, kemudian akan dihubung-hubungkan dengan perbuatan yang dianggap sembrono (sembarangan).  Yaitu tidak minta izin kepada yang membahurekso (bahasa Jawa) atau nu ngageugeuh (bahasa Sunda). Untuk itu kemu-dian masyarakat akan menanya kepada orang yang dianggap tua dan mengerti tentang yang gaib, yang biasanya berupa seorang dukun. Sang dukun kemudian akan memberikan petunjuk tentang apa yang harus dilakukan sebagai langkah penebusanatas kesalahannya.
Pada upacara walimah (pernikahan/khitanan), sang pengantin pria/wanita sebelum melaksaakan akad nikah atau pada saat si anak dikhitan, mereka harus terlebih dahulu mengunjungi leluhurnya untuk memohon do’a restunya, agar tidak terjadi sesuatu bencana aral melintang yang mungkin mengganggu jalannya upacara tersebut.

Setiap orang yang melewati tempat yang dianggap angker harus mengucapkan mantera minta izin kanu ngageugeuh (yang membahurekso), yaitu roh halus yang menmpati tempat itu. Misalnya saja dengan kalimat “ampun paralun kanu luhung”, “sang karuhun anu ngageugeuh, danginang anu nga-wisesa, ulah ganggu gunasita, kami incu buyut ki………..” (biasanya dengan menyebutkan nama leluhurnya).  Misalnya ki buyut Ance, ki buyut Sawi, ki Jaminun dan sebagainya.

Pengalaman-pengalaman budaya seperti itu  merupakan bentuk sumbolisme atas harapan adanya ketenangan dan ketentraman kehidupan, yang pada saat itu tak pernah dirasakan karena kuatnya tekanan koloni Belanda. Idiologi tradisionalisme itu juga merupakan respon atas hancurnya idiologi politik dan agama yang mereka anut, setalah kedudukan dan struktur sosial terganggu dan hancur. 

Dalam pada itu tingkat kejahatan merajalela Perampokan, pembunuhan, perkelahian terjadi hampir setiap saat. Sedangkan usaha penanggulangan oleh pemerintah Belanda hanya cukup dengan mendirikan rumah-rumah penjara mulai dari kota besar sampai kota kecil.  Rumah tahanan atau penjara di bangun di kota-kota kewadanaan seperti Menes, Labuan, Malingping, Balaraja, Mauk dan tempat-tempat lain yang sederajat.  Akibatnya, para bekas narapidana semakin mematangkan diri dalam melakukan aksi kejahatannya, karena selama di dalam penjara, bukannya semakin baik dan jera, tetapi semakin matang dan kian semakin menambah kualitasnya.

Walaupun demikian, sebenarnya, kejahatan-kejahatan itu dilakukan hanya dengan menggunakan senjata tajam tradisional seperti golok, pisau, dan lain-lain.  Hal itu ada kepercayaan atas benda-benda tajam itu yang dianggapnya mengandung kekuatan gaib.

Kondisi Pendidikan
Di bawah kekuasaan Belanda rakyat Banten bukan bertambah baik, malah semakin melarat dan terbelakang. Kondisi ini hampir dialmai oleh seluruh rakyat di seluruh nusantara. Guna mengatasi permasalahan tersebut pemerintah Belanda memberlakukan politik etis. Program politik etis yang dijalankan oleh pemerintah Belanda, di antaranya membuat irigasi buat mendudung pertanian rakyat dan menyelenggarakan sekolah bagi bumiputra. Ternyata program tersebut gagal memberikan manfaat bagi penduduk desa.  Hal ini terjadi, karena yang bisa menikmati sekolah itu hanya sebagian kecil rakyat saja terutama orang-orang yang berada di kota dan siap jadi calon ambtenar (pegawai Belanda).

Sedangkan di kalangan rakyat kebanyakan, tidak terjangkau oleh sistem pendidikan ini.  Disamping jumlah yang sangat sedikit (hanya di kota-kota kewadanaan saja yang disediakan sekolah), juga syarat untuk dapat belajar sangat berat, dan cen-derung sengaja dipersulit, dengan alasan bermacam-macam.

Tujuan Belanda menyelenggarakan sekolah, seperti di-katakan di atas, adalah untuk menyiapkan calon pekerja ambtenar yang jumlahnya tidak perlu banyak.  Sebagian besar rakyat bumi putra hanya dibutuhkan sebagai pekerja kasar yang tidak memerlukan pengetahuan yang tinggi, yang penting asal bertenaga kuat.

Pendidikan Islam yang masih ada ialah pondok pesantren yang diselenggarakan oleh para Kyai secara individual dan tradisional. Pendidikan ini penuh dengan segala keterbatasannya, baik dalam hal sarana, dana, maupun manajemennya.  Ditambah pula dengan kondisi yang tidak aman dari berbagai pengawasan oleh pemerintah Belanda.  Pihak penjajah beranggapan bahwa kharisma keagamaan yang tersimpan dalam jiwa para Kyai itu masih mengundang semangat anti kafir/ penjajah, yang bila ada peluang pasti meletuskan api pembe-rontakan terhadap pemerintah penjajah.


Berdirinya Madrasah Pertama
Keadaan tersebut menggelisahkan masyarakat dan mematikan semangat umat dan pada gilirannya akan menghilangkan ajaran Islam yang telah ditanamkan oleh para pejuang terdahulu.  Oleh karenanya orang-orang yang baru saja pulang menunaikan ibadah haji atau mukim di Mekkah yang lama menimba agama Islam, sudah tentu merupakan sesuatu yang sangat menarik perhatian bagi masyarakat Banten.

Di tengah hiruk pikuknya dan galaunya kemungkaran di dalam masyarakat yang dilanda kemiskinan, kebodohan dan kejumudan yang diselimuti pula oleh kabut kegelapan dan kebingungan muncullah seberkas sinar harapan yang diharapkan akan membawa perubahan di hari kemudian.

Tersebutlah K.H.E. Moh. Yasin yang baru kembali dari menghadiri rapat yang diselenggarakan di Bogor oleh para ulama yang mendambakan kahidupan umat yang lebih baik.  Gerakan ini dipelopori oleh Haji Samanhudi dalam rangka mendirikan Syarikat Dagang Islam (SDI) pada tahun 1908 M.  Beliau mendatangi rekan-rekan ulama yang ada disekitar Menes, antara lain Kyai H. Tb. Moh. Sholeh dari kampung Kananga dan beberapa orang kyai lainnya.  Tujuan pertemuan tersebut adalah untuk bermusyawarah dan bertukar pikiran, yang akhirnya melahirkan kata sepakat untuk membentuk suatu majelis pengajian yang diasuh bersama.  Pengajian ini juga dijadikan lembaga muzakarah dan musyawarah dalam me-nanggulangi dan memerangi situasi gelap itu ialah dengan harapan muncul seberkas sinar, yang kemudian menjadi nama MATHLA’UL ANWAR (bahasa Arab, yang artinya tempat lahirnya cahaya).

Militansi K.H. Entol Moh. Yasin dari Kaduhawuk, Menes ini tak pernah memudar dalam keinginan untuk memajukan umat melalui pendidikan.  Beliau menghendaki kemajuan umat hanya mungkin melalui pendidikan. Bukankah Nabi Muhammad SAW bersabda : “Barang siapa yang menginginkan dunia haruslah dengan ilmu, barangsiapa meng-inginkan akhirat haruslah dengan ilmunya, dan barang siapa yang menginginkan keduanya haruslah dengan ilmu”. Dan hadits yang lain : “Ilmu itu adalah cahaya”.

Beranjak dari sini agaknya pertemuan, akhirnya melahirkan sebuah kata sepakat untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan Islam yang dikelola dan diasuh secara jama’ah dengan mengkordinasikan berbagai disiplin ilmu, terutama ilmu Islam yang dianggap merupakan kebutuhan yang mendesak.

Perjuangan mengangkat dan membangkitkan umat dari lembah kegelapan dan kemiskinan yang menimbulkan keterbelakangan, tidak cukup sekedar dengan mengadakan pengajian bagi generasi tua saja.  Untuk itu dituntut langkah lebih lanjut lagi, yaitu lahirnya generasi berikutnya yang justru merupakan sasaran utama yang diharapkan mampu mengubah situasi (min al zhulumati ila al nur).


Berdirinya Mathla’ul Anwar
Guna mencari pemecahan masalah tersebut, para kyai mengadakan musyawarah di bawah pimpinan KH. Entol Mohamad Yasin dan KH. Tb. Mohamad Sholeh serta para ulama yang ada di sekitar Menes, bertempat di kampung Kananga.  Akhirnya, setelah mendapatkan masukan dari para peserta, musyawarah mengambil keputusan untuk memanggil pulang seorang pemuda yang sedang belajar di Makkah al Mukarramah.  Ia tengah menimba ilmu Islam di tempat asal kelahiran agama Islam kepada seorang guru besar yang juga berasal dari Banten, yaitu Syekh Mohammad Nawawi al Bantani.

Ulama besar ini diakui oleh seluruh dunia Islam tentang kebesarannya sebagai seorang fakih, dengan karya-karya tulisnya dalam berbagai cabang ilmu Islam.  Siapakah pemuda itu ? Dialah KH. Mas Abdurrahman bin Mas Jamal, yang lahir pada tahun 1868, di kampung Janaka, Kecamatan Jiput, Kawedanaan Caringin, Kabupaten Pandeglang, Karesidenan Banten.

KH. Mas Abdurrahman bin KH. Mas Jamal kembali dari tanah suci sekitar tahun 1910 M.  Dengan kehadiran seorang muda yang penuh semangat untuk berjuang mengadakan pembaharuan semangat Islam, bersama kyai-kyai sepuh, dapatlah diharapkan untuk membawa umat Islam keluar dari alam gelap gulita ke jalan hidup yang terang benderang, sesuai ayat al-Qur’an “Yukhriju hum min al dzulumati ila al nur”.
Pada tanggal 10 bulan ramadhan 1334 H, bersamaan dengan tanggal 10 Juli 1916 M, para Kyai mengadakan suatu musyawarah untuk membuka sebuah perguruan Islam dalam bentuk madrasah yang akan dimulai kegiatan belajar mengajarnya pada tanggal 10 Syawwal 1334 H/9 Agustus 1916 M.  Sebagai Mudir atau direktur adalah KH. Mas Abdurrahman bin KH. Mas Jamal dan Presiden Bistirnya KH.E. Moh Yasin dari kampung Kaduhawuk, Menes, serta dibantu oleh sejumlah kyai dan tokoh masyarakat di sekitar Menes.

Selengkapnya para pendiri Mathla’ul Anwar :
·         Kyai  Moh. Tb. Soleh
·         Kyai  E.H. Moh Yasin
·         Kyai Tegal
·         Kyai H. Mas Abdurrahman
·         K.H. Abdul Mu’ti
·         K.H. Soleman Cibinglu
·         K.H. Daud
·         K.H. Rusydi
·         E. Danawi
·         K.H. Mustagfiri 

Adapun tujuan didirikannya Mathla’ul Anwar ini adalah agar ajaran Islam menjadi dasar kehidupan bagi individu dan masyarakat.  Untuk mencapai tujuan tersebut, maka disepakati untuk menghumpun tenaga-tenaga pengajar agama Islam, mendirikan madrasah, memelihara pondok pesantren dan menyelenggarakan tablig ke berbagai penjuru tanah air yang pada saat itu masih dikuasai oleh pemerintah jajahan Belanda.  Pemerintah kolonial telah membiarkan rakyat bumi putra hidup dalam kebodohan dan kemiskinan.

Program Pendidikan Mathla’ul Anwar
Untuk sementara, kegiatan belajar diselenggarakan di rumah seorang dermawan, di kota Menes.  Beliau merelakan tempat tinggalnya digunakan untuk tempat belajar bagi umat.  Tokoh ini adalah K.H. Mustagfiri.

Selanjutnya, setelah mendapatkan sebidang tanah yang diwakafkan Ki Demang Entol Djasudin, yang terletak di tepi jalan raya, dibangunlah sebuah gedung madrasah dengan cara gotong-royong oleh seluruh masyarakat Islam Menes.  Sampai kini gedung tersebut masih berfungsi sebagai tempat penyelenggaraan Madrasah Ibtidaiyyah, Sekolah Dasar Islam dan Taman Kanak-kanak Mathla’ul Anwar.  Gedung tersebut tidak lain ialah pusat perguruan Islam Mathla’ul Anwar yang terletak di kota Menes, Pandeglang.

Mengenai program pendidikan diselenggarakan program pendidikan 9 (sembilan) tahun.  Yaitu mulai dari kelas A, B, I, II, III, IV, V, VI dan kelas VII.  Belum ada pemisahan tingkat Ibti-daiyah dan tingkat Tsanawiyah.  Disamping pendidikan dengan sistem klasikal dalam bentuk madrasah, sebagai langkah modernisasi; juga dibuka lembaga pendidikan dengan sistem pesantren.  Model ini tetap dihidup-suburkan, bahkan dikore-lasikan dengan sistem sekolah.  Guru-guru yang mengajar di madrasah pada pagi hari, pada sore dan malam harinya, di rumah masing-masing, tetap menyelenggarakan pengajian dengan sistem pesantren dan menampung santri yang datang dari berbagai daerah untuk belajar di madrasah Mathla’ul Anwar.

Santriwan dan santriwati yang telah menyelesaikan masa pendidikan selama 9 (sembilan) tahun, yaitu tamat kelas VII, dikirim ke berbagai tempat/daerah untuk menda’wahkan ajaran Islam dalam bentuk baru, yaitu mendirikan madrasah Mathla’ul Anwar cabang Menes, dengan diantar oleh Pengurus Mathla’ul Anwar Menes.  Mereka diberi bisluit atau Surat Tugas mengajar dari Presiden of Bestur Mathla’ul Anwar dengan semangat iman dan keyakinan terhadap janji Allah yang berbunyi : In tanshuru Allah yanshuru kum.  Artinya, jika engkau menolong agama Allah, pasti Allah akan menolongmu.  Maka tidaklah menghe-rankan jika pada tahun 1920-an sampai dengan tahun 1930-an, di Lampung, Lebak, \serang (Kepuh), Bogor, Tangerang, Karawang dan tempat-temapat lain, sudah berdiri madrasah Mathla’ul Anwar cabang Menes, hanya diizinkan menye-lenggarakan madrasah sampai kelas IV (empat), sedangkan untuk kelas V, VI dan VII harus belajar di Menes.

Pada tahun 1929 didirikan madrasah putri Mathla’ul Anwar dengan tiga tokoh yang menjadi pimpinannya yaitu : Nyi. H. Jenab binti Yasin, Nyi Kulsum, dan Nyi Aisyah.  Disamping kegiatan belajar mengajar di madrasah dan pesantren bagi murid-murid, juga setiap hari Kamis setiap pekan seluruh guru diwajibkan mengikuti pengajian yang diselenggarakan di masjid Soreang, Menes.  Di situ KH. Mas Abdurrahman menetap dan sekaligus sebagai pengajian pusat.  Tujuannya adalah dalam rangka memperluas dan memperdalam ilmu Islam.  Dengan cara itu, akhirnya kyai-kyai pimpinan Mathla’ul Anwar dapat berfikir dan berwawasan luas, tidak mengurung diri dalam satu pendapat seorang ulama saja.

Untuk membangun dan memelihara madrasah Mathla’ul Anwar, diusahakan dengan cara gotong-royong, baik tenaga manusianya maupun dananya.  Untuk itu dihimpun shadaqoh jariyah, wakaf dan jimpitan (beras remeh), yang diseleng-garakan oleh jama’ah Majlis Ta’lim ibu-ibu.  Caranya, setiap kali hendak masak nasi diambil satu sendok makan dari beras yang akan dimasak dan ditampung dalam tempat tersendiri.

Selanjutnya, beras dihimpun oleh petugas yang biasanya terdiri dari seorang janda iskin dengan mendapat imbalan sepuluh persen dari hasil pungutannya.  Para janda miskin ini kemudian menyetor kepada para kader yang mengikuti pengajian pada setiap hari Kamis yang menyerahkan lagi kepada kordinator pusat Mathla’ul Anwar.  Usaha yang tidak terasa namun nyata ini, akhirnya mampu menghimpun suatu kekuatan yang tidak kecil.  Diantara sekian tanda bukti yang tidak bisa dilipakan ialah adanya beberapa bidang tanah yang dibeli dari hasil pungutan beras jimpitan (beras remeh) dan hingga kini tempat itu dinamakan “Kebon remeh”, milik Mathla’ul Anwar.  Bukti ini, tidak boleh dilupakan oleh generasi selanjutnya.

Pada tahun 1940 didirikan Madrasah Arabiah (Sekolah Arab) yang khusus memberi pelajaran bahasa Arab, untuk itu didatangkan seorang guru dari Salatiga yaitu KH. Humaedi disamping itu beberapa pemuda dikirim ke Jakarta (sekolah Jamiatul Khaer) untuk calon-calon guru.  Dan untuk mempela-jari ilmu Falak didatangkan guru dari Pekalongan (KH. Syabrawi dan diadakan kursus ilmu falak bagi guru-guru Mathla’ul Anwar).

Untuk mencetak para muballig diadakan kursus muballig yang dinamai cm. Yang diikuti para santri-santri dan guru-guru serta pemuda-pemuda.  Disamping adanya kursus mubalig bagi murid-murid/pelajar madrasah mulai tingkat rendah sampai tingkat atas, pada tiap-tiap kenaikan kelas Ichtifalan diadakan pidato anak-anak sekolah untuk mendidik mereka pandai pidato dan tablig.

Untuk menampung para pelajar yang datang dari daerah-daerah, didirikan pondok-pondok pesantren di sekitar Menes, antara lain di Kananga yang paling besar yang dipimpin oleh KH. Tb. Ahmad, seorang alumni pertamapendidikan di Mathla’ul Anwar.  Para santri yang mondok di Kananga datang dari Bogor, Tangerang, Lampung dan lain-lain,  sampai ratusan jumlahnya. Kananga adalah satu kampung di kaki gunung pulosari merupakan tempat cikal bakal Mathla’ul Anwar, sebab disitulah K. Tb. Moh. Sholeh tinggal dan setibanya KH. Mas Abdurrahman dari Makkah tinggal di Kananga dan menikah dengan putri dari KH. Tb. Moh. Sholeh, dan selanjutnya pindah ke Soreang Menes, dan di Soreang inilah dibangun pesantren.  KH. E. Muhamad Yasin adalah seorang ulama intelek yang berwawasan luas, dan ia seorang putra dari seorang jaksa.

Lahirnya Statuten Mathla’ul Anwar
Peristiwa pemberontakan rakyat terhadap pemerintahan Belanda pada tahun 1926 di Menes dan Labuan, tanpa disadari oleh para tokoh dan pimpinannya, telah membuat Mathla’ul Anwar bertambah besar dan meluas.  Pemberontakan, yang oleh pihak Belanda disebut sebagai pemberontakan Komunis, menyebabkan para tokoh dan pimpinan Mathla’ul Anwar selalu dicurigai dan diawasi oleh aparat pemerintahan, terutama pihak P.I.D (polisi rahasia kolonial Belanda).  Hal ini terjadi karena diantara pelaku pemberontakan terdapat tokoh  dan orang-orang Mathla’ul Anwar.  Meskipun mereka tidak dalam kapasitasnya sebagai tokoh dan warga Mathla’ul Anwar, tetapi dalam kedudukannya sebagai anggota Serikat Islam (?) Sebagian dari mereka bahkan ada pula yang dibuang ke Boven Degul, Tanah Merah, Irian antara lain : K. Abdulhadi Bangko, Khusen Cisaat dan lain-lain.
Dengan adanya pengawasan dan kecurigaan yang amat ketat di Pandeglang, Khususnya di Menes dan Labuan, aktivitas para pimpinan Mathla’ul Anwar di daerah tersebut menjadi berkurang dan terpaksa harus berhati-hati sekali.  Para kyai dan ulama Mathla’ul Anwar kemudian bergerak menyebar-luaskan Mathla’ul Anwar ke luar daerah, mengirimkan kader-kader dan para abituren (lulusan) madrasah Mathla’ul Anwar Menes ke daerah-daerah di luar Pandeglang.  Diantaranya ke kabupaten Lebak, Serang, Tangerang, Bogor, Karawang dan di Keresidenan Lampung.

Pada tahun 1936 jumlah madrasah Mathla’ul Anwar sudah mencapai 40 buah yang tersebar di tujuh daerah tersebut di atas.  Pada waktu itu perhatian terhadap Mathla’ul Anwar tidak lagi terbatas dari kalangan kaum pelajar (intelektual) pun mulai ikut berpartisipasi aktif.  Karena itu, dan sesuai pula perkembangan Mathla’ul Anwar, maka timbulah gagasan-gagasan untuk meningkatkan kualitas perkembangan organisasinya, baik yang bersifat teknis pedagogis, maupun adsministratif organisasi dan keanggotaannya.

Muktamar Pertama
Seiring naiknya gelombang dan semangat nasionalisme di hati para kiyai dan pendukung Mathla’ul Anwar, yang antara lain dimanipestasikan melalui perjuangan pendidikan dan da’wah, maka Mathla’ul Anwar perlu merespon perkembangan dan kebutuhan bangsa. Dalam rangka itu, pada tahun 1936 diadakan Kongres (Muktamar) Mathla’ul Anwar pertama yang bertempat di Menes.  Kongres dihadiri oleh perutusan dari semua madrasah yang ada dan para tokoh yang terdiri dari para kyai dan ulama serta kaum terpelajar setempat.
Keputusan-keputusan penting yang ditetapkan oleh Kongres Mathla’ul Anwar I  itu antara lain :
a.             Berdirinya satu Perhimpunan yang bernama “MATH-LA’UL ANWAR”.
b.             Mengesahkan Anggaran dasar dan Anggaran Rumah Tangga (statuten) Mathla’ul Anwar yang antara lain memuat :
1)           Nama : Mathla’ul Anwar, disingkat M.A., didirikan pada tahun 1334 H/1916 M di Menes Banten.
2)           Dasar : Islam sepanjang ajaran Ahli Sunnah wal Jama’ah
3)           Tujuan : Terwujudnya pendidikan dan ajaran Islam di kalangan umat dan masyarakat Islam.
  4)    Usaha : antara lain mendirikan madrasah-madrasah, pondok pesantren dan tempat-tempat Ibadah.  
c.   Menetapkan susunan Pengurus Besar (Hoofd Bestuur) yang antara lain terdiri :
Ketua Umum (Presiden)              :  K.H. E. Moh. Yasin,
Wakil Ketua (Vice Presiden)        :  K.H. Abdulmukti,
Sekretaris                                    :  E.E. Ismail.
d.   Struktur organisasi diatur :
1)      Untuk tingkat Kabupaten dibentuk Perwakilan (Kon-sultan) yang dipimpin oleh seorang Konsul,
2)      Untuk tingkat Kecamatan (Onderdistrik) dibentuk sub Perwakilan (Sub Konsultan) yang dipimpin oleh Sub Konsultan,
3)      Untuk di tiap madrasah dibentuk Pengurus Cabang.
e.   Menetapkan rencana pelajaran atau leerplan (kurikulum).  Dan untuk terlaksananya rencana pelajaran (leerplan) dengan baik sesuai ketentuan, maka diangkat beberapa orang penilik (opzieneer) dan seorang pengawas (inspekteur) yang berkedudukan di pusat.  Jabatan ini diamanatkan kepada K.H.M. Abdurrahman samapi beliau wafat pada tahun 1943.


Muktamar II
Pada tahun 1937 dilangsungkan Kongres (Muktamar) II,  sesuai dengan bunyi Anggaran Dasar yang menetapkan bahwa kongres diadakan setiap tahun.  Dalam kongres II ini tidak banyak hal yang dikemukakan.  Susunan Pengurus Besarpun tidak mengalami perubahan.  Kongres II semestinya diadakan pada tahun 1938, tetapi karena pada tahun itu Ketua Umum (Presiden) Pengurus Besar Mathla’ul Anwar K.H.E. Moh. Yasin meninggal dunia, maka Kongres II ditunda pelaksanaannya hingga tahun berikutnya.

Muktamar III
Muktamar III Mathla’ul Anwar dilangsungkan pada tahun 1939 dan selama itu kedudukan Ketua Umum (Presiden) kosong. Jabatan tersebut dipangku Wakil Ketua (Vise Presiden) yaitu K.H. Abdulmukti sampai terpilihnya Ketua Umum baru.

Pantas dicatat, bahwa pemilihan Ketua Umum pada Kongres III tahun 1939 cukup serius dan mengalami ketegangan di kalngan masyarakat.  Dua orang calon Ketua Umum tampil. K.H.E. Djunaedi, putra K.H.E. Moh Yasin, ketua umum yang baru meninggal dunia, yang juga salah seorang pendiri bahkan arsiteknya pendirian Mathla’ul Anwar.  Lawannya adalah E. Uwes Abubakar yang dicalonkan oleh  K.H. M. Abdurrahman yang juga sebagai salah seorang pendiri Mathla’ul Anwar.  Calon pertama berpendidikan Al-Azhar Mesir, sedangkan calon kedua merupakan hasil gemblengan K.H.M. Abdurrahman sendiri.  Di sini masyarakat Mathla’ul Anwar dihadapkan dua pilihan yang cukup berat dan untuk ysng pertama kalinya dialami.  Karena itu dua kubu pendukung sama-sama kokoh.  Pihak pendukung K.H.E. Djunaedi cukup beralasan, karena selain berpendidikan tinggi, juga keturunan seorang tokoh kharismatik yang berpengaruh.  Di lain pihak mendukung E. Uwes Abubakar, yang meskipun masih muda dan belum mempunyai namadi kalangan masyarakat, tetapi ia seorang kader, sekaligus produk kharisma tinggi.

Dalam menghadapi pemilihan ini masyarakat Mathla’ul Anwar benar-benar bagai menghadapi buah simalakama.  Persatuan dan kesatuan yanhg telah bertahun-tahun dipupuk nyaris pecah.  Namun kepemimpinan dan wibawa K.H.M. Abdurrahman yang berjiwa besar dapat mempertahankan keadaan yang sudah agak retak waktu itu. Akhirnya, E. Uwes Abubakar yang oleh pihak kubu saingannya dijuluki “pireu” (bisu), terpilih dengan mendapatkan suara terbanyak.

Muktamar IV dan V
Muktamar IV Mathla’ul Anwar berlangsung pada tahun 1940.  Sementara itu Majlis Islam Ala Indonesia (MIAI) berdiri yang merupakan satu wadah komunikasi antar organisasi-organisasi Islam dimana waktu itu antara lain : Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, Al Irsyad, Al Jamiatul Wasliyah, Persatuan Umat Islam yang berpusat di Majalengka, Persatuan Islam yang berpusat di Bandung, maka Mathla’ul Anwar pun ikut pula menjadi anggotanya.  Pada tahun 1941 di langsungkan Kongres Mathla’ul Anwar V, dimana seperti halnya Kongres  IV dan V, K.H. Uwes Abubakar terpilih lagi menjadi Ketua Umum untuk periode berikutnya.


Zaman Penjajahan Jepang dan Muktamar VI
Tahun 1942, dengan meletusnya perang Asia Timur Raya dan masuknya Jepang menjajah Indonesia, Muktamar VI tidak dapat dilaksanakan pada waktunya.  Baru pada tahun 1943, di bawah kekuasaan Jepang, Mathla’ul Anwar dapat melangsungkan Kongresnya yang VI.

Pada masa ini, bangsa Indonesia dalam keadaan sengsara.  Selain dunia dalam keadaan perang, rakyat hidup miskin di bawah pemerintahan Penjajah Jepang, yang fasis dan otoriter.  Mathla’ul Anwar merupakan satu-satunya organisasi yang dapat mengadakan kongres pada zaman itu.  Tentunya, hal ini merupakan suatu perjuangan yang sangat berat, di samping harus ulet dan berhati-hati sekali.  Salah sedikit saja bisa ber-akibat fatal.

Pantas menjadi suatu catatan penting bagi umat Islam pada zaman penjajahan Jepang ini, Bangsa Indonesia, setiap pagi diwajibkan menghormat kepada Tenno Heiko (Kaisar Jepang) dengan jalan membungkukkan badan (ruku) meng-hadap ke arah di mana tempat sang Kaisar bersinggasana.  Banyak ulama yang terang-terangan menolak tau menentang terpaksa mengalami penyiksaan berat.  Ada yang dipenjarakan dan tidak sedikit pula yang mati terbunuh.  K.H.M. Abdurrahman termasuk salah seorang yang juga menolak, tetapi tidak terang-terangan.  Karena itu beliau terpaksa selalu meng-urus diri, kebetulan waktu itu beliau sering sakit-sakitan.  Sehingga dapat dijadikan alasan untuk tidak menampakkan diri kepada pihak pemerintah maupun masyarakat.

Pada zaman ini pula M.I.A.I (Majlis Islam A’la Indenesia) diubah namanya menjadi Majlis Syura Muslim Indonesia disingkat Masyumi.  Satu badan yang non politik, Masyumi waktu itu merupakan wadah untuk menciptakan ukhuwah Islamiyah, mempererat persatuan dan kesatuan sesama Muslim.  Hal-hal yang akan mengakibatkan perpecahan dan perselisihan berat yang antara lain masalah-masalah furu’iyah dan khilafiyah dihindarkan.

Zaman Revolusi Mempertahankan Kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, Masyumi mengubah diri menjadi partai politik dan menjadi satu-satunya partai Islam.  Dalam hal ini memang dikehendaki oleh pemerintahan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, sebagai salah satu sarana pelaksanaan kehidupan demokrasi.  Karena itu pula pada waktu itu hampir seluruh ummat Islam menjadi anggota atau simpatisan partai tersebut.

Pada masa revolusi kemerdekaan, antara tahun 1945-1950, para pimpinan, yaitu para kyai dan ulama Mathla’ul Anwar beserta segenap anggota ikut serta berjuang melawan dan menentang Belanda yang berusaha untuk menjajah kembali negara dan bangsa Indonesia.  Ada yang ikut berpe-rang, memanggul senjata, sebaai tentara, dan yang menjadi Hizbullah dan anggota-anggota badan kelaskaran lainnya.  Ada pula yang duduk dalam pemerintahan seperti Asisten Wedana (Camat). K.E. Ismail, Sekretaris Pengurus Besar Mathla’ul Anwar pertama periode 1936-1939, diangkat menjadi Wedana. KH. A. Sidiq, menjadi Asisten Wedana Menes dan lain sebagainya.  Disamping itu ada pula beberapa putra Mathla’ul Anwar yang gugur dalam perang kemerdekaan sebagai pahlawan bangsa.  Di antaranya ialah Kyai Abeh Habri salah seorang putra KH.M. Abdurrahman.

Karena suasana perang di tanah air , maka selama itu Mathla’ul Anwar tidak dapat melaksanakan kongres.  Para pimpinan Mathla’ul Anwar yang tinggal di kota yang diduduki Belanda terpaksa harus mengungsi ke daerah-daerah pedalaman.  Namun, dalam situasi demikian, para aktivis pengurus tetap berusaha mengadakan kontak dan komunikasi satu dengn yang lainnya.

Pada tahun 1949 pemerintah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, sebagai hasil perjanjian Konfrensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag. Para pejuang dan demikian pula pengurus Mathla’ul Anwar mulai masuk kota kembali, ke kampung halaman masing-masing.  Mulailah saat itu diadakan kembali konsultasi dan pembenahan organisasi.  Madrasah-madrasah Mathla’ul Anwar mulai dibuka dan diadakan kegiatan belajar mengajar seperti sediakala.  Pada waktu itu negera kita berbentuk federasi, dengan nama Republik Indonesia Srikat.  Negara Srikat ini terdiri dari beberapa negara bagian yang sebelumnya dibentuk oleh Belanda.  Ada negara Pasundan, negara Sumatra Timur, negara Indonesia Timur, negara jawa Timur, juga termasuk di dalam Republik Indonesia Proklamasi yang beribukota di Yogyakarta.

Negara-negra boneka buatan Belanda itu merupakan usaha politik Belanda untuk memecah belah dan untuk mempo-rakporandakan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.  Usaha ini ternyata tidak berhasil, dan bentuk federasi Republik Indonesia Serikat umurnya tidak lebih dari satu tahun.  Kalau saja bukan karena rahmat Allah dan keuletan para pemimpin bangsa Indonesia usaha Belanda itu nyaris berhasil.

Timbulnya sukuisme, adanya kooperator dan nonkoope-rator, yaitu orang-orang yang menyebrang ke Belanda dan orang-orang yang tetap bertahan anti penjajah, pada waktu itu menimbulkan masalah yang cukup berat yang dihadapi bangsa kita.

Demikian pula yang dialami Mathla’ul Anwar. Dalam membenahi diri kembali, Mathla’ul Anwar tidak luput dari situasi yang tidak menguntungkan itu.  Namun berkat ketabahan, ke-sabaran dan keuletan para kyai, ulama dan pengurus Mathla’ul Anwar, maka hal-hal yang tidak diinginkan lebih parah dapat dicegah.  Namun demikina persatuan dan kesatuan utuh se-perti sediakala tidak dapat dipertahankan seutuhnya.  Walau dalam jumlah yang tidak berarti, juga ada anggota atau pim-pinan yang meninggalkan jama’ah Mathla’ul Anwar yang kemudian tumbuh menjadi benih-benih penyakit dalam tubuh organisasi.

Tahun 1950, bagi Mathla’ul Anwar, adalah merupakan masa transisi dan peralihan dai generasi pertama ke generasi kedua dan sekaligus merupakan peralihan dari alam penjajahan ke alam kemerdekaan.

Muktamar VII 
Karena berkecamuknya peperangan mempertahankan kemerdekaan dari agresi Kolonial Belanda pada tahun-tahun setelah proklamasi kemerdekaan sampai dipulihkan kedaulatan RI pada tahun 1949, maka selama itu pula Mathla’ul Anwar tidak dapat melaksanakan kongres.  Tetapi pada tahun 1951 meskipun rakyat umumnya masih dalam keadaan menderita dan miskin, pada tahun itu juga dilaksanakan Kongres Mathla’ul Anwar VII di Menes.  Kesulitan transportasi dan komunikasi, serta susahnya kebutuhan-kebutuhan pokok kehidupan pada waktu itu, tidak menjadi penghalang untuk berlangsungnya kongres.  Kesadaran dan kerinduan, disamping kuatnya semangat percaya diri, kongres VII berjalan lancar dan aman.  Pada tahun itu, kembali K. Uwes Abubakar terpilih sebagai Ketua Umum untuk periode 1951-1952.

Kongres Mathla’ul Anwar VIII dilaksanakn di Ciampea Bogor, pada tahun 1952.  Keputusan-keputusan penting kongres VIII antara lain adalah :
a.          Terpilihnya kembali K. Uwes Abubakar sebagi Ketua Umum Pengurus Besar Mathla’ul Anwar periode 1952-1953.
b.             Pernyataan dan penegasan bahwa Mathla’ul Anwar adalah organisasi independen, tidk bersfiliasi dan tidak menjadi onderbouw dari organisasi atau partai politik apapun.
c.             Bahwa Mathla’ul Anwar akan mendirikan Kepanduan (Pramuka) sendiri.

Pernyataan dan penegasan tersebut pada putusan ke-2 dirasa sangat perlu, karena pada umumnya orang belum tahu, bahwa sejak Masyumi menjadi partai politik, Mathla’ul Anwar tidak lagi menjadi anggota istimewanya.

Dan karena itu tidak ada seorang pun pengurus Mathla’ul Anwar yang duduk sebagai anggota DPP Masyumi sebagai wakil dari organisasi ini.  Disamping itu, sikap itu juga untuk menegaskan bahwa Mathla’ul Anwar memang tidak berafiliasi kepada salah satu dari tiga partai politik Islam yang ada, yakni : Masyumi, PSSI dan NU.

Pandu Cahaya Islam
Mengenai gerakan kepanduan (pramuka), pada awal Indonesia merdeka, tahun 1945, hanya ada satu yang diakui oleh pemerintah RI yaitu Pandu Rakyat Indenesia.  Tetapi dengan adanya negara Republik Indinesia Serikat tahun 1950 tak terbendung kagi berdirinya macam-macam organisasi kepanduan, antara lain : Pandu Rakyat Indonesia, Pandu Islam Indonesia, Hizbul Wathon, Suya Wirawan, Pandu Kristen, /pandu Katholik, Serikat Islam Afdeling Pandu, Ansor, Al Wasliyah, Pandu Al Irsyad, dan KBI.

Satu lagi tonggak sejarah perkembangan organisasi Mathla’ul Anwar pada saat ini.  Pada kongres VIII telah diterima penggabungan dari Anwariyah dari Bandung untuk berfusi menjadi Mathla’ul Anwar di bawah pimpinan Ajengan Sya’roni.  Kehadiran Anwariyah dalam kongres Mathla’ul Anwar VIII tersebut diwakili  Ajengan Sya’roni selaku ketua M.B. Ace selaku bendahara dan Uyeh Baluqia Syakir sebagain unsur pemuda, dan memang utusan termuda dikala itu.

Dalam rangka merealisir salah satu keputusan kongres Mathla’ul Anwar VIII, maka pada awal Maret 1953, Pengurus Besar Mathla’ul Anwar mengirim tiga pemuda untuk mengikuti Kursus Dasar Calon Pemimpin Pandu yang diadkan oleh Kwartir Besar Pandu Islam Indonesia di Rangkasbitung-Lebak.  Kebetulan komisaris Cabang Pandu Islam Indonesia Lebak yang menjadi panitia penyelenggara kursus tersebut adalah putra salah seorang kyai, tokoh Mathla’ul Anwar. Panitia penye-lenggara kursus memberi kesempatan dan mengirim undangan kepada PB Mathla’ul Anwar.  Kesempatan itu diterima dengan baik dan dikirimlah tiga orang pemuda tersebut untuk mengikuti kursus, yang kelak sekembalinya dari kursus dapat mendirikan dan memimpin kepanduan sendiri.

Proses pembentukan Kepanduan Mathla’ul Anwar berjalan lancar, terutama setelah dibicarakan dalam sidang pleno Pengurus Besar Mathla’ul Anwar dan mendapatkan perse-tujuan rapat.  Satu team yang terdiri dari M. Muslim, Komari Saleh HG, E.A Burhani, M. Nahid Abdurrahman, K. Ghozali, Moh. Rifa’I, E. Udan Hudari, Ma’mun. Chabri dan lain-lain  diberi tugas untuk menyusun Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga serta ketentuan-ketentuan lain yang berhu-bungan dengan teknik kepanduan. Akhirnya pada awal Mei tahun 1953 terbentuklah Kepanduan Mathla’ul Anwar dengan nama Pandu Tjahya Islam disingkat PANTI, dengan status sebagai badan otonom dari Mathla’ul Anwar.

Pada bulan Mei 1953 berdasarkan keputusan sidang pleno Pengurus Besar Mathla’ul Anwar, Pandu Tjahya Islam disahkan berdirinya.  Dengan demikian secara resmi sudh dapat dimulai mengadakan kegiatan.  Untuk itu dan sebagai langkah pertama diadakan kursus-kursus kepemimpinan tingkat dasar yang pesertanya terdiri dari guru-guru madrasah dan pemuda Mathla’ul Anwar.

Dalam waktu relatif singkat terbentuklah pasukan-pasu-kan, kelompok-kelompok dan cabang-cabang  Pandu Cahaya Islam, tetapi di tempat-tempat lain pun seperti kota Pandeglang, Jakarta, Cisauk – berdiri pula Pandu Cahaya Islam.

Pada bulan November 1953 itu pula Pandu Cahaya Islam mengirim M. Nahid Abdurrahman untuk mengikuti Kursus Kepanduan tingkat yang lebih tinggi di luar negeri, yakni Kualalumpur, Malaysia.  Waktu itu masih bernama Malaya se-bagai negara jajahan Inggris. Pengiriman itu adalah atas ajakan dan kerjasama denga kwartir Besar Pandu Islam Indonesia di bawah pimpinan Ibrahim Muhammad.

Pada tahun1953 itu pula, Mathla’ul Anwar untuk pertama kalinya, mendirikan sekolah umum SMI (Sekolah Menengah Islam) atau SMP, di Menes.  Ternyata SMI mendapat sambutan baik di kalangan masyarakat, sehingga pada tahun ajaran pertama kelas I nya sudah dua kelas paralel.  Selanjutnya, SMPI ini dikembangkan menjadi PGA (Pendidikan Guru Agama).  Karena satu dan lain hal, pada tahun 1979, peme-rintah, dalam hal ini Departemen Agama, menghapus PGA.

Muslimat Mathla’ul Anwar
Kongres Mathla’ul Anwar IX dilangsungkan pada bulan Desember 1953 di Pamoyanan, Bandung, Jawa Barat.  Kong-res kali ini merupakan kongres yang luar biasa dibanding kongres-kongres sebelumnya.  Mathla’ul Anwar, yang waktu itu merupakan organisasi kecil yang pusatnya terletak di satu kecamatan, bahkan seluruh cabang-cabangnya berada di kampung-kampung dan pinggiran kota, mengadakan kongres di kota besar yang merupakan ibu kota provinsi.  Resepsi pembu-kaan kongres diselenggarakan di gedung Concordia, yang dua tahun kemudian, digunakan sebgai tempat konferensi Asia Afrika.  Dan ternyata kongres ini menghasilkan keputusan-keputusan penting bagi masa depan organisasi.

Kongres kali ini telah pula melahirkan beberapa resolusi dan statemen keluar, di samping keputusan-keputusan ke dalam, yang diantaranya ialah :
a.      Pengesahan berdirinya Pandu Cahaya Islam dengan status sebagai badan otonom Mathla’ul Anwar.
b.     Keputusan tentang berdirinya Muslimat Mathla’ul Anwar yang dipimpin oleh Nyi. H.A. Zenab binti Moh. Yasin  sebagai ketua, Nyi. Ufi Alfiah sebagai Sekretaris, Ny. Sursiah sebagai bendahara.
c.      Keputusan tentang ditingkatkannya Mathla’ul Anwar menjadi organisasi kemsyarakatan yang bergerak dalam bidang pendidikan, sosial dan da’wah.  Dengan demikian sejak tahun 1953 itu Mathla’ul Anwar memiliki anggota.  Sebe-lumnya, dalam Anggaran Dasar, tidak dimuat pasal tentang keanggotaan.  Yang ada hanyalah tentang donatur sebagai penyandang dana orgnisasi.
d.     Kongres telah memutuskan pula untuk menyempurnakan dan menyesuaikan rencana pelajaran, leerplan atau kuri-kulum.
e.      Diputuskan pula oleh kongres untuk menerbitkan sebuah majalah yang diberi nama Majalah Madrasah Kita.  Pim-pinan umum majalah ini dipercayakan kepada Nafsirin Hadi dan Komari Saleh HG. Dibantu oleh Moh. Rifa’I sebagai sekretaris.
f.       Pernyataan (statemen) bahwa Mathla’ul Anwar adalah satu organisasi yang berdiri sendiri (independen), tidak berafiliasi atau menjadi onderbouw dari partai politik atau organisasi apa pun. Sedang dalam menghadapi pemilihsn umum, Mathla’ul Anwar menyerahkan sepenuhnya kepada anggota atau pengurus masing-masing.  Dalam hal ini dipersyaratkan keharusan untuk menyalurkan hanya kepada partai politik Islam (yaitu Masyumi, NU, PSII, Perti) saja.
g.      Mengusulkan kepada pemerintah agar pelajaran agama (Islam) dijadikan mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah negeri.
h.     Mengusulkan dan mendesak kepada pemerintah RI agar di tiap-tiap stasiun kereta api didirikan Musholla.
i.        Dalam kongres tersebut, kembali K.H. Uwes Abubakar terpilih menjadi ketua umum dibantu Ajengan Sya’roni (dari Bandung) sebagai wakil ketua I dan KH. Achmad Siddiq (dari Menes) sebagai Wakil Ketua II, KH. E. Burhani sebagai Sekretaris Umum dan beberapa orang kyai dan ulama yang juga diangkat sebagai pembantu pengurus.

Kongres IX Mathla’ul Anwar tahun 1953 merupakan masa transisi dari zaman penjajahan dan suasana yang kurang mendukung bagi perkembangan dan pertumbuhan organisasi ke alam merdeka.  Karena itu langkah-langkah yang telah ditempuh merupakan sarana dan bekal untuk menyongsong hari depan yang baru.  Kongres ini juga merupakan titik tolak kiprah organisasi yang akan selalu menyesuaikan diri dengan perkembangan dan perubahan situasi dan kondisi negara kita.

Sejalan dengan keputusan tentang peningkatan organi-sasi Mathla’ul Anwar menjadi organisasi kemasyarakatan  (ormas), masa kerja pengurus yang baru berubah pula.  Tidak lagi satu tahun tetapi menjadi tiga tahun sekali. Sehingga Pengurus Besar yang baru ditetapkan Kongres IX mulai diberlakukan untuk masa kerja tahun 1953-1956.

Mathla’ul Anwar yang dilahirkan di satu kota kecil, yang pada waktu itu mungkin tidak tercatat dalam atlas atau peta bumi Indonesia, nyatanya mampu menyelenggarakan kongres di ibu kota provinsi, bahkan menggunakan fasilitas yang cukup modern di kala itu. Kongres Mathla’ul Anwar IX dibuka dengan resepsi atau ta’aruf di Gedung Concordia, yang dua tahun kemudian menjadi tempat konferensi Asia Afrika pertama dilangsungkan.  Gedung megah yang ada di tengah-tengah kota Bandung itu adalah peninggalan Belanda. Waktu itu penuh sesak diisi oleh peserta dan masa Mathla’ul Anwar yang berda-tangan dari beberapa daerah.

Pemuda Mathla’ul Anwar
Tahun 1953, bagi Mathla’ul Anwar ditandai dengan mulai bangkitnya angkatan muda.  Mereka bahu membahu ikut serta mengambil bagian dalam barisan Mathla’ul Anwar.  Komari Saleh HG, M. Nahid Abdurrahman, Mohammad Rifa’I, Mohammada Idjen, Uyeh Baluqia Syakir, Ismail Cairo (Djaelani), M. Muslim, Ghozli, TB. Suja’i, Abdurrahim, Hasan Muslihat, E.A. Burhani dan masih banyak lagi di antara nama-nama pemuda yang muncul di kala itu.

Namun dilain pihak, pada saat bersamaan, Mathla’ul Anwar menghadapi tantangan dan rongrongan yang cukup  berat.  Khususnya dalam menghadapi pemilihan umum yang pertama untuk Dewan Perwakilan Rakyat dan Konstituante.  Partai-partai Islam berusaha menarik masa Mathla’ul Anwar untuk masuk dalam kubunya.  Betapapun beratnya ujian waktu itu, namun Pengurus Besar Mathla’ul Anwar dengan segenap jajarannya, tetap bertahan kepada keputusan sikapnya untuk tidak menjadi onderbouw dan bersfiliasi kepada salah satu partai politik.


Muktamar X
Sesuai keputusan Kongres sebelumnya bahwa sedianya Kongres X akan diadakan di Lampung, namun berbagai kendala pada waktunya, Lampung belum siap.  Maka Pengurus Besar memutuskan Kongres X diadakan di Menes pada tahun 1956 bulan Januari yang sekaligus dalam rangka Hari Ulang Tahunnya yang ke-40 berdirinya Mathla’ul Anwar.

Malam resepsi Kongres ini dihadiri pula oleh Menteri Agama R.I., Moh. Ilyas.  Tidak hanya ribuan, tetapi puluhan ribu umat warga Mathla’ul Anwar berduyun-duyun datang ke arena Kongres di Cimanying, Menes. Lalu-lintas Pandeglang Labuan praktis terhenti, bahkan berjalan kaki pun tidak mudah.  Warga Mathla’ul Anwar dari seluruh pelosok Menes dan sekitarnya ikut menyambut gembira ulang tahun Mathla’ul Anwar ke-40.  Para peserta tidak ditempatkan di suatu asrama khusus, tetapi ditipkan di rumah-rumah penduduk, atas biaya masing-masing.

Mereka yang tidak kebagian mengeluh dan mengadu kepanitia seakan tak dihargai.  Terpaksa panitia menjadi repot memindah-mindahkan para peserta agar setiap warga yang menyediakan tempat mendapat tamu peserta.  Segenap anggota Pandu Cahaya Islam tampil denga cekatan membantu kerja panitia.  Mereka bergembira dalam bekerja keras, yang kadang-kadang terpaksa lupa makan dan minum.

Salah satu keputusan Kongres X di Menes ini adalah rencana menerbitkan sebuah buku Yubelium, kenang-kenangan kongres dan HUT, yang berisi pula ikhtisar sejarah perjuangan Mathla’ul Anwar dari awal.  Sayang buku itu tidak sempat terbit.  Disamping itu, Kongres X telah mengesahkan berdirinya Pemuda Mathla’ul Anwar, sebagai badan otonom sebagaimana Pandu Cahaya Islam dan Muslimat Mathla’ul Anwar.  Semula, satu-satunya wadah bagi para pemuda muslim adalah Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), Namun setelah Syarikat Islam (SI) keluar dariMasyumi pada tahun 1948, yang kemudian berdiri menjadi Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII); disusul oleh Nahdatul Ulama (NU) yang menjadi partai Nahdatul Ulama, maka timbulah kembali berbagai organisasi pemuda Islam.  Diantaranya adalah Gerakan Pemuda Ansor dan Pemuda Muhammadiyah.

Untuk menjaga keutuhan dan persatuan di kalangan warga Mathla’ul Anwar sendiri, maka didirikanlah Pemuda Mathla’ul Anwar (PMA), yang untuk pertama kalinya dipimpin oleh M. Muslim.

Adapun keputusan-keputusan lainnya dari Muktamar X, diantaranya ialah :
a.             Mengulangi statemen bahwa Mathla’ul Anwar tidak bergabung, tidak berafiliasi atau menjadi onderbouw dari partai politik atau organisasi apa pun juga.  Keputusan ini merupakan penegasan kembali bahwa Mathla’ul Anwar adalah organisasi yang independen atau berdiri sendiri.
b.            Mengusulkan kepada pemerintah agar pelajaran agama (Islam) dijadikan mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah negeri.
c.             Mengusulkan dan mendesak kepada pemerintah RI agar di tiap-tiap stasiun kereta api didirikan Musholla.
d.      Susunan Pengurus Besar Mathla’ul Anwar terpilih antara lain :

Ketua Umum                 :  K. Uwes Abubakar
Wakil Ketua I                :  Ajengan Sya’roni
Wakil Ketua II               :  K.H.A. Siddiq
Sekreataris Umum         :  K.H. Muslim
Sekretaris I                     :  E.A. Burhani
Sekretaris II                   :  E. Chabri
Bendahara                      :  KH. Djamhari

Waktu itu Ketua Umum K.E. Uwes Abubakar telah dilantik sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat R.I hasil pemilu yang pertama thun 1955.  Sedang sebelumnya, sejak tahun 1950 sampai dengan 1955, beliau menjadi anggota DPRD sementara Propinsi Jawa Barat, merangkap anggota DPRD sementara kabupaten Pandeglang, yang masing-masing sebagai anggota fraksi Masyumi.

Situasi ekonomi dan politik sejak tahun 1957 sangat tidak menguntungkan bagi Mathla’ul Anwar.  Negara, saat itu dikeruhkan oleh munculnya pemberontakan PRRI dan permesta di Sumatra Barat dan Sulawesi Utara.  Karena konstituante dianggap macet, Presiden membubarkan lembaga pembentuk UUD tersebut dan mendekritkan kembali berlakunya UUD 1945, presiden yang semula hanya bersifat seremonial menjadi eksekutif yang berkuasa.

Dimulailah dikeluarkan ketentuan-ketentuan yang tidak mempunyai dasar dalam konstitusi berupa Peraturan Presiden yang kemudian menyebabkan dibubarkannya partai Masyumi dan PSI.  Walau demikian, Mathla’ul Anwar, yang sebelumnya hanya berada di sebagian wilayah Jawa Barat dan Lampung, kemudian melebar samapai ke Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, Sulawesi Tengah, Aceh dan Kalimantan Barat.

Mathla’ul Anwar sebagai Badan Hukum
Tahun 1959, karena masih saja terdengar suara-suara sumbang yang menyatakan bahwa Mathla’ul Anwar sebagai mantel dan onderbouw Masyumi, maka Katua Umum K.E. Uwes bubakar memberikan mandat kepada Wakil Ketua I, Ajeng Sya’roni untuk atas nama organisasi menjadikan Mathla’ul Anwar sebagai badan hukum.  Penetapan ini dalam bentuk keputusan Menteri Kehakiman RI sebagai berikut:

ANGGARAN DASAR SERIKAT-SERIKAT

Tambahan berita Negara RI tanggal 28 – 03 – 1959 No. 25 KUTIPAN dari Daftar Penetapan Menteri Kehakiman tertanggal 13 Djanuari 1959 No. J.A 5/6/15.

MENTERI KEHAKIMAN

Membatja
:
I



II
Surat permohonan tertanggal 1 oktober 1958 dari H.A. Sya’roni, Wakil Ketua I dan selaku itu dalam hal ini menjadi wakil perkumpulan tersebut di bawah ini;
Surat II. Surat dari \kepala Daerah Tingkat II Bandung tertanggal 27 Agustus 1958 No. 93/Ktr/Sek/58. 
Mengingat
:

Peraturan-peraturan yang bersangkutan sebagai pasal 1, 2 dan 3 dari Lembaran Negara 1870*(Staatsblad No.64), sebagaimana terakhir diubah dengan Lembaran Negara 1937 (staatsblad No. 573) dan pasal-pasal 1653 sampai dengan 1965 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata :


MEMUTUSKAN  :



Menyatakan sah Anggaran Dasar perkumpulan : Mathla’ul Anwar disingkat M.A yang memilih kedudukan biasa di Menes, Banten, sebagaimana Anggaran Dasarnya dimaktubkan dala lampiran penetapan ini dan oleh karena itu mengakui perkumpulan tersebut sebagai badan hukum pada hari pengumuman anggaran dasarnya dalam Tambahan Berita Negara Indonesia.

Kutipan dari penetapan ini dikirim kepada pemohon untuk diketahui dan dituruti.

Sesuai dengan daftar tersebut :
Kepala Urusan Hukum Perdata :
u.b
Pegawai Tinggi yang diperbantukan
Mr. Tio Tjiong Tho


Bergabung dengan Mathla’ul Anwar
Pada tahun-tahun itu pemerintah melalui Kementrian Agama memberi bantuan berupa uang kepada mdrasah-madrasah sekali setahun.  Besar kecilnya dihitung dari jumlah murid dikalikan Rp. 2,50.- (dua rupiah lima puluh sen). Untuk itu setiap madrasah yang dikoordinir oleh organisasi masing-masing diharuskan mengisi formulir yang telah disediakan oleh Kementrian Agama.  Disamping itu ada ketentuan yang ditetapkan oleh Kementrian Agama, bahwa madrasah-madrasah perorangan, yayasan atau organisasi-organisasi lokal diharuskan bergabung kepada organisasi yang bertingkat nasional.

Dimaksud organisasi tingkat nasional adalah satu organisasi yang wilayah kerjanya sekurang-kurangnya meliputi dua daerah propinsi.  Yang termasuk golongan ini antara lain : Muhammadiyah, NU, Al Jamiatul Wasliyah, Al Irsyad, Persis, PUI dan Mathla’ul Anwar.

Dengan adanya peraturan itu maka banyak yayasan-yayasan yang mengelola madrasah , maupun lembaga-lembaga perorangan yang menyelenggarakan pendidikan formal (bukan diniyah) bergabung dan berfusi dengan Mathla’ul Anwar.  Di Jawa Tengah : Ichsaniyah Tegal yang memiliki daerah kerja di Brebes, Pemalang dan Banjarnegara; Al Iman Magelang yang daerah kerjanya meliputi Temanggung, Purwarejo, Wonosobo, Kebumen dan Ma’had Islam di semarang.  Nahdlatul Wathon di Kediri Nusa Tenggara Barat, Nurul Islam Tawaeli-Donggala Sulawesi Tengah dan puluhan madrasah di Aceh, di bawah koordinasi Moh. Isa.  Dan karena itu Mathla’ul Anwar yang pada awalnya hanya menduduki tempat di urutan H (8), maka satu tahun kemudian (1960) telah berada pada urutan ketiga.
            
          Karena itu untuk memudahkan hubungan kerja dengan Pemerintah dan Instansi terkait di Pusat, serta untuk bisa memberikan pelayanan kepada semua madrasah-madrasah/yayasan yang bergabung, maka didirikanlah Kantor \perwakilan Pengurus Besar Mathla’ul Anwar di Jakarta, di tanah dan bangunan Bapak H. Suhada jalan Sangihe No. 26 A Jakrta Barat.  Dan Bapak H. Suhada sendiri diangkat sebagai Pengurus Mathla’ul Anwar DKI Jakarta.  Dan di tempat itu langsung didirikan PGD Mathla’ul Anwar yang dipimpin oleh Ustadz. Salim Kadir dan kawani.



Berdirinya Majlis Fatwa Wat Tabligh
Sejak tahun 1952, dengan berdirinya MNU sebagai partai politik, timbul kembali perselisihan umat Islam tentang masalah-masalah khilafiyah dan furuiyyah.  Masalah ini sebelumnya sudah agak teredam dan tidak lagi menjadi perselisihan sengit dikalangan masyarkat.  Tetapi waktu itu, seolah-olah sengaja dibangkitkan untuk menarik simpati  umat dalam memperkuat partai atau barisan masing-masing, lebih khusus lagi dalam rangka kampanya dalam menghadapi Pemulihan Umum pertama pada tahun 1955.  Pemahaman tentang Ahli Sunnah wal Jama’ah menjadi kabur dan dikembangkan menurut versi masing-masing organisasi bersangkutan.  Akibatnya, taqlid buta merambah individu-individu yang enggan berfikir dan sungkan mengkaji.

Hal-hal itu menjadi salah satu penyebab keprihatinan para ulama dn kyai yang berpandangan jauh ke depan dan maju.  Guna meningkatkan wawasan dan mendorong cara berfikir para kyai dan ulama di kalangan intern Mathla’ul Anwar, timbulah satu gagasan untuk mengadakan pengkajian dan penyatuan pemahaman tentang berbagai ilmu agama.  Dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut maka pada tahun 1960 bertempat di Buaranjati Mauk, Tangerang diadakan suatu pertemuan yang dihadiri, selain anggota Pengurus Besar Mathla’ul Anwar, para tokoh, kyai dan ulamanya.  Dalam pertemuan itulah dibahas beberapa masalah aqidah dan hukum agama, khususnya nerisi pula tentang pemahaman dan pendalaman tentang Khittah Mathla’ul Anwar.

Dan pada akhir pertemuan disetujui agar pertemuan-pertemuan seperti itu diadakan secara berkala sekurang-kurangnya satu tahun sekali yang temptnya berpindah-pindah.  Dan diputuskan pula bahwa pertemuan tersebut dilembagakan dengan nama Majlis Fatwa Wattabligh Mathla’ul Anwar.  Untuk mengetuai lembaga, pada pertama kalinya terpilih dan diangkat K.H. Achmad Syauqi, sedangkan sekretarisnya dipilih Kyai R.A. Anhar.

Dengan lembaga ini diharapkan soal-soal furuiyyah dan khilafiyyah yang sangat peka dan sering menjadi penyebab timbulnya perpecahan di kalangan umat Islam dapat dicegah dan dihindari.  Juga diharapkan timbulnya sikap tasamuh atau toleransi antar sesma Muslim.  Dan dilain pihak sikap terhadap kaum kuffar menjadi tegas.

Sidang Majlis Fatwa Wattabligh ke-2 diadakan di kota Magelang, Jawa Tengah, pada tahun 1961.  Sidang II ini benar-benar merupakan rena pembahasan dan pengkajian masalah agama, khususnya yang menyangkut bidang fiqh dan hukum Islam.

Keberadaan Ustadz Djufri Sagaf sebagai orang pertama dari yayasan Al Iman telah menjadi salah satu penyebab sidang-sidang Majlistersebut benar-benar hidup sesuai dengan arah yang dituju dan diharapkan Pengurus Besar Mathla’ul Anwar, khususnya yang diinginkan oleh Ketua Umum K.E. Uwes Abubakar.  Disini para ulama dan kyai dilingkungan Mathla’ul Anwar meningkat wawasan ilmu pengetahuandan cara berfikirnya.  Ustadz Djufri Sagaf, selain banyak pengalaman, juga sangat luas ilmu pengetahuannya.  Semua dalil dan alasan yang dikemukakan dibuktikan dengan pembeberan kitab-kitab yang pernah dibaca, dan sekaligus ada dalam koleksi perpustakaan yayasan Al Iman.  Disamping hafal kalimat demi kalimat, juga beliau ingat nama kitab, judul, penulis, bahkan sampai dengan juz, halaman, dan jilidnya.  Ditunjang pula penguasaan dan pemahaman bahasanya.  Maka tidak anehlah kalau ada yang samapi menyebut atau menjuluki beliau sebagai kamus hidup.  Dan jadilah beliau sebagi bintang perhatian yang dikagumi seluruh peserta.

Kemudian sidang Majli Fatwa Waatabligh yang III diadakan di kota Karawang pada tahun 1962.  Sidang ini ditandai masuknya Prof. DR. Saleh Suaidy sebagai ketua Majlis Fatwa Wattabligh yang baru menggantikan KH. Anhar yang meninggal dunia.

Majlis Pendidikan dan Pengajaran
Bersamaan  sidang Majlis Fatwa Wattabligh yang kedua, diadakan pula Sidang Majlis Pendidikan dan Pengajaran Mathla’ul Anwar di lokasi itu juga.  Majlis Pendidikan Pengajaran bersidang untuk membahas rencana pelajaran (leerplan) serta pedoman pendidikan dan Pengajaran Mathla’ul Anwar.  Ini bukan berarti bahwa Mathla’ul Anwar belum memiliki rencana pelajaran, tetapi karena adanya penggabungan yayasan-yayasan dan madrasah-madrasah perorangan ke dalam Mathla’ul Anwar.  Atas kesepakatan dan keinginan yang sama, dianggap perlu diadakan rencana pelajaran yang sama dan seragam yang disesuaikan dengan perkembangan dan kemajuan zamannya.

Ditegaskan waktu itu bahwa hal itu bukan berarti Mathla’ul Anwar mencampuri rumah tangga intern yayasan atau lembaga-lembaga yang bergabung ke dalam Mathla’ul Anwar, tetapi memang dikehendaki bersama oleh semua pihak yang bersangkutan.

Akhirnya setelah menerima dan menampung usul-usul dan saran-saran dari beberapa pihak, Majlis Pendidikan dan Pengajaran mengambil keputusan untuk membentuk Panitia Perumus dan Penyusun Rencana Pelajaran dan Pedoman Mathla’ul Anwar, anggotanya antara lain terdiri dari E.A. Burhani, Muslim, Uyeh Baluqia Syakir dari Bandung, Ustadz Abdurrahman dan ustadz Djaelani Ilyas yang masing-masing dari yayasan Ihsaniyah Tegal dan dua orang lagi dari Yayasan Al Iman, Malang. Kedua sidang majlis tersebut diadakan pada bulan Agustus 1961 dimana yayasan Al Iman sebagai panitia penyelenggara.

Dalam rangka menjalin hubungan dengan ex anggota Dewan Perwakilan Rakyat hasil Pemilu pertama tahun 1955, E. Uwes Abubakar selaku Ketua Umum Pengurus Besar Mathla’ul Anwar, pada akhir tahun 1961 (bulan Desember) mengadakan kunjungan ke Jawa Tengah dan Jawa Timur.  Dari Jakarta, rombongan singgah di Tegal dan Salatiga, kemudian langsung ke Surabaya menuju rumah K.H. Misbach.  Beliau adalah juga ex anggita DPR hasil Pemilu tahun 1955 yang tidak disertakan dalam DPR Gotong Royong ciptaan Bung Karno, sesudah Dekrit Presiden tahun 1957.

Di Surabaya selain berkunjung ke KH. Misbach, rombongan bersilaturahmi pula dengan tokoh pengurus Yayasan Pendidikan Islam  Indonesia (YPII) yang antara lain dipimpin oleh Anwar Zain dan Susmono.  Dari pembicaraan yang tidak semula nampak tidak terarah, akhirnya samapai pada kesimpulan penggabungan YPII ke dalam Mathla’ul Anwar.  Pembicaraan waktu itu baru tingkat konsultasi dan informil.  Kepastian dan keputusannya Pengurus YPII Pusat untuk bergabung dengan Mathla’ul Anwar, rencananya akan diputuskan setelah musyawarah dengan semua perwakilannya yang tersebar di seluruh kabupaten di Jawa Timur.

Pada bulan Jnuari 1962, pertemuan Pengurus YPII lengkap dengan perwakilan-perwakilannya se-Jawa Timur dilangsungkan.  Pada pertemuan itulah didapat kata sepakat dan secara resmi YPII Jawa Timur bergabung dalam Mathla’ul Anwar.  Diantaranya tercatat sepuluh kabupaten Perwakilan YPII yang hadir ialah: Tuban, Bojonegoro, Probolinggo, Ngawi, Magetan, Pacitan, Gresik, Mojokerto, Ponorogo dan kabupaten Madura.

Pada tahun 1962 itu juga, di Tegal dilangsungkan Sidang Panitia Perumus dan Penyusun Rencana Pelajaran (leerplan) dan Pedoman Pendidikan Mathla’ul Anwar.  Sidang menghasilkan Rencana Pelajaran Terurai untuk madrasah Ibtidaiyah.  Adapun untuk madrasah tingkat Tsanawiyah dan Aliyah akan disidangkan di Menes, Banten yang waktunya belum ditetapkan di kala itu.

Lahirnya Majlis Da’wah Mathla’ul Anwar
Pada akhir tahun 1962 bertempat di Karawang, dilangsungkan sidang Majlis Fatwa Wattabligh III.  Sidang kali ini dihdiri pula oleh Al Ustadz H.M. Sholeh Su’aedy (salah seorang yang mencetuskan berdirinya Departemen Agama dan juga salah seorang utusan bangsa Indonesia dalam muktamar Haji di Makkah, yakni pertemuan pertama yang dihadiri bangsa Indonesia setelah merdeka).  Juga hadir K.H. Abdul Razak, seorang utusan badan wakaf dari semarang.  Satu keputusan yang sangat penting dari sidang ini adalah dipecahnya Majlis Fatwa Wattabligh ke dalam dua lembaga: masing-masing Majlis Fatwa Mathla’ul Anwar dan Majlis Da’wah Mathla’ul Anwar.
            
           Majlis Fatwa berfungsi menampung dan membahas masalah-masalah hukum Islam, sedang Majlis Da’wah berfungsi sebagai lembaga yang menyebarluaskan hasil-hasil olahan Majlis Fatwa.  Majlis Fatwa diketuai oleh H.M. Sholeh Su’aedy dan Majlis Da’wah diketuai A.E. Sutisna dari Pandeglang.
           
           Pada tahun 1963 Ketua umum Pengurus Besar Mathla’ul Anwar melaksanakan ibadah haji ke Mekah.  Sebenarnya apa yang dilaksanakanitu semata-mata untuk menyempurnakan rukun Islam yang ke lima, tidak merupakan satu yang istimewa bagi seorang muslim.  Namun tanpa diketahui sebelumnya, sesampai beliau di tanah suci mendapat undangan resmi Rabithah Alam Islami yang memang setiap tahun mengadakan kongresnya di Mekkah. Ketua Umum PB Mathla’ul Anwar diundang untuk mewakili umat Islam Indonesia.

Perwakilan Mathla’ul Anwar di Luar Negeri
Karena merasa dirinya tidak pantas untuk bertindak sebagai wakil dari Indonesia, sebab di sana terdapat tokoh-tokoh dari NU dan Muhammadiyah yang organisasinya sudah lebih besar dari Mathla’ul Anwar.  Tetapi dari pihak Rabithah tidak mau menerima alasan itu.  Maka akhrinya dengan tidak merasa merendahkan yang lain terpaksa undangan itu dipenuhi, dengan pertimbangan dari pada tidak ada wakil Indonesia sama sekali.  Dan kemudian sejak saat itulah Indonesia dianggap termsuk sebagai anggota forum internasional tersebut.

Bahkan sebulan setelah kongres itu, dalam bulletin yang diterbitkan oleh Rabithah, dimuat salah satu keputusannya yang menguntungkan umat Islam Indonesia.  Disebutkan di situ bahwa Indonesaia termasuk salah satu negara yang umatnya akan dibantu secara material/financial.  Disamping itu, Ketua Umum sempat pula membentuk Perwakilan Mathla’ul Anwar untuk Saudi Arabia yang berkedudukan di Mekkah.
          
            Satu hal lagi yang diluar perencanaan semula, dengan kehendak Allah SWT. Telah terwujud begitu saja.  Pada waktu itu Jeddah ada sebuah Madrasah lil banaat.  Muridnya tidak samapi seratus orang.  Mereka ingin bergabung dengan Mathla’ul Anwar, dan kemudian mengubah namanya menjadi Madrasah Mathla’ul Anwar.  Satu hal yang luar biasa, beberapa waktu setelah penggabungan dengan nama Mathla’ul Anwar, muridnya melonjak pesat sampai tiga ratus orang lebih.
            
            Perjalanan haji waktu itu masih menggunakan kapal laut, sehingga memakan waktu sekitar tiga bulan.  Di samping itu untuk dapat menunaikan ibadah haji, selain membayar ONH, setiap calon harus menang dalam undian kotum, yakni kesempatan melaksanakan ibadah haji pada tahun itu.  Hal ini terjadi, karena ibadah haji di waktu itu mendapat subsidi pemerintah, dan jumlahnya sangat terbatas sesuai kemampuan dan [emerintah.
            
            Sekembalinya Ketua Umum di tanah air, tidak lama kemudian diadakan satu pertemuan anggota Pengurus Besar dan Panitia Perumus Pelajaran (Kurikulum) bertempat di Menes.  Pada kesempatan itu, selaian membahas leerplan juga untuk mendapatkan oleh-oleh perjalanan ke tanah suci, termasuk pula tenyang kongres Rabithah.  Berdirinya perwakilan Mathla’ul Anwar untuk Saudi Arabia, dan bergabungnya sebuah madrasah ke dalam Mathla’ul Anwar di Jeddah.
           
             Pada tahun (1965), untuk yang pertama kalinya  Mathla’ul Anwar mendapat jatah dari Departemen Agama untuk mengirimkan seorang menjadi MPH (TPHI), yaitu Majlis Pembimbing Haji.  Dan untuk itu ditunjuk M. Muslim Abdurrahman untuk melaksanakan tugas tersebut.
            
             Pada tahun 1964, suhu politik di Indonesia terasa makin panas.  Sementara perekonomian bangsa menjadi semakin kritis, inflasi ratusan persen, harga melambung tiap hari dan barang-barang menjadi langka. “Nasakomisasi”, yakni menjadikan semua lembaga berintikan tiga kekuatan politik nasional, agama dan komunis dipaksa dimana-mana.  Jargon politik seperti Manipol Usdek dan lain-lain istilah politik di waktu itu memenuhi udara politik tanah air kita.  Semu itu tidak membuat rakyat Indonesia semakin baik, tetapi justrumenjadikan lebih sengsara, karena ditumbuhkan kecurigaan satu sama lain.  Bersamaan dengan itu, di samping DPR Gotong Royong, didirikan pula Front Nasional, yang berintikan kaum Komunis dan Nasionalis kiri.
            
           Untuk mengatasi kecenderungan ke kiri yang berlebihan, dipelopori oleh Angkatan Darat, didirikan sekretariat bersama Golongan Karya atau Sekber Golkar.  Tujuannya anatar lain untuk menyalurkan aspirasi rakyatdan khususnya lagi bagi organisasi-organisasi masa kekayaan dan non politik. F dan Mathla’ul Anwar termasuk penandatanganan berdirinya sekber Golkar.

Sekembalinya menunaikan tugas sebagai MPH, KH. M. Muslim, yang waktu itu menjabat sebagai Sekretaris Umum Pengurus Besar Mathla’ul Anwar menyampaikan oleh-oleh perjalannya dalam satu pengajian. Ini terjadi pada Kamis malam, 30 September 1965.  Pada saat itu, juga diserahkan sebuah bingkisan berupa mesin huruf Arab, hadiah perwakilan Mathla’ul Anwar di Mekkah.  Sedang paket lain berupa kitab-kitab untuk perpustakaan dikirim terpisah.

Peristiwa G 30 S PKI dan Sikap Mathla’ul Anwar
Setelah mendengar pengumuman “Dewan Revolusi” melalui siaran radio, mengambil kesimpulan bahwa peristiwa itu adalah merupakan kup (cou) PKI.  Dan karen itu mereka mengambil keputusan untuk malam itu tidak berada di rumah masing-masing, tetapi mengungsi ke Dukuh Atas, di rumah keluarga Ustadz H.M. Sholeh Su’aedy.  Mereka menghawatirkan kemungkinan-kemungkinan pihak PKI yang memberontak itu akan melakukan pembunuhan tokoh-tokoh atau pemimpin-pemimpin Islam, musuh bebuyutannya, sebagaimana pernah terjadi pada Kup PKI 18 September 1948 yang dikenal dengan sebutan Peristiwa Pemberontakan PKI Madiun.  Pada saat itu banyak kyai dan ulama yang dibantai.

Tanggal 2 Oktober 1965 Pengurus Besar Mathla’ul Anwar membuat pernyataan mengutuk PKI yang mengadakan Kup dan membantai tujuh orang Jendral.  Pernyataan ini pada pagi harinya, 3 Oktober 1965 di muat di beberapa surat kabar, seperti “Berita Yudha” dan “Merdeka”. Pernyataan Mathla’ul Anwar merupakan pernyataan pertama dari organisasi Islam.

Pembentukan Sekber Golkar
Sebelum genap sebulan peristiwa G.30.S PKI, Sekber Golkar mengadakan musyawarah besar (Mubes) yang kesatu di Cipayung-Bogor.  Dan bersamaan dengan itu pula di Jakarta para utusan organisasi-organisasi Islam berkumpul untuk membentuk satu wadah kerjasa antara oramas Islam non politik.  Untuk menghadiri Mubes Sekber Golakr diutus Komari Saleh HG, Moh. Rifa’i, M. Nahid Abdurrahman, Mumung Muslim untuk mewakili Mathla’ul Anwar dan PPMA (Persatuan Pemuda Mathla’ul Anwar).  Sedang untuk menghadiri pertemuan organisasi-organisasi Islam diwakili sendiri oleh Ketua Umum KH. Uwes Abubakar, Taftazani. Pertemuan ini kemudian menghasilkan satu wadah yang diberi nama Koordinator Amal Muslim yang diketuai oleh Letnan Jendral Soedirman.  Sedang para anggotanya terdiri dari Mathla’ul Anwar, Muhammadiyah, PUI, Persis, Al Jamiatul Washliyah, Al Irsyad, Hmi, PII, Ghasindo, Buruh Merdeka dan Al Ittihadiyah.

Mubes Sekber Golkar di Cipayung sempat mengadakan pemilihan pengurus baru dengan Brigjen TMI Djuhartono terpilih menjadi Ketua Umumnya.  Namun tidak lama kemudian terjadi pergantian dan pergeseran dan Letnan Jendral Sukwati men duduki Ketua Umum dan sementara beberapa orang pengurus lainnya dicabut dari jabatan kepengurusan.
            
             Dalam serah terima jabatan dari Brigjen Djuhartono kepada Letjen Sukwati, juga diadakan dialog untuk meminta tanggapan dan pendapat organisasi-organisasi anggota Sekber Golkar tentang susunan kabinet pengganti \kabinet seratus Menteri yang baru saja dibentuk. Pada pertemuan itu dari Mathla’ul Anwar hadir dua orang, yaitu, KH. Uwes Abubakar selaku Ketua Umum.  Khusus mengenai penilaian terhadap susunan kabinet yang baru, Mathla’ul Anwar mendapat giliran yang pertama untuk menyampaikan sikap dan pendapatnya. Dalam hal ini Mathla’ul Anwar menyambut baik dan mengucapkan selamat datang kepada Ketua Umum Sekber Golkar yang baru Letjen Sukawati dan menyampaikan selamat jalan disertai ucapan terima kasih kepada Ketua Lama Brigjen Djuhartono yang akan memangku jabatan lain untuk negara.  Mengenai susunan kabinet baru Mathla’ul Anwar, meskipun tidak puas, namun dapat menerima dan memberi kesempatan kabinet baru tersebut untuk bekerja sesuai program yang telah ditetapkan.
Ternyata sikap dan tanggapan Mathla’ul Anwar didukung dan diikuti oleh semua pembicara yang lain.

Pembentukan ‘Amal Muslimin
Dalam forum koordinator Amal Muslimin, Mathla’ul Anwar bersama HSBI (Himpunan Seni Budaya Islam) yang wakti iu dipimpin oleh Yunan Helmi Nasution dan Aisyah Amini, SH dan Al-Jamiatul Washliyah selalu aktif dan hampir tidak pernah absen.  Satu gagasan yang pernah dilontarkan oleh Mathla’ul Anwar yang mendapat perhatian dan diterima oleh salah satu sidangnya, ialah agar Koordinator Amal Muslimin menyusun konsep-konsep ekonomi, sosial, keuangan dan berbagai macam hal yang diperlukan untuk kemakmuran dan kesejahtraan umat sesuai ajaran Islam.  Konsep-konsep ini kelak agar disodorkan dan diusahakan untuk dilaksanakan oleh pemerintah bersama umat.
            
             Pada awal tahun 1966, H. Adam Malik yang waktu itu sebgai Menteri Luar Negeri RI, menaruh perhatian dan tertarik terhadap Mathla’ul Anwar.  Karena itu beliau bersedia diangkat sebagai pelindung organisasi ini. Karena itu, sewaktu Mathla’ul Anwar melaksanakan muktamarnya ke IX dan sekaligus memperingati ulang tahunnya yang ke setengah abad (50 tahun), beliau diangkat sebagai pelindung.
            
              Tahun 1966 situasi kota Jakarta sebgai ibu kota RI terasa sangat tidak menentu.  Pergeseran antara Orde Lama dan Orde Baru, munculnya gerakan angkatan umum yang terdiri dari para mahasiswa dan pelajar serta berbagai kelompok profisional lainnya.  Sebelumnya, para mahasiswa dan pelajar dan berbagai kelompok masyarakat telah membentuk berbagai kesatuan aksi seperti Kasatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), Kesatuan Akmsi Pemuda dan Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Sarjana, Buruh, wanita dll. Dalam wadah KASI, KABI, KAWI, dan lain-lain.  Saudara Irsyad Djuwaeli dari PGA Mathla’ul Anwar Jakarta, bertindak sebagai Ketua Ikatan Pelajar Mathla’ul Anwar (IPMA), sibuk pula bersama-sama kesatuan-kesatuan pelajar yang lain membentuk Kesatuan Aksi Pemud Pelajar Indonesia (KAPPI), dan menggelar demontrasi mengutuk G 30 S PKI, kemudian menuntut pembubaran PKI dan menuntut pembubaran Kabinet 100 Menteri dan lain-lain.  Dari jasa-jasanya itu saudara Irsyad Djuwaeli di kukuhkan kembali dalam Muktamar ke XI di Menes sebagai Ketua Ikatan Pelajar Mathla’ul Anwar, dan masuk dalam susunan Pengurus Besar Mathla’ul Anwar.

Muktamar XI
Sesuai rencana, pada bulan September 1966, Muktamar XI dan peringatan HUT Mathla’ul Anwar ke 50 dilangsungkan di Menes. Dengan demikian Mathla’ul Anwar merupakan organisasi kemasyarakatan yang pertama kali mengadakan muktamar pada masa Orde Baru.  Organisasi lain belum pernah mengadakan.  Namun karena situasi ekonomi ditambah kondisi komunikasi waktu itu, maka jumlah daerah yang hadir sebagai peserta muktamar tidak mencapai quorum sebagai mana diatur dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Mathla’ul Anwar.  Karena itu, akhirnya disepakati dan diputuskan sebagai Muktamar Luar Biasa.

Pada peringatan ulang tahunnya yang ke 50 (setengah abad), selain dihadiri dua orang menteri yaitu Adam Malik (Menteri Lur Negeri) dan BM Diah (Menteri Penerangan), juga dihadiri beberapa orang wakil kedutaan negara-negara sahabat.  Ribuan pelajar, pemuda dan warga Mathla’ul Anwar yang berdatangan dari beberapa daerah di Jawa Barat dan Sumatra Selatan berbaris pawai melintas dihadapan para tanu kehormatan dan berjalan keliling melingkari kota Menes.  Bendera merah putih dan lambang Mathla’ul Anwar yang sangat banyak jumlahnya menambah semarak dan gegap gempitanya suasana waktu itu.  Sedang puncak acara berupa rapat umum beretempat di alun-alun Menes yang dihadiri puluhan ribu umat warga Mathla’ul Anwar dan para simpatisannya.

Muktamar Mathla’ul Anwar XI itu antara lain telah menghasilkan kompisisi dan susunan pengurus baru Pengurus Besar periode 1966-1969, dimana KH. Uwes Abubakar untuk ketujuh kalinya terpilih menjadi Ketua Umum.

Selengkapnya, susunan Pengurus Besar Mathla’ul Anwar periode 1966 – 1969 :
Pelindung                    :  Adam Malik (Menteri Luar Negeri RI)

Ketua Umum              :  K.H. E. Uwes Abubakar
Wakil Ketua                :  K.H. M. Muslim
Wakil Ketua                :  K.H. Abdurrahman Nuh
Wakil Ketua                :  K.H. Uyeh Baluqia

Sekretaris Umum        :  M. Nahid Abdurrahman
Sekretaris I                  :  Komari Saleh HG.
Sekretaris II                :  E. Khabri

Bendahara                   :  Moh. Amin Taftazani
Wakil Berdahara         :  Zaenudin Ramadi

Majelis Fatwa              :  K.H.M. Shaleh Su’aedy
Majelis Pendidikan     :  K.H. Abdurrozk
                                       K. Djaelani Ilyas

Hubungan LN             :  Prof. Dr. Abubakar Aceh
Hubungan DN             :  Said Sungkar
Perburuhan                  :  Zaenal Abidinsyah
Pertanian                     :  Abdul Syukur
Pen./Da’wah               :  K.H.E. Sutisna
Muslimat                     :  Murni Hidayat
                                       Ratu Halimah
                                       Ibu Suhada
                                       Ayu Farichah Amin
Pelajar                         :  M. Irsyad Djuwaeli
Pemuda Putri              :  Ayu Etti Sughada
Organisasi                   :  Qomaruddin
Sosial                           :  Damanhuri

Keputusan-keputusan Muktamar Mathla’ul Anwar XI, selain memilih, menyusun komposisi dan personalianya, antara lain:
a.      Menerima baik dengan suara bulat kebijaksanaan Ketua Umum selama 10 tahun dari 1956 samapai dengan 1966 di antaranya pembentukan perwakilan-perwakilan Khusus Mathla’ul Anwar yang merupakan penggabungan-penggabungan yayasan/organisasi pendidikan lokal, yakni: Al-Iman di Magelang, Ikhsaniyah di Tegal, Brebes dan Pemalang; Nahdatul Wathaon di Kediri Nusa Tenggara Barat; Yayasan Pendidikan Banten (YPB) di Serang; YPII (Yayasan Pendidikan Islam Indonesia) di Jawa Timur yang tersebar di sepuluh kabupaten; dan Nurul Islam di Tawaeli, Donggala, Sulawesi Tengah.
b.      Masuknya Mathla’ul Anwar sebagai anggota Koordonator Amal Muslimin.
c.      Masuknya Mathla’ul Anwar sebagai anggota Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar).
d.     Mengesahkan berdirinya Ikatan Pelajar Mathla’ul Anwar (IPMA) dan Pemuda Putri Mathla’ul Anwar.
e.      Mengesahkan kepengurusan PP Pemuda Mathla’ul Anwar
f.       Menerima baik hasil-hasil Panitia Penyusunan Rencana Pelajar Terurai untuk madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah.

Pengangkatan Massal Guru Agama
Pada tahun 1967, Departemen Agama mengadakan ujian guru agama yang kemudian untuk diangkat sebagai pegawai negeri dengan status Guru Agama.  Maka ratusan abituren Mathla’ul Anwar dimobilisir untuk mengikuti ujian guru agama tersebut.  Dalam hal ini, pengurusnya dikoordinir oleh M. Nahid Abdurrahman, Moh. Rifa’I, KH. M. Muslim, Moh. Idjen dan pemuda Mathla’ul Anwar lainnya.  Para guru itu kemudian ada yang diangkat di Kabupaten Pandeglang, Lebak, Bandung, Tangerang, Serang, Bogor, Karawang dan ex Keresidenan Lampung.  Banyak diantara mereka itu yang sekarang menyandang sebagai pensiunan, dan tidak sedikit pula yang meningkatkan kedudukannya sebagai pemilik dan bahkan menjadi kepala Kantor Pendidikan Agama.

Berdirinya Partai Muslim Indonesia (Permusi) dengan melalui wadah Koordinator Amal Muslimin, Mathla’ul Anwar ikut berkiprah mendorong dan mendukungnya.  Parmusi merupakan wadah untuk menampung massa Islam yang tergabung dalam ormas-ormas Islam dan belum memiliki wadah penyalur aspirasi politiknya, seperti: Muhammadiyah, Persis, PUI, Al-Jamiatul Washliyah, Mathla’ul Anwar dan lain sebagainya, khususnya yang tergabung dalam Koordinator Amal Muslimin.  Sejak terbentuknya Partai Muslimin Indonesia yang didukung oleh ormas-ormas Islam non politik pada tahun 1970, maka Mathla’ul Anwar dan demikian juga ormas-ormas Islam lain anggota Koordinator Amal Muslimin menjadi hilang keanggotaannya dalam Sekber Golkar.  Dengan berdirinya Parmusi, Ketua Umum mengumumkan ke daerah-daerah agar Pengurus Daerah Mathla’ul Anwar masing-masing daerah ikut berperan serta dalam membentuk Parmusi tingkat Kabupaten maupun Propinsi.

Namun pengumuman itu ditolak oleh Jawa Tengah. Dimana Komari Saleh HG. Waktu itu menjabat sebagai koordinator Mathla’ul Anwar Jawa Tengah, yang juga sebagai sekretaris Pengurus Besar.  Ia kemudian menemui Ketua Umum untuk menjelaskan alasan penolakannya.  Bahwa kebijakan Ketua Umum itu menyalahi Anggaran Dasar yang menyatakan bahwa Mathla’ul Anwar adalah independent.  Hal ini dinyatakan sesuai Statemen Muktamarnya yang VIII tahun 1952 di Ciampea Bogor, Muktamar IX tahun 1953 di Bandung, ke-10 tahun 1956 di Menes dan ke-11 tahun 1966 di Menes pula.
            
             Ketua Umum, akhirnya menyadari akan kekhilafan tersebut dan kemudian meralatnya.  Namun beberapa daerah yang sudah terlanjur aktif dan terpilih sebagai Pengurus Parmusi di tempatnya terpaksa tidak dapat begitu saja menarik diri, lebih-lebih karena sudah mendesaknya waktu Pemilihan Umum pertama pada zaman Orde Baru.
             
             Karena meninggalnya Ketua Umum, KH. Uwes Abubakar, pada tahun 1973, bertempat di kota Bandung, diselenggarakan Konferensi Luar Biasa yang selain dihadiri oleh selurung anggota Pengurus Besar  dan Majelis Fatwa. Juga dihadiri utusan-utusan dari daerah tingkat II Pandeglang,  Tangerang, Bogor, Kerawang, Bandung, Serang, Lebak dan Purwakarta.  Konfrensi itu telah berhasil merevisi susunan Pengurus, Khususnya pengurus besar harian menjadi sebagai berikut :

Ketua Umum              :  K.H.M. Muslim
Wakil Ketua I             :  Nafsirin Hadi, SH
Wakil Ketua II           :  KH. Abdurrahman Nuh (tetap)
Wakil Ketua III          :  K. Uyeh Baluqia (tetap)

Sekretaris Umum        :  M. Nahid Abdurrahman
Sekretaris I                 :  Moh. Rifa’i, menggantikan Komari Saleh HG yang mengundurkan
                                       Diri dengan alasan berdomisili di Salatiga.

Di samping itu, konferensi telah menyusun atau program jangka pendek, terutama untuk secepatnya menyelenggarakan Muktamar Mathla’ul Anwar XII.  Konfrensi ditutup dengan rapat umum bertempat di gedung Merdeka Bandung, sedang pagi harinya diadakan pula perpisahan silaturrahmi bertempat dikediaman Nafsirin Hadi pada tahun 1974 Ketua Umum hasil konferensi Bandung, KH.M. Muslim meninggal dunia dan sebagai pejabat sementara ditetapkan Nafsirin Hadi, SH samapai terpilihnya Ketua Umum baru pada Muktamar XII.

Muktamar XII
Menjelang diadakan Muktamar XII, Pengurus Besar Mathla’ul Anwar mengintruksikan ke daerah-daerah untuk menyelenggarakan loka karya yang semuanya akan dihadiri utusan dari Pengurus Besar.  Untuk daerah Jawa Tengah diadakan di Salatiga, daerah Lampung dan Tanjung Karang di Telukbetung. Begitu juga diadakan di Bogor, Kerawang, Bandung dan Pandeglang.  Loka karya itu diadakan di samping untuk kosultasi, dimaksudkan pula sebagai pesiapan agar suksesnya Muktamar XII berikutnya.
             
             Muktamar XII diadakan di Asrama PHI Cempaka Putih, Jakarta pada tahun 1975.  Pemilihan pengurus dalam muktamar tersebut mengalami ketegangan yang cukup panas.  Walau demikian, akhirnya disepakati suatu susunan sebagai berikut:

Ketua Umum              :  Nafsirin Hadi, SH
Ketua I                       :  Ajengan Sya’roni
Ketua II                      :  KH. E. A. Burhani
Ketua III                     :  Drs. Yahya Nasution
Ketua IV                     :  K.H. Cholid

Kelengkapan susunan Pengurus Besar dipercayakan kepada para Ketua terpilih yang akan mengadakan sidang beberapa waktu setelah Muktamar selesai.  Dan Myktamar XII selesai tanpa mengadakan resepsi penutupan.  Disamping itu, Muktamar juga menghilangkan badan-badan otonom dan bagian-bagian sebagaimana susunan Pengurushasil Muktamar XI.  Yang ada tinggal Majelis Fatwa.
             
           Sidang para ketua terpilih yang diadakan di Bandung berhasil menetapkan Drs. M. Irsyad Djuwaeli sebagai Sekretaris Umum, Moh. Rifa’i Sekretaris I, Moh. Idjen Sekretaris II, dan E. Lukman Hakim Sekretaris III. Bendahara ditetapkan BM Diah yang waktu itu menyatakan dirinya sebagai pembantu penyandang dana untuk kegiatan Sekretariat.  Damanhuri, M. Nahid Abdurrahman dan Hasan Muslihat ditetapkan sebagai pembantu.
           
           Belum sempat Pengurus Besar Mathla’ul Anwar hasil Muktamar XII mengadakan aktivitas yang berarti, timbullah suatu ketegangan antara KetuaUmum dan sekreatris Umum.  Akibatnya, Ketua Umum menskor Sekretaris Umum.  Keadaan ini mengakibatkan tidak berjalannya organisasi.  Sementara itu, Ketua Umum mengangkat Damanhuri untuk menjabat Sekretaris Umum, namun tidak lama antaranya Damanhuri meninggal dunia.
          
           Kepengurusan hasil keputusan Muktamar Cempaka Putih ini belum sempat mengadakan kegiatan yang berarti wadah sekretariat PBMA pun tidak pernah tetap yang ada hanya penggantian Sekjen sampai 3 kali setelah Drs. Irsyad Djuwaeli yaitu Damanhuri, Komari Saleh dan Abdulwahid.

Keadaan organisasi tidak jalan sama sekali oleh karena itu melihat keadaan demikian timbul pemikiran dari beberapa kader Mathla’ul Anwar untuk menghidupkan organisasi oleh karena itu kader-kader Mathla’ul Anwar yang terdiri dari :
KH. A. Syadli
M. Nahid Abdurrahman
Drs. M. Irsyad Djuwaeli
H. Mubin Arshudin
H. Chowasi Mandala
H. Aim

Mereka mengadakan gerakan-gerakan untuk menghidupkan Mathla’ul Anwar antara lain mendesak ketua Umum H. Nafsirin Hadi, SH untuk Pengurus Besar dengan mengajukan nama-nama yang baru duduk dalam susunan Pengurus Besar Mathla’ul Anwar namun tidak mendapat tanggapan dari kita semua.

Untuk mengisi lowongan Sekretaris maka ditunjuk Sdr. H. Nur Sanusi dari Lampung, yang tidak lama meninggal dalam perjalanan dari Menes menuju Jakarta diganti oleh saudara Abdulwahid Sahari.  Kepungurusan hasil Muktamar Cempaka Putih tersebut keadaannya tidak stabil malah keadaan organisasi tidak berjalan sebagaimana mestinya.  Sekretariat Pengurus Besar tidak jelas di  mana adanya, muktamar pun tidak bisa dilaksanakan pada waktunya.

Pada awal tahun 1985 timbul gagasan dari kader-kader Mathla’ul Anwar untuk turut menyumbangkan tenaga dan pikirannya agar Mathla’ul Anwar bisa berjalan, beberapa kali mengajukan usul kepada Ketua Umum  pada waktu H. Nafsirin Hadi, namun gagasan-gagasan itu ditolaknya.  Maka tampillah beberapa orang untuk mendesak Ketua umum agar segera mengadakan Multamar tapi tidak bisa dilaksanakan.

Dan untuk melaksanakan muktamar ke-13 dibentuklah Panitia yang terdiri dari kader-kader Mathla’ul Anwar antara lain Ketua H. Moh. Amin, M. Nahid Abdurrahman dan muktamar diadakan di Menes pada 12 Juli 1985.
            
            Namun pada Muktamar kelak M. Irsyad Djuwaeli menuntut haknya untuk membela diri atas skorsing atas dirinya yang dianggap tidak benar itu, setelah adanya pengangkatan.
            
           Muktamar Mathla’ul Anwar XIII yang diselenggarakan di Menes pada tahun 1985 telah melahirkan komposisi kepengurusan, antara lain:

Ketua  Dewan Pembina   :  H. Alamsyah Ratu Perwiranegara
Ketua Majlis Fatwa         :  K.H.A. Uyeh Baluqia Syakir
Ketua Umum  PB            :  K.H.E.A. Burhani
Sek. Jenderal                   :  Drs. M. Irsyad Djuwaeli
Bendaha Umum               :  Ny. Hj. Farihah Uwes
(Data lengkap terlampir)

Muktamar Mathla’ul Anwar XIV, merupakan tonggak sejarah bangkitnya kembali Mathla’ul Anwar, tepat pada masa semaraknya pembangunan nasional bangsa Indonesia.  Dari Muktamar ini lahir keputusan-keputusan organisasi yang sangat berani dalam kondisi iklim Mathla’ul Anwar pada waktu itu.  Diantara keputusan tersebut adalah menerima Pancasila sebagai satu-satunya azas organisasi yang dicantumkan dalam Anggaran Dasar, yang kemudian menjadi suatu keharusan bagi setiap organisasi kemasyarakatan di Indonesia.  Setahun kemudian menyusul pula kesepakatan yang menjadi kebijakan organisasi yaitu menyalurkan aspirasi politik anggota Mathla’ul Anwar dalam pemilihan umum untuk kemenangan Golongan Karya.
             
             Keputusan bersejarah tersebut mempunyai dampak yang sangat luas dalam berbagai kegiatan organisasi di segala bidang di kemudian hari.  Berbagai terobosan dilakukan untuk mengembangkan Mathla’ul Anwar pada masa kejayaannya yang pernah dirasakan pada waktu-waktu sebelumnya.

Wilayah-wilayah dan daerah-daerah kepengurusan Mathla’ul Anwar semakin meluas menyebar di tanah air Indonesia.  Lembaga-lembaga pendidikan yang sebelumnya menurunkan papan nama dan aktivitasnya dapat bangkit kembali mesli secara perlahan-lahan.  Anggota dan simpatisan organisasi yang sebelum tercerai beraimulai terhimpun kembali, jatingan komunikasi organisasi antara wilayah dan daerah dengan pusat menjadi lebih lancar.  Lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi penunjang mulai bangkit dengan melakukan berbagai aktivitasnya, seperti bangkitnya kembali organisasi pemuda melalui Generasi Muda Mathla’ul Anwar.  Begitu juga dengan organisasi Muslimat dan kegiatan Majelis Fatwa yang semakin aktif, hubungan dengan pemerintah semakin harmonis yang berdampak pada diperolehnya banyak kemudahan dari pemerintah dalam melakukan kegiatan organisasi.  Peningkatan kegiatan di atas, tercermin dalam penyelenggaraan muktamar XIV yang diselenggarakan di Jakarta pada tahun 1991.  Dimana jumlah pengurus wilayah yang sebelumnya tinggal 3 wilayah yang dianggap aktif sudah meningkat menjadi 14 wilayah yang aktif, telah banyak wakil-wakil perguruan pendidikan yang mengikuti Muktamar.  Generasi Muda Mathla’ul Anwar dan Muslimat Mathla’ul Anwar dipercaya menjadi orfganisasi badan otonom.

Mengembangkan Da’wah Bilhal
Muktamat Mathla’ul Anwar XIV tahun 1991 yang diselenggaran di Jakarta melahirkan komposisi kepengurusan antara lain:

Ketua  Dewan Pembina            :  H. Alamsyah Ratu Perwiranegara
Ketua Umum                             :  Drs. H.M. Irsyad Djuwaeli
Sekretaris Jenderal                  :  M. Nahid Abdurrahman
Bendahara                                 :  Zaenal Abidinsyah
Ketua Majlis Fatwa                  :  KH. E.A. Burhani
(Data lengkap terlampir)

Muktamar XIV merupakan Muktamar Mathla’ul Anwar pertama yang dibuka oleh pimpinan negara, yang dalam hal ini dibuka oleh wakil Presiden Sudarmono, SH.  Sejak itu banyak pengamat menanggapi bahwa Mathla’ul Anwar yang biasanya melakukan kegiatannya di daerah-daerah (pedesaan) mulai berkiprah kuat di kota dengan istilah”ayam kampung masuk kota”.
            
           Mulai saat itu kegiatan organisasi meningkat terus baik secara kuantitatif maupun kualitatif di bawah kepemimpinan Drs. H.M. Irsyad Djuwaeli. Wilayah dan daerah Mathla’ul Anwar terus berkembang dari 14 propinsi hingga mencapai 24 propinsi. Pembinaan dalam bidang pendidikan terus ditingkatkan.  Banyak gedung sekolah (perguruan tinggi) baru dibangun dan lebih banyak lagi merehabilitasi bngunan-bangunan madrasah yang sudah ada.  Kegiatan-kegiatan pembinaan pendidikan mulai aktif dilakukan, kunjungan-kunjungan organisasi bagi pengurus wilayah maupun daerah secara aktif pula dilakukan Pengurus Besar Mathla’ul Anwar.

            Program-program terobosan banyak yang berhasil dilakukan.  Diantaranya program pengumpulan dana wakaf/hibah firdaus yang dikenal dengan “Dana Firdaus”, bekerjasama dengan BRI.  Kegiatan ini mendapat respon positif dari berbagai pihak, termasuk Presiden RI.  Begitu pula program perngentasan kemiskinan dalam rangka meningkatkan kualitas sosial ekonomi pemuda desa untuk mandiri melalui program orang tua angkat.  Pada periode ini juga, dengan wakaf dan hibah dari beberapa dermawan dapat dibangun komplek Universitas Mathla’ul Anwar di Cikaliung, Pandeglang, Banten, yang di dalamnya juga didirikan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Mathla’ul Anwar (STIEMA) dan Madrasah Aliyah Keagamaan Mathla’ul Anwar (MAKMA) di atas tanah 7 Ha dan dilengkapi dengan asrama dan Pondok Pesantren, yang diresmikan oleh Wakil Presiden RI pada tahun 1993. Badan Autonom dan lembaga penunjang ialah: Muslimat Mathla’ul Anwar (MUSMA); Generasi Muda Mathla’ul Anwar (GEMMA).

Adapun lembaga penunjang ialah:
1.      LKBH MA (lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Mathla’ul Anwar)
2.      Lembaga Pengembangan Koperasi
3.      Lembaga Bimbingan Haji dan Umroh 

Untuk melaksanakan amanat Muktamar XIV, maka Muktamat XV dilaksanakan di Jakarta bertempat di Asrama Haji Pondok Gede dan dibuka oleh Wakil Presiden RI H. Tri Sutrisno. Salah satu keberhasilan HM. Irsjad Djuwaeli dalam membangun jaringan Mathla’ul Anwar ke berbagai daerah di hampir seluruh propinsi di Indonesia, serta mendirikan Universitas Mathla’ul Anwar, maka pada muktamar XV menetapkan kembali HM. Irsjad Djuwaeli sebagai Ketua Umum PB Mathlaul Anwar dan Sekretaris Jenderalnya adalah Drs. HM. Syatibi Mukhtar. Pada masa ini Mathla’ul Anwar telah kehilangan putra terbaiknya, yaitu meninggalnya Ketua Dewan pembina Mathla’ul Anwar H. Alamsyah Ratu Perwiranegara yang selama itu sangat berjasa dalam membesarkan organisasi ini. Sepeninggalan beliau, PB. Mathla’ul Anwar mengangkat HR. Hartono selaku Ketua Dewan Pembina Mathla’ul Anwar.

Muktamar XVI
            Dalam siatuasi krisis ekonomi nasional yang berkepanjangan, serta peralihan kepemimpinan nasional yang ditandai dengan gemuruhnya semangat demokratisasi dan partisipasi rakyat, Mathla’ul Anwar melaksanakan Muktamar XVI pada 26-30 Oktober 2001 di Bojolali, Jawa Tengah. Isu sentral yang diangkat dalam pokok-pokok pikiran muktamar antara lain adalah mendukung pemerintah dalam memberantas KKN, penegakan supremasi hokum, demokratisasi dan pengembangan partisipasi masyarakat dalam pembangunan.

            Dalam era reformasi ini Mathla’ul Anwar menegaskan kembali perjuangannya dalam bidang pendidikan, dakwah dan sosial sebagai sebuah gerakan ke arah peningkatan mutu dan kualitas kehidupan bangsa. Dalam hal ini Mathla’ul Anwar mendesak pemerintah untuk mengubah UU Pendidikan nasioanl agar tidak diskriminatif dalam pembiayaan pendidikan antara sekolah-sekolah swasta dan negeri, mendesak pemerintah untuk mengubah kurikulum pendidikan yang memungkinkan madrasaf agar tetap berfungsi sebagai lembaga pendidikan nasional, serta menambah jam pelajaran materi pendidikan agama di sekolah-sekolah umum menjadi 6 jam pelajaran di tingkat SD dan 4 pelajaran di tingkat SLTP dan SLTA. Juga Mathla’ul Anwar memperjuangkan otonomi pendidikan.
            Muktamar Bojolali ini menghasilkan komposisi pengurus, antara lain sbb:

Ketua Penasihat          : HR. Hartono
Ketua Umum PB        : HM. Irsjad Djuwaeli
Sekretaris Jenderal      : H. Usep Fathuddin, MPs.
Ketua Majlis Fatwa     : KH. Wahid Sahari, MA
(Data lengkap terlampir)

Muktamar XVII

Muktamar XVII di Pondok Gede Jakarta 2005, bersamaan dengan peringatan Hari Ulang Tahun Mathla’ul Anwar ke 89, dibuka resmi oleh Wakil Presiden RI. Drs. H. Muhamad Jusuf Kalla, dan ditutup oleh Ketua DPR RI H. R. Agung Laksono dengan diperkaya  masukan dari beberapa nara sumber yaitu : Menteri Perindustrian, Menteri Agama, Menteri Pendidikan Nasional dan Menteri Sosial.
Masukian-masukan dari para nara sumber itu sangat membantu Muktamar dalam pembahasan-pembahasan yang mengacu pada Muktamar yaitu:” Revitalisasi Mathla’ul Anwar  melalui tiga amal: Konsolidasi organisasi, Pendidikan dan Da’wah, serta ekonomi dan sosial.
Muktamar kali selain menghasilkan AD/ART, juga menetapkan formatur sebagai berikut:

Ketua                    :    Drs.H.M. IRSJAD DJUWAELI
                                  (Ketua Umum terpilih)
Anggota                :    1.  Drs. H. A. SYIHABUDIN, MM
                                      ( Pengurus Besar  Demisioner)                                                                 
                                    2.       Ir. H. SURYADI  SAF
                                       (Pengurus Wilayah DKI Jakarta)
                                  3.MOCH.  FIRASAT MOKODOMPIT, SE
                                     ( Pengurus Wilayah Prop. Sulawesi Utara)
                                  4. K. M. FUAD ABDURRAHMAN
                                     (Pengurus Wilayah MA Prop. Lampung)

Susunan Kepengurusan selengkapnya terlampir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar