Kondisi
Umum Masyarakat Banten
Sejak
dihancurkannya kesultanan Banten pada tahun 1813 oleh Gubernur Jenderal
Deandeles, praktis Banten dinyatakan daerah jajahan Belanda. Kekuatan Belanda
di Banten memaksa perubahan, dan sejak itu seluruh daeah di Banten mengalami
guncangan. Sebab ketika penetrasi kolonial secara intensif menyentuh kehidupan
sehari-hari rakyat melalui pajak yang berat, pengerahan tenaga buruh yang
berlebihan, dan peraturan yang menindas, serta tekanan militer yang
represif, jelas realitas sosial-politik di Banten dirasakan sebagai kenyataan
yang jauh dari apa yang mereka harapkan.
Kolonialisme sebagai bentuk penguasaan wilyah memiliki
system administrasi yang sistematis dengan mengatur segala kewenangan
organisasi sosial-politik di kawasan kolonial sesuai dengan keperluan negara
jajahan. Sistem itu bertentangan dengan apa yang diharapkan dalam bentuk
harmoni sosial.
Lebih dari itu kehadiran kolonialisme Belanda bukan hanya
menghancurkan tata-niaga masyarakat pribumi, system ekonomi dan politik
tradisional, tetapi juga menghancurkan system idiologi negara sebagai pemersatu
bangsa, sehingga kesatuan rakyat di negara jajahan bercerai berai, yang juga
mengakibatkan terjadinya koflik dan peperangan antar golongan dalam
kebangkrutan politik tersebut. Demikianlah politik adu domba yang dilancarkan
Belanda menyebabkan terjadinya perselisihan dan sengketa politik antar elite
dan pewaris kesultanan yang tak jarang melahirkan peperangan local.
Perpecahan
politik ini melengkapi kemunduran structural sosial masyarakat Banten.
Kekacauan politik yang juga diikuti oleh kemerosotan ekonomi, sekaligus
disertai dengan marginalisasi masyarakat. Sebagian penduduk kembali ke
daerah-daerah pelosok pedesaan dan di sinilah pendidikan agama Islam
dikembangkan dengan fasilitas yang seadanya dan dengan orientasi yang teramat
anti-kolonialisme.
Ketika
tata kehidupan tradisional yang membentuk harmoni sosial masyarakat mengalami
penghancuran, sebagian mereka membentuk pandangan-pandangan baru dan
tumbuhnya mitologi keagamaan yang kian mengental dalam kehidupan masyarakat.
Demikian ini sebagian besar yang mayoritas petani kembali ke alam pikiran masa
lalunya, semacam restorasi tradisi, dengan mencari tulang punggung ketenangan
dan ketenteraman teologis yang pernah dirasakan sebelumnya.
Idiolegi keagamaan semacam itu menimbulkan rasa kebencian
yang dalam terhadap kolonialisme. Sehingga sebagian dari elte agama membentuk
fron perlawanan terhadap penjajahan Belanda tanpa henti. Guru agama/kyai tidak
hanya mengambil jarak dengan pemerintah kolonial, tapi juga menjadikan
kegiatan-kegiatan sosial-keagamaan itu dinyatakan sebagai jalan jihad melawan
kolonialisme Belanda. Mereka memilih menjadi buronan yang selalu diawasi dan
dikejar-kejar oleh pemerintah. Karena itu sering terjadi pemberontakan dan
perlawanan walau banyak di antara para tokoh dan pimpinan agama Islam di Banten
yang tertangkap dan kemudian dibuang ke negeri orang.
Juga tak sedikit para kyai/Guru Agama yang ‘uzlah
meninggalkan keramaian kota dan masuk ke pedalaman. Kelompok ini membuka
lembaran baru dengan cara bertani sambil mengajarkan ilmu agama Islam secara
mandiri. Dengan demikian bahkan mereka tetap mempunyai akar yang kuat dan
mendapat tempat terhormat di kalangan masyarakat.
Pada zaman ini muncul kembali kepercayaan-kepercayaan
tradisional sebagai bentuk simbolisme harmoni hubungan manusia dengan
lingkungan alamnya. Masyarakat petani yang walaupun sudah memluk agama Islam,
jika memulai menuai padi, terlebih dahulu akan mengadakan upacara
“mipit”. Upacara ini adalah membuat sesajian untuk menyuguh Dewi Sri atau
Sri Pohaci yang dipercaya sebagai dewi padi yang berwenang untuk memberkahi
padi. Suatu jangjawokan (mantera dalam bahasa Sunda) yang sudah menjadi
aksioma adalah “mipit” amit ngala menta”. Artinya, mengambil apa pun dari
suatu tempat, berupa apa saja, harus izin terlebih dahulu kepada roh halus yang
menguasai tempat tersebut. Kalau setelah melakukan sesuatu kemudian
mendapat musibah, seperti sakit kepala atau demam, atau tersandung apa saja,
kemudian akan dihubung-hubungkan dengan perbuatan yang dianggap sembrono
(sembarangan). Yaitu tidak minta izin kepada yang membahurekso
(bahasa Jawa) atau nu ngageugeuh (bahasa Sunda). Untuk itu kemu-dian masyarakat
akan menanya kepada orang yang dianggap tua dan mengerti tentang yang gaib,
yang biasanya berupa seorang dukun. Sang dukun kemudian akan memberikan
petunjuk tentang apa yang harus dilakukan sebagai langkah penebusanatas
kesalahannya.
Pada upacara walimah (pernikahan/khitanan), sang pengantin
pria/wanita sebelum melaksaakan akad nikah atau pada saat si anak dikhitan,
mereka harus terlebih dahulu mengunjungi leluhurnya untuk memohon do’a
restunya, agar tidak terjadi sesuatu bencana aral melintang yang mungkin
mengganggu jalannya upacara tersebut.
Setiap orang yang melewati tempat yang dianggap angker harus
mengucapkan mantera minta izin kanu ngageugeuh (yang membahurekso), yaitu roh
halus yang menmpati tempat itu. Misalnya saja dengan kalimat “ampun paralun
kanu luhung”, “sang karuhun anu ngageugeuh, danginang anu nga-wisesa, ulah
ganggu gunasita, kami incu buyut ki………..” (biasanya dengan menyebutkan nama
leluhurnya). Misalnya ki buyut Ance, ki buyut Sawi, ki Jaminun dan
sebagainya.
Pengalaman-pengalaman
budaya seperti itu merupakan bentuk sumbolisme atas harapan adanya
ketenangan dan ketentraman kehidupan, yang pada saat itu tak pernah dirasakan
karena kuatnya tekanan koloni Belanda. Idiologi tradisionalisme itu juga
merupakan respon atas hancurnya idiologi politik dan agama yang mereka anut,
setalah kedudukan dan struktur sosial terganggu dan hancur.
Dalam
pada itu tingkat kejahatan merajalela Perampokan, pembunuhan, perkelahian
terjadi hampir setiap saat. Sedangkan usaha penanggulangan oleh pemerintah
Belanda hanya cukup dengan mendirikan rumah-rumah penjara mulai dari kota besar
sampai kota kecil. Rumah tahanan atau penjara di bangun di kota-kota
kewadanaan seperti Menes, Labuan, Malingping, Balaraja, Mauk dan tempat-tempat
lain yang sederajat. Akibatnya, para bekas narapidana semakin mematangkan
diri dalam melakukan aksi kejahatannya, karena selama di dalam penjara,
bukannya semakin baik dan jera, tetapi semakin matang dan kian semakin menambah
kualitasnya.
Walaupun demikian, sebenarnya, kejahatan-kejahatan itu
dilakukan hanya dengan menggunakan senjata tajam tradisional seperti golok,
pisau, dan lain-lain. Hal itu ada kepercayaan atas benda-benda tajam itu
yang dianggapnya mengandung kekuatan gaib.
Kondisi
Pendidikan
Di bawah kekuasaan Belanda rakyat
Banten bukan bertambah baik, malah semakin melarat dan terbelakang. Kondisi ini
hampir dialmai oleh seluruh rakyat di seluruh nusantara. Guna mengatasi
permasalahan tersebut pemerintah Belanda memberlakukan politik etis. Program
politik etis yang dijalankan oleh pemerintah Belanda, di antaranya membuat
irigasi buat mendudung pertanian rakyat dan menyelenggarakan sekolah bagi
bumiputra. Ternyata program tersebut gagal memberikan manfaat bagi penduduk
desa. Hal ini terjadi, karena yang bisa menikmati sekolah itu hanya
sebagian kecil rakyat saja terutama orang-orang yang berada di kota dan siap
jadi calon ambtenar (pegawai Belanda).
Sedangkan di kalangan rakyat kebanyakan, tidak terjangkau
oleh sistem pendidikan ini. Disamping jumlah yang sangat sedikit (hanya
di kota-kota kewadanaan saja yang disediakan sekolah), juga syarat untuk dapat
belajar sangat berat, dan cen-derung sengaja dipersulit, dengan alasan
bermacam-macam.
Tujuan Belanda menyelenggarakan sekolah, seperti di-katakan
di atas, adalah untuk menyiapkan calon pekerja ambtenar yang jumlahnya tidak
perlu banyak. Sebagian besar rakyat bumi putra hanya dibutuhkan sebagai
pekerja kasar yang tidak memerlukan pengetahuan yang tinggi, yang penting asal
bertenaga kuat.
Pendidikan Islam yang masih ada ialah pondok pesantren yang
diselenggarakan oleh para Kyai secara individual dan tradisional. Pendidikan
ini penuh dengan segala keterbatasannya, baik dalam hal sarana, dana, maupun
manajemennya. Ditambah pula dengan kondisi yang tidak aman dari berbagai
pengawasan oleh pemerintah Belanda. Pihak penjajah beranggapan bahwa
kharisma keagamaan yang tersimpan dalam jiwa para Kyai itu masih mengundang
semangat anti kafir/ penjajah, yang bila ada peluang pasti meletuskan api
pembe-rontakan terhadap pemerintah penjajah.
Berdirinya
Madrasah Pertama
Keadaan
tersebut menggelisahkan masyarakat dan mematikan semangat umat dan pada
gilirannya akan menghilangkan ajaran Islam yang telah ditanamkan oleh para
pejuang terdahulu. Oleh karenanya orang-orang yang baru saja pulang
menunaikan ibadah haji atau mukim di Mekkah yang lama menimba agama Islam,
sudah tentu merupakan sesuatu yang sangat menarik perhatian bagi masyarakat
Banten.
Di tengah hiruk pikuknya dan galaunya kemungkaran di dalam
masyarakat yang dilanda kemiskinan, kebodohan dan kejumudan yang diselimuti
pula oleh kabut kegelapan dan kebingungan muncullah seberkas sinar harapan yang
diharapkan akan membawa perubahan di hari kemudian.
Tersebutlah K.H.E. Moh. Yasin yang baru kembali dari
menghadiri rapat yang diselenggarakan di Bogor oleh para ulama yang mendambakan
kahidupan umat yang lebih baik. Gerakan ini dipelopori oleh Haji
Samanhudi dalam rangka mendirikan Syarikat Dagang Islam (SDI) pada tahun 1908
M. Beliau mendatangi rekan-rekan ulama yang ada disekitar Menes, antara
lain Kyai H. Tb. Moh. Sholeh dari kampung Kananga dan beberapa orang
kyai lainnya. Tujuan pertemuan tersebut adalah untuk bermusyawarah dan
bertukar pikiran, yang akhirnya melahirkan kata sepakat untuk membentuk suatu
majelis pengajian yang diasuh bersama. Pengajian ini juga dijadikan
lembaga muzakarah dan musyawarah dalam me-nanggulangi dan memerangi situasi
gelap itu ialah dengan harapan muncul seberkas sinar, yang kemudian
menjadi nama MATHLA’UL ANWAR (bahasa Arab, yang artinya tempat lahirnya
cahaya).
Militansi K.H. Entol Moh. Yasin dari Kaduhawuk, Menes
ini tak pernah memudar dalam keinginan untuk memajukan umat melalui
pendidikan. Beliau menghendaki kemajuan umat hanya mungkin melalui
pendidikan. Bukankah Nabi Muhammad SAW bersabda : “Barang siapa yang
menginginkan dunia haruslah dengan ilmu, barangsiapa meng-inginkan akhirat
haruslah dengan ilmunya, dan barang siapa yang menginginkan keduanya haruslah
dengan ilmu”. Dan hadits yang lain : “Ilmu itu adalah cahaya”.
Beranjak
dari sini agaknya pertemuan, akhirnya melahirkan sebuah kata sepakat untuk
mendirikan sebuah lembaga pendidikan Islam yang dikelola dan diasuh secara
jama’ah dengan mengkordinasikan berbagai disiplin ilmu, terutama ilmu Islam yang
dianggap merupakan kebutuhan yang mendesak.
Perjuangan mengangkat dan membangkitkan umat dari lembah
kegelapan dan kemiskinan yang menimbulkan keterbelakangan, tidak cukup sekedar dengan mengadakan pengajian bagi
generasi tua saja. Untuk itu dituntut langkah lebih lanjut lagi, yaitu
lahirnya generasi berikutnya yang justru merupakan sasaran utama yang diharapkan mampu mengubah situasi (min al
zhulumati ila al nur).
Berdirinya
Mathla’ul Anwar
Guna
mencari pemecahan masalah tersebut, para kyai mengadakan musyawarah di bawah
pimpinan KH. Entol Mohamad Yasin dan KH. Tb. Mohamad Sholeh serta para ulama
yang ada di sekitar Menes, bertempat di kampung Kananga. Akhirnya,
setelah mendapatkan masukan dari para peserta, musyawarah mengambil keputusan
untuk memanggil pulang seorang pemuda yang sedang belajar di Makkah al
Mukarramah. Ia tengah menimba ilmu Islam di tempat asal kelahiran agama
Islam kepada seorang guru besar yang juga berasal dari Banten, yaitu Syekh
Mohammad Nawawi al Bantani.
Ulama besar ini diakui oleh seluruh dunia Islam tentang
kebesarannya sebagai seorang fakih, dengan karya-karya tulisnya dalam berbagai
cabang ilmu Islam. Siapakah pemuda itu ? Dialah KH. Mas Abdurrahman
bin Mas Jamal, yang lahir pada tahun 1868, di kampung Janaka, Kecamatan
Jiput, Kawedanaan Caringin, Kabupaten Pandeglang, Karesidenan Banten.
KH. Mas Abdurrahman bin KH. Mas Jamal kembali dari tanah
suci sekitar tahun 1910 M. Dengan kehadiran seorang muda yang penuh semangat
untuk berjuang mengadakan pembaharuan semangat Islam, bersama kyai-kyai sepuh,
dapatlah diharapkan untuk membawa umat Islam keluar dari alam gelap gulita ke
jalan hidup yang terang benderang, sesuai ayat al-Qur’an “Yukhriju hum min
al dzulumati ila al nur”.
Pada
tanggal 10 bulan ramadhan 1334 H, bersamaan dengan tanggal 10 Juli 1916 M, para
Kyai mengadakan suatu musyawarah untuk membuka sebuah perguruan Islam dalam
bentuk madrasah yang akan dimulai kegiatan belajar mengajarnya pada tanggal 10
Syawwal 1334 H/9 Agustus 1916 M. Sebagai Mudir atau direktur adalah KH.
Mas Abdurrahman bin KH. Mas Jamal dan Presiden Bistirnya KH.E. Moh Yasin dari
kampung Kaduhawuk, Menes, serta dibantu oleh sejumlah kyai dan tokoh masyarakat
di sekitar Menes.
Selengkapnya
para pendiri Mathla’ul Anwar :
·
Kyai Moh. Tb. Soleh
·
Kyai E.H. Moh Yasin
·
Kyai Tegal
·
Kyai H. Mas Abdurrahman
·
K.H. Abdul Mu’ti
·
K.H. Soleman Cibinglu
·
K.H. Daud
·
K.H. Rusydi
·
E. Danawi
·
K.H. Mustagfiri
Adapun tujuan didirikannya Mathla’ul Anwar ini adalah agar
ajaran Islam menjadi dasar kehidupan bagi individu dan masyarakat. Untuk
mencapai tujuan tersebut, maka disepakati untuk menghumpun tenaga-tenaga
pengajar agama Islam, mendirikan madrasah, memelihara pondok pesantren dan
menyelenggarakan tablig ke berbagai penjuru tanah air yang pada saat itu masih
dikuasai oleh pemerintah jajahan Belanda. Pemerintah kolonial telah
membiarkan rakyat bumi putra hidup dalam kebodohan dan kemiskinan.
Program
Pendidikan Mathla’ul Anwar
Untuk sementara, kegiatan belajar diselenggarakan di rumah
seorang dermawan, di kota Menes. Beliau merelakan tempat tinggalnya
digunakan untuk tempat belajar bagi umat. Tokoh ini adalah K.H.
Mustagfiri.
Selanjutnya, setelah mendapatkan sebidang tanah yang
diwakafkan Ki Demang Entol Djasudin, yang terletak di tepi jalan raya,
dibangunlah sebuah gedung madrasah dengan cara gotong-royong oleh seluruh
masyarakat Islam Menes. Sampai kini gedung tersebut masih berfungsi
sebagai tempat penyelenggaraan Madrasah Ibtidaiyyah, Sekolah Dasar Islam dan
Taman Kanak-kanak Mathla’ul Anwar. Gedung tersebut tidak lain ialah pusat
perguruan Islam Mathla’ul Anwar yang terletak di kota Menes, Pandeglang.
Mengenai program pendidikan diselenggarakan program
pendidikan 9 (sembilan) tahun. Yaitu mulai dari kelas A, B, I, II, III,
IV, V, VI dan kelas VII. Belum ada pemisahan tingkat Ibti-daiyah dan
tingkat Tsanawiyah. Disamping pendidikan dengan sistem klasikal dalam
bentuk madrasah, sebagai langkah modernisasi; juga dibuka lembaga pendidikan
dengan sistem pesantren. Model ini tetap dihidup-suburkan, bahkan
dikore-lasikan dengan sistem sekolah. Guru-guru yang mengajar di madrasah
pada pagi hari, pada sore dan malam harinya, di rumah masing-masing, tetap
menyelenggarakan pengajian dengan sistem pesantren dan menampung santri yang
datang dari berbagai daerah untuk belajar di madrasah Mathla’ul Anwar.
Santriwan dan santriwati yang telah menyelesaikan masa
pendidikan selama 9 (sembilan) tahun, yaitu tamat kelas VII, dikirim ke
berbagai tempat/daerah untuk menda’wahkan ajaran Islam dalam bentuk baru, yaitu
mendirikan madrasah Mathla’ul Anwar cabang Menes, dengan diantar oleh Pengurus
Mathla’ul Anwar Menes. Mereka diberi bisluit atau Surat Tugas mengajar
dari Presiden of Bestur Mathla’ul Anwar dengan semangat iman dan keyakinan
terhadap janji Allah yang berbunyi : In tanshuru Allah yanshuru kum.
Artinya, jika engkau menolong agama Allah, pasti Allah akan menolongmu.
Maka tidaklah menghe-rankan jika pada tahun 1920-an sampai dengan tahun
1930-an, di Lampung, Lebak, \serang (Kepuh), Bogor, Tangerang, Karawang dan
tempat-temapat lain, sudah berdiri madrasah Mathla’ul Anwar cabang Menes, hanya
diizinkan menye-lenggarakan madrasah sampai kelas IV (empat), sedangkan untuk
kelas V, VI dan VII harus belajar di Menes.
Pada tahun 1929 didirikan madrasah putri Mathla’ul
Anwar dengan tiga tokoh yang menjadi pimpinannya yaitu : Nyi. H. Jenab binti
Yasin, Nyi Kulsum, dan Nyi Aisyah. Disamping kegiatan belajar mengajar di
madrasah dan pesantren bagi murid-murid, juga setiap hari Kamis setiap pekan
seluruh guru diwajibkan mengikuti pengajian yang diselenggarakan di masjid
Soreang, Menes. Di situ KH. Mas Abdurrahman menetap dan sekaligus sebagai
pengajian pusat. Tujuannya adalah dalam rangka memperluas dan memperdalam
ilmu Islam. Dengan cara itu, akhirnya kyai-kyai pimpinan Mathla’ul Anwar
dapat berfikir dan berwawasan luas, tidak mengurung diri dalam satu pendapat
seorang ulama saja.
Untuk membangun dan memelihara madrasah Mathla’ul Anwar,
diusahakan dengan cara gotong-royong, baik tenaga manusianya maupun
dananya. Untuk itu dihimpun shadaqoh jariyah, wakaf dan jimpitan (beras
remeh), yang diseleng-garakan oleh jama’ah Majlis Ta’lim ibu-ibu.
Caranya, setiap kali hendak masak nasi diambil satu sendok makan dari beras
yang akan dimasak dan ditampung dalam tempat tersendiri.
Selanjutnya, beras dihimpun oleh petugas yang biasanya terdiri
dari seorang janda iskin dengan mendapat imbalan sepuluh persen dari hasil
pungutannya. Para janda miskin ini kemudian menyetor kepada para kader
yang mengikuti pengajian pada setiap hari Kamis yang menyerahkan lagi kepada
kordinator pusat Mathla’ul Anwar. Usaha yang tidak terasa namun nyata
ini, akhirnya mampu menghimpun suatu kekuatan yang tidak kecil. Diantara
sekian tanda bukti yang tidak bisa dilipakan ialah adanya beberapa bidang tanah
yang dibeli dari hasil pungutan beras jimpitan (beras remeh) dan hingga kini
tempat itu dinamakan “Kebon remeh”, milik Mathla’ul Anwar. Bukti ini,
tidak boleh dilupakan oleh generasi selanjutnya.
Pada tahun 1940 didirikan Madrasah Arabiah (Sekolah Arab)
yang khusus memberi pelajaran bahasa Arab, untuk itu didatangkan seorang guru
dari Salatiga yaitu KH. Humaedi disamping itu beberapa pemuda dikirim ke
Jakarta (sekolah Jamiatul Khaer) untuk calon-calon guru. Dan untuk
mempela-jari ilmu Falak didatangkan guru dari Pekalongan (KH. Syabrawi dan
diadakan kursus ilmu falak bagi guru-guru Mathla’ul Anwar).
Untuk mencetak para muballig diadakan kursus muballig yang
dinamai cm. Yang diikuti para santri-santri dan guru-guru serta
pemuda-pemuda. Disamping adanya kursus mubalig bagi murid-murid/pelajar
madrasah mulai tingkat rendah sampai tingkat atas, pada tiap-tiap kenaikan
kelas Ichtifalan diadakan pidato anak-anak sekolah untuk mendidik mereka pandai
pidato dan tablig.
Untuk
menampung para pelajar yang datang dari daerah-daerah, didirikan pondok-pondok
pesantren di sekitar Menes, antara lain di Kananga yang paling besar yang
dipimpin oleh KH. Tb. Ahmad, seorang alumni pertamapendidikan di Mathla’ul
Anwar. Para santri yang mondok di Kananga datang dari Bogor, Tangerang,
Lampung dan lain-lain, sampai ratusan jumlahnya. Kananga adalah satu
kampung di kaki gunung pulosari merupakan tempat cikal bakal Mathla’ul Anwar,
sebab disitulah K. Tb. Moh. Sholeh tinggal dan setibanya KH. Mas Abdurrahman
dari Makkah tinggal di Kananga dan menikah dengan putri dari KH. Tb. Moh. Sholeh,
dan selanjutnya pindah ke Soreang Menes, dan di Soreang inilah dibangun
pesantren. KH. E. Muhamad Yasin adalah seorang ulama intelek yang
berwawasan luas, dan ia seorang putra dari seorang jaksa.
Lahirnya
Statuten Mathla’ul Anwar
Peristiwa
pemberontakan rakyat terhadap pemerintahan Belanda pada tahun 1926 di Menes dan
Labuan, tanpa disadari oleh para tokoh dan pimpinannya, telah membuat Mathla’ul
Anwar bertambah besar dan meluas. Pemberontakan, yang oleh pihak Belanda
disebut sebagai pemberontakan Komunis, menyebabkan para tokoh dan pimpinan
Mathla’ul Anwar selalu dicurigai dan diawasi oleh aparat pemerintahan, terutama
pihak P.I.D (polisi rahasia kolonial Belanda). Hal ini terjadi karena
diantara pelaku pemberontakan terdapat tokoh dan orang-orang Mathla’ul
Anwar. Meskipun mereka tidak dalam kapasitasnya sebagai tokoh dan warga
Mathla’ul Anwar, tetapi dalam kedudukannya sebagai anggota Serikat Islam (?)
Sebagian dari mereka bahkan ada pula yang dibuang ke Boven Degul, Tanah Merah,
Irian antara lain : K. Abdulhadi Bangko, Khusen Cisaat dan lain-lain.
Dengan adanya pengawasan dan kecurigaan yang amat ketat di
Pandeglang, Khususnya di Menes dan Labuan, aktivitas para pimpinan Mathla’ul
Anwar di daerah tersebut menjadi berkurang dan terpaksa harus berhati-hati
sekali. Para kyai dan ulama Mathla’ul Anwar kemudian bergerak
menyebar-luaskan Mathla’ul Anwar ke luar daerah, mengirimkan kader-kader dan
para abituren (lulusan) madrasah Mathla’ul Anwar Menes ke daerah-daerah di luar
Pandeglang. Diantaranya ke kabupaten Lebak, Serang, Tangerang, Bogor,
Karawang dan di Keresidenan Lampung.
Pada tahun 1936 jumlah madrasah Mathla’ul Anwar sudah
mencapai 40 buah yang tersebar di tujuh daerah tersebut di atas. Pada
waktu itu perhatian terhadap Mathla’ul Anwar tidak lagi terbatas dari kalangan
kaum pelajar (intelektual) pun mulai ikut berpartisipasi aktif. Karena
itu, dan sesuai pula perkembangan Mathla’ul Anwar, maka timbulah
gagasan-gagasan untuk meningkatkan kualitas perkembangan organisasinya, baik
yang bersifat teknis pedagogis, maupun adsministratif organisasi dan
keanggotaannya.
Muktamar
Pertama
Seiring naiknya gelombang dan semangat nasionalisme di hati
para kiyai dan pendukung Mathla’ul Anwar, yang antara lain dimanipestasikan
melalui perjuangan pendidikan dan da’wah, maka Mathla’ul Anwar perlu merespon
perkembangan dan kebutuhan bangsa. Dalam rangka itu, pada tahun 1936 diadakan Kongres
(Muktamar) Mathla’ul Anwar pertama yang bertempat di
Menes. Kongres dihadiri oleh perutusan dari semua madrasah yang ada dan
para tokoh yang terdiri dari para kyai dan ulama serta kaum terpelajar
setempat.
Keputusan-keputusan penting yang ditetapkan oleh Kongres
Mathla’ul Anwar I itu antara lain :
a.
Berdirinya satu Perhimpunan yang
bernama “MATH-LA’UL ANWAR”.
b.
Mengesahkan Anggaran dasar dan
Anggaran Rumah Tangga (statuten) Mathla’ul Anwar yang antara lain memuat :
1)
Nama : Mathla’ul Anwar, disingkat
M.A., didirikan pada tahun 1334 H/1916 M di Menes Banten.
2)
Dasar : Islam sepanjang ajaran Ahli
Sunnah wal Jama’ah
3)
Tujuan : Terwujudnya pendidikan dan
ajaran Islam di kalangan umat dan masyarakat Islam.
4)
Usaha : antara lain mendirikan
madrasah-madrasah, pondok pesantren dan tempat-tempat Ibadah.
c. Menetapkan susunan Pengurus Besar (Hoofd
Bestuur) yang antara lain terdiri :
Ketua Umum
(Presiden)
: K.H. E. Moh. Yasin,
Wakil Ketua (Vice
Presiden) : K.H. Abdulmukti,
Sekretaris
: E.E. Ismail.
d.
Struktur organisasi diatur :
1) Untuk tingkat
Kabupaten dibentuk Perwakilan (Kon-sultan) yang dipimpin oleh seorang Konsul,
2) Untuk tingkat Kecamatan (Onderdistrik) dibentuk sub
Perwakilan (Sub Konsultan) yang dipimpin oleh Sub Konsultan,
3) Untuk di tiap madrasah dibentuk Pengurus Cabang.
e. Menetapkan rencana pelajaran atau leerplan
(kurikulum). Dan untuk terlaksananya rencana pelajaran (leerplan) dengan
baik sesuai ketentuan, maka diangkat beberapa orang penilik (opzieneer) dan
seorang pengawas (inspekteur) yang berkedudukan di pusat. Jabatan ini
diamanatkan kepada K.H.M. Abdurrahman samapi beliau wafat pada tahun 1943.
Muktamar II
Pada tahun 1937 dilangsungkan Kongres (Muktamar) II, sesuai
dengan bunyi Anggaran Dasar yang menetapkan bahwa kongres diadakan setiap
tahun. Dalam kongres II ini tidak banyak hal yang dikemukakan.
Susunan Pengurus Besarpun tidak mengalami perubahan. Kongres II
semestinya diadakan pada tahun 1938, tetapi karena pada tahun itu Ketua Umum
(Presiden) Pengurus Besar Mathla’ul Anwar K.H.E. Moh. Yasin meninggal dunia,
maka Kongres II ditunda pelaksanaannya hingga tahun berikutnya.
Muktamar
III
Muktamar III Mathla’ul
Anwar dilangsungkan pada tahun 1939 dan selama itu kedudukan Ketua Umum
(Presiden) kosong. Jabatan tersebut dipangku Wakil Ketua (Vise Presiden)
yaitu K.H. Abdulmukti sampai terpilihnya Ketua Umum baru.
Pantas dicatat, bahwa pemilihan Ketua Umum pada Kongres III
tahun 1939 cukup serius dan mengalami ketegangan di kalngan masyarakat.
Dua orang calon Ketua Umum tampil. K.H.E. Djunaedi, putra K.H.E. Moh
Yasin, ketua umum yang baru meninggal dunia, yang juga salah seorang pendiri
bahkan arsiteknya pendirian Mathla’ul Anwar. Lawannya adalah E. Uwes
Abubakar yang dicalonkan oleh K.H. M. Abdurrahman yang juga sebagai
salah seorang pendiri Mathla’ul Anwar. Calon pertama berpendidikan
Al-Azhar Mesir, sedangkan calon kedua merupakan hasil gemblengan K.H.M.
Abdurrahman sendiri. Di sini masyarakat Mathla’ul Anwar dihadapkan dua
pilihan yang cukup berat dan untuk ysng pertama kalinya dialami. Karena
itu dua kubu pendukung sama-sama kokoh. Pihak pendukung K.H.E. Djunaedi
cukup beralasan, karena selain berpendidikan tinggi, juga keturunan seorang
tokoh kharismatik yang berpengaruh. Di lain pihak mendukung E. Uwes
Abubakar, yang meskipun masih muda dan belum mempunyai namadi kalangan
masyarakat, tetapi ia seorang kader, sekaligus produk kharisma tinggi.
Dalam menghadapi pemilihan ini masyarakat Mathla’ul Anwar
benar-benar bagai menghadapi buah simalakama. Persatuan dan kesatuan
yanhg telah bertahun-tahun dipupuk nyaris pecah. Namun kepemimpinan dan
wibawa K.H.M. Abdurrahman yang berjiwa besar dapat mempertahankan keadaan yang
sudah agak retak waktu itu. Akhirnya, E. Uwes Abubakar yang oleh pihak
kubu saingannya dijuluki “pireu” (bisu), terpilih dengan mendapatkan suara
terbanyak.
Muktamar
IV dan V
Muktamar
IV Mathla’ul Anwar berlangsung pada tahun 1940. Sementara itu Majlis
Islam Ala Indonesia (MIAI) berdiri yang merupakan satu wadah komunikasi antar
organisasi-organisasi Islam dimana waktu itu antara lain : Muhammadiyah,
Nahdatul Ulama, Al Irsyad, Al Jamiatul Wasliyah, Persatuan Umat Islam yang
berpusat di Majalengka, Persatuan Islam yang berpusat di Bandung, maka
Mathla’ul Anwar pun ikut pula menjadi anggotanya. Pada tahun 1941 di
langsungkan Kongres Mathla’ul Anwar V, dimana seperti halnya
Kongres IV dan V, K.H. Uwes Abubakar terpilih lagi menjadi Ketua Umum
untuk periode berikutnya.
Zaman
Penjajahan Jepang dan Muktamar VI
Tahun 1942, dengan meletusnya perang Asia Timur Raya dan
masuknya Jepang menjajah Indonesia, Muktamar VI tidak dapat dilaksanakan
pada waktunya. Baru pada tahun 1943, di bawah kekuasaan Jepang, Mathla’ul
Anwar dapat melangsungkan Kongresnya yang VI.
Pada masa ini, bangsa Indonesia dalam keadaan
sengsara. Selain dunia dalam keadaan perang, rakyat hidup miskin di bawah
pemerintahan Penjajah Jepang, yang fasis dan otoriter. Mathla’ul Anwar
merupakan satu-satunya organisasi yang dapat mengadakan kongres pada zaman
itu. Tentunya, hal ini merupakan suatu perjuangan yang sangat berat, di
samping harus ulet dan berhati-hati sekali. Salah sedikit saja bisa
ber-akibat fatal.
Pantas menjadi suatu catatan penting bagi umat Islam pada zaman
penjajahan Jepang ini, Bangsa Indonesia, setiap pagi diwajibkan menghormat
kepada Tenno Heiko (Kaisar Jepang) dengan jalan membungkukkan badan (ruku)
meng-hadap ke arah di mana tempat sang Kaisar bersinggasana. Banyak ulama
yang terang-terangan menolak tau menentang terpaksa mengalami penyiksaan
berat. Ada yang dipenjarakan dan tidak sedikit pula yang mati
terbunuh. K.H.M. Abdurrahman termasuk salah seorang yang juga menolak,
tetapi tidak terang-terangan. Karena itu beliau terpaksa selalu meng-urus
diri, kebetulan waktu itu beliau sering sakit-sakitan. Sehingga dapat
dijadikan alasan untuk tidak menampakkan diri kepada pihak pemerintah maupun
masyarakat.
Pada zaman ini pula M.I.A.I (Majlis Islam A’la Indenesia)
diubah namanya menjadi Majlis Syura Muslim Indonesia disingkat Masyumi.
Satu badan yang non politik, Masyumi waktu itu merupakan wadah untuk
menciptakan ukhuwah Islamiyah, mempererat persatuan dan kesatuan sesama
Muslim. Hal-hal yang akan mengakibatkan perpecahan dan perselisihan berat
yang antara lain masalah-masalah furu’iyah dan khilafiyah dihindarkan.
Zaman
Revolusi Mempertahankan Kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka pada tanggal
17 Agustus 1945, Masyumi mengubah diri menjadi partai politik dan menjadi
satu-satunya partai Islam. Dalam hal ini memang dikehendaki oleh
pemerintahan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945, sebagai salah satu sarana pelaksanaan kehidupan demokrasi.
Karena itu pula pada waktu itu hampir seluruh ummat Islam menjadi anggota atau
simpatisan partai tersebut.
Pada masa revolusi kemerdekaan, antara tahun 1945-1950, para
pimpinan, yaitu para kyai dan ulama Mathla’ul Anwar beserta segenap anggota
ikut serta berjuang melawan dan menentang Belanda yang berusaha untuk menjajah
kembali negara dan bangsa Indonesia. Ada yang ikut berpe-rang, memanggul
senjata, sebaai tentara, dan yang menjadi Hizbullah dan anggota-anggota badan
kelaskaran lainnya. Ada pula yang duduk dalam pemerintahan seperti
Asisten Wedana (Camat). K.E. Ismail, Sekretaris Pengurus Besar Mathla’ul Anwar
pertama periode 1936-1939, diangkat menjadi Wedana. KH. A. Sidiq, menjadi
Asisten Wedana Menes dan lain sebagainya. Disamping itu ada pula beberapa
putra Mathla’ul Anwar yang gugur dalam perang kemerdekaan sebagai pahlawan
bangsa. Di antaranya ialah Kyai Abeh Habri salah seorang putra
KH.M. Abdurrahman.
Karena suasana perang di tanah air , maka selama itu
Mathla’ul Anwar tidak dapat melaksanakan kongres. Para pimpinan Mathla’ul
Anwar yang tinggal di kota yang diduduki Belanda terpaksa harus mengungsi ke
daerah-daerah pedalaman. Namun, dalam situasi demikian, para aktivis
pengurus tetap berusaha mengadakan kontak dan komunikasi satu dengn yang lainnya.
Pada tahun 1949 pemerintah Belanda mengakui kedaulatan
Indonesia, sebagai hasil perjanjian Konfrensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag.
Para pejuang dan demikian pula pengurus Mathla’ul Anwar mulai masuk kota
kembali, ke kampung halaman masing-masing. Mulailah saat itu diadakan
kembali konsultasi dan pembenahan organisasi. Madrasah-madrasah Mathla’ul
Anwar mulai dibuka dan diadakan kegiatan belajar mengajar seperti
sediakala. Pada waktu itu negera kita berbentuk federasi, dengan nama
Republik Indonesia Srikat. Negara Srikat ini terdiri dari beberapa negara
bagian yang sebelumnya dibentuk oleh Belanda. Ada negara Pasundan, negara
Sumatra Timur, negara Indonesia Timur, negara jawa Timur, juga termasuk di
dalam Republik Indonesia Proklamasi yang beribukota di Yogyakarta.
Negara-negra boneka buatan Belanda itu merupakan usaha
politik Belanda untuk memecah belah dan untuk mempo-rakporandakan persatuan dan
kesatuan bangsa Indonesia. Usaha ini ternyata tidak berhasil, dan bentuk
federasi Republik Indonesia Serikat umurnya tidak lebih dari satu tahun.
Kalau saja bukan karena rahmat Allah dan keuletan para pemimpin bangsa
Indonesia usaha Belanda itu nyaris berhasil.
Timbulnya sukuisme, adanya kooperator dan nonkoope-rator,
yaitu orang-orang yang menyebrang ke Belanda dan orang-orang yang tetap
bertahan anti penjajah, pada waktu itu menimbulkan masalah yang cukup berat
yang dihadapi bangsa kita.
Demikian pula yang dialami Mathla’ul Anwar. Dalam membenahi
diri kembali, Mathla’ul Anwar tidak luput dari situasi yang tidak menguntungkan
itu. Namun berkat ketabahan, ke-sabaran dan keuletan para kyai, ulama dan
pengurus Mathla’ul Anwar, maka hal-hal yang tidak diinginkan lebih parah dapat
dicegah. Namun demikina persatuan dan kesatuan utuh se-perti sediakala
tidak dapat dipertahankan seutuhnya. Walau dalam jumlah yang tidak
berarti, juga ada anggota atau pim-pinan yang meninggalkan jama’ah Mathla’ul
Anwar yang kemudian tumbuh menjadi benih-benih penyakit dalam tubuh organisasi.
Tahun 1950, bagi Mathla’ul Anwar, adalah merupakan masa
transisi dan peralihan dai generasi pertama ke generasi kedua dan sekaligus
merupakan peralihan dari alam penjajahan ke alam kemerdekaan.
Muktamar
VII
Karena berkecamuknya peperangan mempertahankan kemerdekaan
dari agresi Kolonial Belanda pada tahun-tahun setelah proklamasi kemerdekaan
sampai dipulihkan kedaulatan RI pada tahun 1949, maka selama itu pula Mathla’ul
Anwar tidak dapat melaksanakan kongres. Tetapi pada tahun 1951 meskipun
rakyat umumnya masih dalam keadaan menderita dan miskin, pada tahun itu juga
dilaksanakan Kongres Mathla’ul Anwar VII di Menes. Kesulitan
transportasi dan komunikasi, serta susahnya kebutuhan-kebutuhan pokok kehidupan
pada waktu itu, tidak menjadi penghalang untuk berlangsungnya kongres.
Kesadaran dan kerinduan, disamping kuatnya semangat percaya diri, kongres VII
berjalan lancar dan aman. Pada tahun itu, kembali K. Uwes Abubakar
terpilih sebagai Ketua Umum untuk periode 1951-1952.
Kongres Mathla’ul Anwar VIII dilaksanakn di Ciampea Bogor, pada tahun 1952.
Keputusan-keputusan penting kongres VIII antara lain adalah :
a.
Terpilihnya kembali K. Uwes Abubakar
sebagi Ketua Umum Pengurus Besar Mathla’ul Anwar periode 1952-1953.
b.
Pernyataan dan penegasan bahwa
Mathla’ul Anwar adalah organisasi independen, tidk bersfiliasi dan tidak
menjadi onderbouw dari organisasi atau partai politik apapun.
c.
Bahwa Mathla’ul Anwar akan
mendirikan Kepanduan (Pramuka) sendiri.
Pernyataan dan penegasan tersebut pada putusan ke-2 dirasa
sangat perlu, karena pada umumnya orang belum tahu, bahwa sejak Masyumi menjadi
partai politik, Mathla’ul Anwar tidak lagi menjadi anggota istimewanya.
Dan karena itu tidak ada seorang pun pengurus Mathla’ul
Anwar yang duduk sebagai anggota DPP Masyumi sebagai wakil dari organisasi
ini. Disamping itu, sikap itu juga untuk menegaskan bahwa Mathla’ul Anwar
memang tidak berafiliasi kepada salah satu dari tiga partai politik Islam yang
ada, yakni : Masyumi, PSSI dan NU.
Pandu
Cahaya Islam
Mengenai
gerakan kepanduan (pramuka), pada awal Indonesia merdeka, tahun 1945, hanya ada
satu yang diakui oleh pemerintah RI yaitu Pandu Rakyat Indenesia. Tetapi
dengan adanya negara Republik Indinesia Serikat tahun 1950 tak terbendung kagi
berdirinya macam-macam organisasi kepanduan, antara lain : Pandu Rakyat
Indonesia, Pandu Islam Indonesia, Hizbul Wathon, Suya Wirawan, Pandu Kristen,
/pandu Katholik, Serikat Islam Afdeling Pandu, Ansor, Al Wasliyah, Pandu Al
Irsyad, dan KBI.
Satu lagi tonggak sejarah perkembangan organisasi Mathla’ul
Anwar pada saat ini. Pada kongres VIII telah diterima penggabungan dari Anwariyah
dari Bandung untuk berfusi menjadi Mathla’ul Anwar di bawah pimpinan Ajengan
Sya’roni. Kehadiran Anwariyah dalam kongres Mathla’ul Anwar VIII tersebut
diwakili Ajengan Sya’roni selaku ketua M.B. Ace selaku
bendahara dan Uyeh Baluqia Syakir sebagain unsur pemuda, dan memang
utusan termuda dikala itu.
Dalam rangka merealisir salah satu keputusan kongres
Mathla’ul Anwar VIII, maka pada awal Maret 1953, Pengurus Besar Mathla’ul Anwar
mengirim tiga pemuda untuk mengikuti Kursus Dasar Calon Pemimpin Pandu yang
diadkan oleh Kwartir Besar Pandu Islam Indonesia di Rangkasbitung-Lebak.
Kebetulan komisaris Cabang Pandu Islam Indonesia Lebak yang menjadi panitia
penyelenggara kursus tersebut adalah putra salah seorang kyai, tokoh Mathla’ul
Anwar. Panitia penye-lenggara kursus memberi kesempatan dan mengirim undangan
kepada PB Mathla’ul Anwar. Kesempatan itu diterima dengan baik dan
dikirimlah tiga orang pemuda tersebut untuk mengikuti kursus, yang kelak
sekembalinya dari kursus dapat mendirikan dan memimpin kepanduan sendiri.
Proses pembentukan Kepanduan Mathla’ul Anwar berjalan
lancar, terutama setelah dibicarakan dalam sidang pleno Pengurus Besar Mathla’ul
Anwar dan mendapatkan perse-tujuan rapat. Satu team yang terdiri dari M.
Muslim, Komari Saleh HG, E.A Burhani, M. Nahid Abdurrahman, K. Ghozali, Moh.
Rifa’I, E. Udan Hudari, Ma’mun. Chabri dan lain-lain diberi tugas
untuk menyusun Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga serta
ketentuan-ketentuan lain yang berhu-bungan dengan teknik kepanduan. Akhirnya
pada awal Mei tahun 1953 terbentuklah Kepanduan Mathla’ul Anwar dengan nama Pandu
Tjahya Islam disingkat PANTI, dengan status sebagai badan otonom dari Mathla’ul
Anwar.
Pada bulan Mei 1953 berdasarkan keputusan sidang pleno
Pengurus Besar Mathla’ul Anwar, Pandu Tjahya Islam disahkan
berdirinya. Dengan demikian secara resmi sudh dapat dimulai
mengadakan kegiatan. Untuk itu dan sebagai langkah pertama diadakan
kursus-kursus kepemimpinan tingkat dasar yang pesertanya terdiri dari guru-guru
madrasah dan pemuda Mathla’ul Anwar.
Dalam waktu relatif singkat terbentuklah pasukan-pasu-kan,
kelompok-kelompok dan cabang-cabang Pandu Cahaya Islam, tetapi di tempat-tempat
lain pun seperti kota Pandeglang, Jakarta, Cisauk – berdiri pula Pandu Cahaya
Islam.
Pada bulan November 1953 itu pula Pandu Cahaya Islam
mengirim M. Nahid Abdurrahman untuk mengikuti Kursus Kepanduan tingkat
yang lebih tinggi di luar negeri, yakni Kualalumpur, Malaysia. Waktu itu
masih bernama Malaya se-bagai negara jajahan Inggris. Pengiriman itu adalah
atas ajakan dan kerjasama denga kwartir Besar Pandu Islam Indonesia di bawah
pimpinan Ibrahim Muhammad.
Pada tahun1953 itu pula, Mathla’ul Anwar untuk pertama
kalinya, mendirikan sekolah umum SMI (Sekolah Menengah Islam) atau SMP, di
Menes. Ternyata SMI mendapat sambutan baik di kalangan masyarakat,
sehingga pada tahun ajaran pertama kelas I nya sudah dua kelas paralel.
Selanjutnya, SMPI ini dikembangkan menjadi PGA (Pendidikan Guru Agama).
Karena satu dan lain hal, pada tahun 1979, peme-rintah, dalam hal ini
Departemen Agama, menghapus PGA.
Muslimat
Mathla’ul Anwar
Kongres Mathla’ul Anwar
IX dilangsungkan pada bulan Desember 1953 di Pamoyanan, Bandung, Jawa
Barat. Kong-res kali ini merupakan kongres yang luar biasa dibanding
kongres-kongres sebelumnya. Mathla’ul Anwar, yang waktu itu merupakan
organisasi kecil yang pusatnya terletak di satu kecamatan, bahkan seluruh
cabang-cabangnya berada di kampung-kampung dan pinggiran kota, mengadakan
kongres di kota besar yang merupakan ibu kota provinsi. Resepsi
pembu-kaan kongres diselenggarakan di gedung Concordia, yang dua tahun
kemudian, digunakan sebgai tempat konferensi Asia Afrika. Dan ternyata
kongres ini menghasilkan keputusan-keputusan penting bagi masa depan
organisasi.
Kongres kali ini telah pula melahirkan beberapa resolusi dan
statemen keluar, di samping keputusan-keputusan ke dalam, yang diantaranya
ialah :
a. Pengesahan berdirinya
Pandu Cahaya Islam dengan status sebagai badan otonom Mathla’ul Anwar.
b. Keputusan tentang berdirinya Muslimat
Mathla’ul Anwar yang dipimpin oleh Nyi. H.A. Zenab binti Moh. Yasin sebagai
ketua, Nyi. Ufi Alfiah sebagai Sekretaris, Ny. Sursiah sebagai bendahara.
c. Keputusan tentang
ditingkatkannya Mathla’ul Anwar menjadi organisasi kemsyarakatan yang bergerak
dalam bidang pendidikan, sosial dan da’wah. Dengan demikian sejak tahun
1953 itu Mathla’ul Anwar memiliki anggota. Sebe-lumnya, dalam Anggaran
Dasar, tidak dimuat pasal tentang keanggotaan. Yang ada hanyalah tentang
donatur sebagai penyandang dana orgnisasi.
d. Kongres telah memutuskan pula untuk
menyempurnakan dan menyesuaikan rencana pelajaran, leerplan atau kuri-kulum.
e. Diputuskan pula oleh
kongres untuk menerbitkan sebuah majalah yang diberi nama Majalah Madrasah
Kita. Pim-pinan umum majalah ini dipercayakan kepada Nafsirin Hadi
dan Komari Saleh HG. Dibantu oleh Moh. Rifa’I sebagai sekretaris.
f. Pernyataan (statemen)
bahwa Mathla’ul Anwar adalah satu organisasi yang berdiri sendiri (independen),
tidak berafiliasi atau menjadi onderbouw dari partai politik atau organisasi
apa pun. Sedang dalam menghadapi pemilihsn umum, Mathla’ul Anwar menyerahkan sepenuhnya
kepada anggota atau pengurus masing-masing. Dalam hal ini dipersyaratkan
keharusan untuk menyalurkan hanya kepada partai politik Islam (yaitu Masyumi,
NU, PSII, Perti) saja.
g. Mengusulkan kepada
pemerintah agar pelajaran agama (Islam) dijadikan mata pelajaran wajib di
sekolah-sekolah negeri.
h. Mengusulkan dan mendesak kepada
pemerintah RI agar di tiap-tiap stasiun kereta api didirikan Musholla.
i. Dalam kongres
tersebut, kembali K.H. Uwes Abubakar terpilih menjadi ketua umum dibantu
Ajengan Sya’roni (dari Bandung) sebagai wakil ketua I dan KH. Achmad Siddiq
(dari Menes) sebagai Wakil Ketua II, KH. E. Burhani sebagai Sekretaris Umum dan
beberapa orang kyai dan ulama yang juga diangkat sebagai pembantu pengurus.
Kongres IX Mathla’ul Anwar tahun 1953
merupakan masa transisi dari zaman penjajahan dan suasana yang kurang mendukung
bagi perkembangan dan pertumbuhan organisasi ke alam merdeka. Karena itu
langkah-langkah yang telah ditempuh merupakan sarana dan bekal untuk menyongsong
hari depan yang baru. Kongres ini juga merupakan titik tolak kiprah
organisasi yang akan selalu menyesuaikan diri dengan perkembangan dan perubahan
situasi dan kondisi negara kita.
Sejalan dengan keputusan tentang
peningkatan organi-sasi Mathla’ul Anwar menjadi organisasi kemasyarakatan
(ormas), masa kerja pengurus yang baru berubah pula. Tidak lagi
satu tahun tetapi menjadi tiga tahun sekali. Sehingga Pengurus Besar
yang baru ditetapkan Kongres IX mulai diberlakukan untuk masa kerja tahun
1953-1956.
Mathla’ul Anwar yang dilahirkan di satu
kota kecil, yang pada waktu itu mungkin tidak tercatat dalam atlas atau peta
bumi Indonesia, nyatanya mampu menyelenggarakan kongres di ibu kota provinsi,
bahkan menggunakan fasilitas yang cukup modern di kala itu. Kongres Mathla’ul
Anwar IX dibuka dengan resepsi atau ta’aruf di Gedung Concordia, yang dua tahun
kemudian menjadi tempat konferensi Asia Afrika pertama dilangsungkan.
Gedung megah yang ada di tengah-tengah kota Bandung itu adalah peninggalan Belanda.
Waktu itu penuh sesak diisi oleh peserta dan masa Mathla’ul Anwar yang
berda-tangan dari beberapa daerah.
Pemuda
Mathla’ul Anwar
Tahun 1953, bagi Mathla’ul Anwar
ditandai dengan mulai bangkitnya angkatan muda. Mereka bahu
membahu ikut serta mengambil bagian dalam barisan Mathla’ul Anwar. Komari
Saleh HG, M. Nahid Abdurrahman, Mohammad Rifa’I, Mohammada Idjen, Uyeh Baluqia
Syakir, Ismail Cairo (Djaelani), M. Muslim, Ghozli, TB. Suja’i, Abdurrahim,
Hasan Muslihat, E.A. Burhani dan masih banyak lagi di antara nama-nama pemuda
yang muncul di kala itu.
Namun dilain pihak, pada saat
bersamaan, Mathla’ul Anwar menghadapi tantangan dan rongrongan yang cukup
berat. Khususnya dalam menghadapi pemilihan umum yang pertama untuk Dewan
Perwakilan Rakyat dan Konstituante. Partai-partai Islam berusaha menarik
masa Mathla’ul Anwar untuk masuk dalam kubunya. Betapapun beratnya ujian
waktu itu, namun Pengurus Besar Mathla’ul Anwar dengan segenap jajarannya,
tetap bertahan kepada keputusan sikapnya untuk tidak menjadi onderbouw dan
bersfiliasi kepada salah satu partai politik.
Muktamar
X
Sesuai keputusan Kongres sebelumnya
bahwa sedianya Kongres X akan diadakan di Lampung, namun berbagai
kendala pada waktunya, Lampung belum siap. Maka Pengurus Besar memutuskan
Kongres X diadakan di Menes pada tahun 1956 bulan Januari yang sekaligus dalam
rangka Hari Ulang Tahunnya yang ke-40 berdirinya Mathla’ul Anwar.
Malam resepsi Kongres ini dihadiri pula
oleh Menteri Agama R.I., Moh. Ilyas. Tidak hanya ribuan, tetapi puluhan ribu
umat warga Mathla’ul Anwar berduyun-duyun datang ke arena Kongres di Cimanying,
Menes. Lalu-lintas Pandeglang Labuan praktis terhenti, bahkan berjalan kaki pun
tidak mudah. Warga Mathla’ul Anwar dari seluruh pelosok Menes dan
sekitarnya ikut menyambut gembira ulang tahun Mathla’ul Anwar ke-40. Para
peserta tidak ditempatkan di suatu asrama khusus, tetapi ditipkan di
rumah-rumah penduduk, atas biaya masing-masing.
Mereka yang tidak kebagian mengeluh dan
mengadu kepanitia seakan tak dihargai. Terpaksa panitia menjadi repot
memindah-mindahkan para peserta agar setiap warga yang menyediakan tempat
mendapat tamu peserta. Segenap anggota Pandu Cahaya Islam tampil denga
cekatan membantu kerja panitia. Mereka bergembira dalam bekerja keras, yang
kadang-kadang terpaksa lupa makan dan minum.
Salah satu keputusan Kongres X di Menes
ini adalah rencana menerbitkan sebuah buku Yubelium, kenang-kenangan kongres
dan HUT, yang berisi pula ikhtisar sejarah perjuangan Mathla’ul Anwar dari
awal. Sayang buku itu tidak sempat terbit. Disamping itu, Kongres
X telah mengesahkan berdirinya Pemuda Mathla’ul Anwar, sebagai badan otonom
sebagaimana Pandu Cahaya Islam dan Muslimat Mathla’ul Anwar. Semula,
satu-satunya wadah bagi para pemuda muslim adalah Gerakan Pemuda Islam
Indonesia (GPII), Namun setelah Syarikat Islam (SI) keluar dariMasyumi pada
tahun 1948, yang kemudian berdiri menjadi Partai Syarikat Islam Indonesia
(PSII); disusul oleh Nahdatul Ulama (NU) yang menjadi partai Nahdatul Ulama,
maka timbulah kembali berbagai organisasi pemuda Islam. Diantaranya
adalah Gerakan Pemuda Ansor dan Pemuda Muhammadiyah.
Untuk menjaga keutuhan dan persatuan di
kalangan warga Mathla’ul Anwar sendiri, maka didirikanlah Pemuda Mathla’ul
Anwar (PMA), yang untuk pertama kalinya dipimpin oleh M. Muslim.
Adapun keputusan-keputusan lainnya dari
Muktamar X, diantaranya ialah :
a.
Mengulangi statemen
bahwa Mathla’ul Anwar tidak bergabung, tidak berafiliasi atau menjadi onderbouw
dari partai politik atau organisasi apa pun juga. Keputusan ini merupakan
penegasan kembali bahwa Mathla’ul Anwar adalah organisasi yang independen atau
berdiri sendiri.
b.
Mengusulkan
kepada pemerintah agar pelajaran agama (Islam) dijadikan mata pelajaran wajib
di sekolah-sekolah negeri.
c.
Mengusulkan dan
mendesak kepada pemerintah RI agar di tiap-tiap stasiun kereta api didirikan
Musholla.
d. Susunan Pengurus
Besar Mathla’ul Anwar terpilih antara lain :
Ketua
Umum
: K. Uwes Abubakar
Wakil Ketua
I
: Ajengan Sya’roni
Wakil Ketua
II
: K.H.A. Siddiq
Sekreataris
Umum : K.H. Muslim
Sekretaris
I
: E.A. Burhani
Sekretaris II
: E. Chabri
Bendahara
: KH. Djamhari
Waktu itu Ketua Umum K.E. Uwes Abubakar
telah dilantik sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat R.I hasil pemilu yang
pertama thun 1955. Sedang sebelumnya, sejak tahun 1950 sampai dengan
1955, beliau menjadi anggota DPRD sementara Propinsi Jawa Barat, merangkap
anggota DPRD sementara kabupaten Pandeglang, yang masing-masing sebagai anggota
fraksi Masyumi.
Situasi ekonomi dan politik sejak tahun
1957 sangat tidak menguntungkan bagi Mathla’ul Anwar. Negara, saat itu
dikeruhkan oleh munculnya pemberontakan PRRI dan permesta di Sumatra Barat dan
Sulawesi Utara. Karena konstituante dianggap macet, Presiden membubarkan
lembaga pembentuk UUD tersebut dan mendekritkan kembali berlakunya UUD 1945,
presiden yang semula hanya bersifat seremonial menjadi eksekutif yang berkuasa.
Dimulailah dikeluarkan
ketentuan-ketentuan yang tidak mempunyai dasar dalam konstitusi berupa
Peraturan Presiden yang kemudian menyebabkan dibubarkannya partai Masyumi dan
PSI. Walau demikian, Mathla’ul Anwar, yang sebelumnya hanya berada di
sebagian wilayah Jawa Barat dan Lampung, kemudian melebar samapai ke Jakarta,
Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, Sulawesi Tengah, Aceh dan Kalimantan Barat.
Mathla’ul
Anwar sebagai Badan Hukum
Tahun 1959, karena masih saja terdengar
suara-suara sumbang yang menyatakan bahwa Mathla’ul Anwar sebagai mantel dan
onderbouw Masyumi, maka Katua Umum K.E. Uwes bubakar memberikan mandat kepada
Wakil Ketua I, Ajeng Sya’roni untuk atas nama organisasi menjadikan Mathla’ul
Anwar sebagai badan hukum. Penetapan ini dalam bentuk keputusan Menteri
Kehakiman RI sebagai berikut:
ANGGARAN DASAR SERIKAT-SERIKAT
Tambahan berita Negara RI tanggal 28 –
03 – 1959 No. 25 KUTIPAN dari Daftar Penetapan Menteri Kehakiman tertanggal 13
Djanuari 1959 No. J.A 5/6/15.
MENTERI KEHAKIMAN
Membatja
|
:
|
I
II
|
Surat
permohonan tertanggal 1 oktober 1958 dari H.A. Sya’roni, Wakil Ketua I dan
selaku itu dalam hal ini menjadi wakil perkumpulan tersebut di bawah ini;
Surat
II. Surat dari \kepala Daerah Tingkat II Bandung tertanggal 27 Agustus 1958
No. 93/Ktr/Sek/58.
|
Mengingat
|
:
|
Peraturan-peraturan
yang bersangkutan sebagai pasal 1, 2 dan 3 dari Lembaran Negara
1870*(Staatsblad No.64), sebagaimana terakhir diubah dengan Lembaran Negara
1937 (staatsblad No. 573) dan pasal-pasal 1653 sampai dengan 1965 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata :
|
|
MEMUTUSKAN :
|
|||
Menyatakan
sah Anggaran Dasar perkumpulan : Mathla’ul Anwar disingkat M.A yang memilih
kedudukan biasa di Menes, Banten, sebagaimana Anggaran Dasarnya dimaktubkan
dala lampiran penetapan ini dan oleh karena itu mengakui perkumpulan tersebut
sebagai badan hukum pada hari pengumuman anggaran dasarnya dalam Tambahan
Berita Negara Indonesia.
|
Kutipan dari penetapan ini dikirim
kepada pemohon untuk diketahui dan dituruti.
Sesuai dengan daftar tersebut :
Kepala Urusan Hukum Perdata :
u.b
Pegawai Tinggi yang diperbantukan
Mr. Tio Tjiong Tho
Bergabung
dengan Mathla’ul Anwar
Pada tahun-tahun itu pemerintah melalui Kementrian Agama
memberi bantuan berupa uang kepada mdrasah-madrasah sekali setahun. Besar
kecilnya dihitung dari jumlah murid dikalikan Rp. 2,50.- (dua rupiah lima puluh
sen). Untuk itu setiap madrasah yang dikoordinir oleh organisasi masing-masing
diharuskan mengisi formulir yang telah disediakan oleh Kementrian Agama.
Disamping itu ada ketentuan yang ditetapkan oleh Kementrian Agama, bahwa
madrasah-madrasah perorangan, yayasan atau organisasi-organisasi lokal
diharuskan bergabung kepada organisasi yang bertingkat nasional.
Dimaksud organisasi tingkat nasional adalah satu organisasi
yang wilayah kerjanya sekurang-kurangnya meliputi dua daerah propinsi.
Yang termasuk golongan ini antara lain : Muhammadiyah, NU, Al Jamiatul
Wasliyah, Al Irsyad, Persis, PUI dan Mathla’ul Anwar.
Dengan adanya peraturan itu maka banyak yayasan-yayasan yang
mengelola madrasah , maupun lembaga-lembaga perorangan yang menyelenggarakan
pendidikan formal (bukan diniyah) bergabung dan berfusi dengan Mathla’ul
Anwar. Di Jawa Tengah : Ichsaniyah Tegal yang memiliki daerah kerja di
Brebes, Pemalang dan Banjarnegara; Al Iman Magelang yang daerah kerjanya
meliputi Temanggung, Purwarejo, Wonosobo, Kebumen dan Ma’had Islam di
semarang. Nahdlatul Wathon di Kediri Nusa Tenggara Barat, Nurul Islam
Tawaeli-Donggala Sulawesi Tengah dan puluhan madrasah di Aceh, di bawah
koordinasi Moh. Isa. Dan karena itu Mathla’ul Anwar yang pada awalnya
hanya menduduki tempat di urutan H (8), maka satu tahun kemudian (1960) telah
berada pada urutan ketiga.
Karena itu untuk memudahkan hubungan kerja dengan Pemerintah dan Instansi
terkait di Pusat, serta untuk bisa memberikan pelayanan kepada semua
madrasah-madrasah/yayasan yang bergabung, maka didirikanlah Kantor \perwakilan
Pengurus Besar Mathla’ul Anwar di Jakarta, di tanah dan bangunan Bapak H.
Suhada jalan Sangihe No. 26 A Jakrta Barat. Dan Bapak H. Suhada sendiri
diangkat sebagai Pengurus Mathla’ul Anwar DKI Jakarta. Dan di tempat itu
langsung didirikan PGD Mathla’ul Anwar yang dipimpin oleh Ustadz. Salim Kadir
dan kawani.
Berdirinya
Majlis Fatwa Wat Tabligh
Sejak tahun 1952, dengan berdirinya MNU sebagai partai
politik, timbul kembali perselisihan umat Islam tentang masalah-masalah
khilafiyah dan furuiyyah. Masalah ini sebelumnya sudah agak
teredam dan tidak lagi menjadi perselisihan sengit dikalangan masyarkat. Tetapi
waktu itu, seolah-olah sengaja dibangkitkan untuk menarik simpati umat
dalam memperkuat partai atau barisan masing-masing, lebih khusus lagi dalam
rangka kampanya dalam menghadapi Pemulihan Umum pertama pada tahun 1955.
Pemahaman tentang Ahli Sunnah wal Jama’ah menjadi kabur dan
dikembangkan menurut versi masing-masing organisasi bersangkutan.
Akibatnya, taqlid buta merambah individu-individu yang enggan berfikir dan
sungkan mengkaji.
Hal-hal itu menjadi salah satu penyebab keprihatinan para
ulama dn kyai yang berpandangan jauh ke depan dan maju. Guna meningkatkan
wawasan dan mendorong cara berfikir para kyai dan ulama di kalangan intern
Mathla’ul Anwar, timbulah satu gagasan untuk mengadakan pengkajian dan
penyatuan pemahaman tentang berbagai ilmu agama. Dengan
pertimbangan-pertimbangan tersebut maka pada tahun 1960 bertempat di Buaranjati
Mauk, Tangerang diadakan suatu pertemuan yang dihadiri, selain anggota
Pengurus Besar Mathla’ul Anwar, para tokoh, kyai dan ulamanya. Dalam
pertemuan itulah dibahas beberapa masalah aqidah dan hukum agama, khususnya
nerisi pula tentang pemahaman dan pendalaman tentang Khittah Mathla’ul Anwar.
Dan pada akhir pertemuan disetujui agar pertemuan-pertemuan
seperti itu diadakan secara berkala sekurang-kurangnya satu tahun sekali yang
temptnya berpindah-pindah. Dan diputuskan pula bahwa pertemuan tersebut
dilembagakan dengan nama Majlis Fatwa Wattabligh Mathla’ul Anwar.
Untuk mengetuai lembaga, pada pertama kalinya terpilih dan diangkat K.H.
Achmad Syauqi, sedangkan sekretarisnya dipilih Kyai R.A. Anhar.
Dengan lembaga ini diharapkan soal-soal furuiyyah dan
khilafiyyah yang sangat peka dan sering menjadi penyebab timbulnya perpecahan
di kalangan umat Islam dapat dicegah dan dihindari. Juga diharapkan
timbulnya sikap tasamuh atau toleransi antar sesma Muslim. Dan dilain
pihak sikap terhadap kaum kuffar menjadi tegas.
Sidang Majlis Fatwa Wattabligh ke-2 diadakan di kota
Magelang, Jawa Tengah, pada tahun 1961. Sidang II ini benar-benar
merupakan rena pembahasan dan pengkajian masalah agama, khususnya yang
menyangkut bidang fiqh dan hukum Islam.
Keberadaan Ustadz Djufri Sagaf sebagai orang pertama
dari yayasan Al Iman telah menjadi salah satu penyebab sidang-sidang
Majlistersebut benar-benar hidup sesuai dengan arah yang dituju dan diharapkan
Pengurus Besar Mathla’ul Anwar, khususnya yang diinginkan oleh Ketua Umum K.E.
Uwes Abubakar. Disini para ulama dan kyai dilingkungan Mathla’ul Anwar
meningkat wawasan ilmu pengetahuandan cara berfikirnya. Ustadz Djufri Sagaf,
selain banyak pengalaman, juga sangat luas ilmu pengetahuannya. Semua
dalil dan alasan yang dikemukakan dibuktikan dengan pembeberan kitab-kitab yang
pernah dibaca, dan sekaligus ada dalam koleksi perpustakaan yayasan Al
Iman. Disamping hafal kalimat demi kalimat, juga beliau ingat nama kitab,
judul, penulis, bahkan sampai dengan juz, halaman, dan jilidnya.
Ditunjang pula penguasaan dan pemahaman bahasanya. Maka tidak anehlah
kalau ada yang samapi menyebut atau menjuluki beliau sebagai kamus hidup.
Dan jadilah beliau sebagi bintang perhatian yang dikagumi seluruh peserta.
Kemudian sidang Majli Fatwa Waatabligh yang III diadakan di
kota Karawang pada tahun 1962. Sidang ini ditandai masuknya Prof. DR.
Saleh Suaidy sebagai ketua Majlis Fatwa Wattabligh yang baru menggantikan KH.
Anhar yang meninggal dunia.
Majlis
Pendidikan dan Pengajaran
Bersamaan sidang Majlis Fatwa Wattabligh yang kedua,
diadakan pula Sidang Majlis Pendidikan dan Pengajaran Mathla’ul Anwar di
lokasi itu juga. Majlis Pendidikan Pengajaran bersidang untuk membahas
rencana pelajaran (leerplan) serta pedoman pendidikan dan Pengajaran Mathla’ul
Anwar. Ini bukan berarti bahwa Mathla’ul Anwar belum memiliki rencana
pelajaran, tetapi karena adanya penggabungan yayasan-yayasan dan
madrasah-madrasah perorangan ke dalam Mathla’ul Anwar. Atas kesepakatan
dan keinginan yang sama, dianggap perlu diadakan rencana pelajaran yang sama
dan seragam yang disesuaikan dengan perkembangan dan kemajuan zamannya.
Ditegaskan waktu itu bahwa hal itu bukan berarti Mathla’ul
Anwar mencampuri rumah tangga intern yayasan atau lembaga-lembaga yang
bergabung ke dalam Mathla’ul Anwar, tetapi memang dikehendaki bersama oleh
semua pihak yang bersangkutan.
Akhirnya setelah menerima dan menampung usul-usul dan
saran-saran dari beberapa pihak, Majlis Pendidikan dan Pengajaran mengambil
keputusan untuk membentuk Panitia Perumus dan Penyusun Rencana Pelajaran dan
Pedoman Mathla’ul Anwar, anggotanya antara lain terdiri dari E.A. Burhani,
Muslim, Uyeh Baluqia Syakir dari Bandung, Ustadz Abdurrahman dan ustadz
Djaelani Ilyas yang masing-masing dari yayasan Ihsaniyah Tegal dan dua orang
lagi dari Yayasan Al Iman, Malang. Kedua sidang majlis tersebut diadakan pada
bulan Agustus 1961 dimana yayasan Al Iman sebagai panitia penyelenggara.
Dalam rangka menjalin hubungan dengan ex anggota Dewan
Perwakilan Rakyat hasil Pemilu pertama tahun 1955, E. Uwes Abubakar selaku
Ketua Umum Pengurus Besar Mathla’ul Anwar, pada akhir tahun 1961 (bulan
Desember) mengadakan kunjungan ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dari
Jakarta, rombongan singgah di Tegal dan Salatiga, kemudian langsung ke Surabaya
menuju rumah K.H. Misbach. Beliau adalah juga ex anggita DPR hasil Pemilu
tahun 1955 yang tidak disertakan dalam DPR Gotong Royong ciptaan Bung Karno,
sesudah Dekrit Presiden tahun 1957.
Di Surabaya selain berkunjung ke KH. Misbach, rombongan
bersilaturahmi pula dengan tokoh pengurus Yayasan Pendidikan Islam
Indonesia (YPII) yang antara lain dipimpin oleh Anwar Zain dan Susmono.
Dari pembicaraan yang tidak semula nampak tidak terarah, akhirnya samapai pada
kesimpulan penggabungan YPII ke dalam Mathla’ul Anwar. Pembicaraan waktu
itu baru tingkat konsultasi dan informil. Kepastian dan keputusannya
Pengurus YPII Pusat untuk bergabung dengan Mathla’ul Anwar, rencananya akan
diputuskan setelah musyawarah dengan semua perwakilannya yang tersebar di
seluruh kabupaten di Jawa Timur.
Pada bulan Jnuari 1962, pertemuan Pengurus YPII lengkap
dengan perwakilan-perwakilannya se-Jawa Timur dilangsungkan. Pada
pertemuan itulah didapat kata sepakat dan secara resmi YPII Jawa Timur
bergabung dalam Mathla’ul Anwar. Diantaranya tercatat sepuluh kabupaten
Perwakilan YPII yang hadir ialah: Tuban, Bojonegoro, Probolinggo, Ngawi,
Magetan, Pacitan, Gresik, Mojokerto, Ponorogo dan kabupaten Madura.
Pada tahun 1962 itu juga, di Tegal dilangsungkan Sidang
Panitia Perumus dan Penyusun Rencana Pelajaran (leerplan) dan Pedoman
Pendidikan Mathla’ul Anwar. Sidang menghasilkan Rencana Pelajaran Terurai
untuk madrasah Ibtidaiyah. Adapun untuk madrasah tingkat Tsanawiyah dan
Aliyah akan disidangkan di Menes, Banten yang waktunya belum ditetapkan di kala
itu.
Lahirnya
Majlis Da’wah Mathla’ul Anwar
Pada akhir tahun 1962 bertempat di Karawang, dilangsungkan
sidang Majlis Fatwa Wattabligh III. Sidang kali ini dihdiri pula oleh Al
Ustadz H.M. Sholeh Su’aedy (salah seorang yang mencetuskan berdirinya
Departemen Agama dan juga salah seorang utusan bangsa Indonesia dalam muktamar
Haji di Makkah, yakni pertemuan pertama yang dihadiri bangsa Indonesia setelah
merdeka). Juga hadir K.H. Abdul Razak, seorang utusan badan wakaf dari
semarang. Satu keputusan yang sangat penting dari sidang ini adalah
dipecahnya Majlis Fatwa Wattabligh ke dalam dua lembaga: masing-masing Majlis
Fatwa Mathla’ul Anwar dan Majlis Da’wah Mathla’ul Anwar.
Majlis Fatwa berfungsi menampung dan membahas
masalah-masalah hukum Islam, sedang Majlis Da’wah berfungsi sebagai lembaga
yang menyebarluaskan hasil-hasil olahan Majlis Fatwa. Majlis Fatwa
diketuai oleh H.M. Sholeh Su’aedy dan Majlis Da’wah diketuai A.E. Sutisna dari
Pandeglang.
Pada tahun 1963 Ketua umum Pengurus Besar
Mathla’ul Anwar melaksanakan ibadah haji ke Mekah. Sebenarnya apa yang
dilaksanakanitu semata-mata untuk menyempurnakan rukun Islam yang ke lima,
tidak merupakan satu yang istimewa bagi seorang muslim. Namun tanpa
diketahui sebelumnya, sesampai beliau di tanah suci mendapat undangan resmi Rabithah
Alam Islami yang memang setiap tahun mengadakan kongresnya di Mekkah. Ketua
Umum PB Mathla’ul Anwar diundang untuk mewakili umat Islam Indonesia.
Perwakilan
Mathla’ul Anwar di Luar Negeri
Karena merasa dirinya tidak pantas untuk bertindak sebagai
wakil dari Indonesia, sebab di sana terdapat tokoh-tokoh dari NU dan
Muhammadiyah yang organisasinya sudah lebih besar dari Mathla’ul Anwar.
Tetapi dari pihak Rabithah tidak mau menerima alasan itu. Maka akhrinya
dengan tidak merasa merendahkan yang lain terpaksa undangan itu dipenuhi,
dengan pertimbangan dari pada tidak ada wakil Indonesia sama sekali. Dan
kemudian sejak saat itulah Indonesia dianggap termsuk sebagai anggota forum
internasional tersebut.
Bahkan sebulan setelah kongres itu, dalam bulletin yang
diterbitkan oleh Rabithah, dimuat salah satu keputusannya yang menguntungkan
umat Islam Indonesia. Disebutkan di situ bahwa Indonesaia termasuk salah
satu negara yang umatnya akan dibantu secara material/financial.
Disamping itu, Ketua Umum sempat pula membentuk Perwakilan Mathla’ul Anwar
untuk Saudi Arabia yang berkedudukan di Mekkah.
Satu hal lagi yang diluar perencanaan semula, dengan kehendak Allah SWT. Telah
terwujud begitu saja. Pada waktu itu Jeddah ada sebuah Madrasah lil
banaat. Muridnya tidak samapi seratus orang. Mereka ingin bergabung
dengan Mathla’ul Anwar, dan kemudian mengubah namanya menjadi Madrasah
Mathla’ul Anwar. Satu hal yang luar biasa, beberapa waktu setelah
penggabungan dengan nama Mathla’ul Anwar, muridnya melonjak pesat sampai tiga
ratus orang lebih.
Perjalanan haji waktu itu masih menggunakan kapal laut, sehingga memakan waktu
sekitar tiga bulan. Di samping itu untuk dapat menunaikan ibadah haji,
selain membayar ONH, setiap calon harus menang dalam undian kotum, yakni
kesempatan melaksanakan ibadah haji pada tahun itu. Hal ini terjadi,
karena ibadah haji di waktu itu mendapat subsidi pemerintah, dan jumlahnya
sangat terbatas sesuai kemampuan dan [emerintah.
Sekembalinya Ketua Umum di tanah air, tidak
lama kemudian diadakan satu pertemuan anggota Pengurus Besar dan Panitia
Perumus Pelajaran (Kurikulum) bertempat di Menes. Pada kesempatan itu,
selaian membahas leerplan juga untuk mendapatkan oleh-oleh perjalanan ke tanah
suci, termasuk pula tenyang kongres Rabithah. Berdirinya perwakilan
Mathla’ul Anwar untuk Saudi Arabia, dan bergabungnya sebuah madrasah ke dalam
Mathla’ul Anwar di Jeddah.
Pada tahun (1965), untuk yang pertama
kalinya Mathla’ul Anwar mendapat jatah dari Departemen Agama untuk
mengirimkan seorang menjadi MPH (TPHI), yaitu Majlis Pembimbing Haji. Dan
untuk itu ditunjuk M. Muslim Abdurrahman untuk melaksanakan tugas tersebut.
Pada tahun 1964, suhu politik di
Indonesia terasa makin panas. Sementara perekonomian bangsa menjadi
semakin kritis, inflasi ratusan persen, harga melambung tiap hari dan
barang-barang menjadi langka. “Nasakomisasi”, yakni menjadikan semua lembaga
berintikan tiga kekuatan politik nasional, agama dan komunis dipaksa
dimana-mana. Jargon politik seperti Manipol Usdek dan lain-lain istilah
politik di waktu itu memenuhi udara politik tanah air kita. Semu itu
tidak membuat rakyat Indonesia semakin baik, tetapi justrumenjadikan lebih
sengsara, karena ditumbuhkan kecurigaan satu sama lain. Bersamaan dengan
itu, di samping DPR Gotong Royong, didirikan pula Front Nasional, yang
berintikan kaum Komunis dan Nasionalis kiri.
Untuk mengatasi kecenderungan ke kiri yang
berlebihan, dipelopori oleh Angkatan Darat, didirikan sekretariat bersama
Golongan Karya atau Sekber Golkar. Tujuannya anatar lain untuk
menyalurkan aspirasi rakyatdan khususnya lagi bagi organisasi-organisasi masa
kekayaan dan non politik. F dan Mathla’ul Anwar termasuk penandatanganan
berdirinya sekber Golkar.
Sekembalinya menunaikan tugas sebagai MPH, KH. M. Muslim,
yang waktu itu menjabat sebagai Sekretaris Umum Pengurus Besar Mathla’ul Anwar
menyampaikan oleh-oleh perjalannya dalam satu pengajian. Ini terjadi pada Kamis
malam, 30 September 1965. Pada saat itu, juga diserahkan sebuah bingkisan
berupa mesin huruf Arab, hadiah perwakilan Mathla’ul Anwar di Mekkah.
Sedang paket lain berupa kitab-kitab untuk perpustakaan dikirim terpisah.
Peristiwa
G 30 S PKI dan Sikap Mathla’ul Anwar
Setelah mendengar pengumuman “Dewan Revolusi” melalui siaran
radio, mengambil kesimpulan bahwa peristiwa itu adalah merupakan kup (cou)
PKI. Dan karen itu mereka mengambil keputusan untuk malam itu tidak
berada di rumah masing-masing, tetapi mengungsi ke Dukuh Atas, di rumah
keluarga Ustadz H.M. Sholeh Su’aedy. Mereka menghawatirkan
kemungkinan-kemungkinan pihak PKI yang memberontak itu akan melakukan
pembunuhan tokoh-tokoh atau pemimpin-pemimpin Islam, musuh bebuyutannya,
sebagaimana pernah terjadi pada Kup PKI 18 September 1948 yang dikenal dengan
sebutan Peristiwa Pemberontakan PKI Madiun. Pada saat itu banyak kyai dan
ulama yang dibantai.
Tanggal 2 Oktober 1965 Pengurus Besar Mathla’ul Anwar
membuat pernyataan mengutuk PKI yang mengadakan Kup dan membantai tujuh orang
Jendral. Pernyataan ini pada pagi harinya, 3 Oktober 1965 di muat di
beberapa surat kabar, seperti “Berita Yudha” dan “Merdeka”. Pernyataan
Mathla’ul Anwar merupakan pernyataan pertama dari organisasi Islam.
Pembentukan
Sekber Golkar
Sebelum genap sebulan peristiwa G.30.S PKI, Sekber Golkar
mengadakan musyawarah besar (Mubes) yang kesatu di Cipayung-Bogor. Dan
bersamaan dengan itu pula di Jakarta para utusan organisasi-organisasi Islam
berkumpul untuk membentuk satu wadah kerjasa antara oramas Islam non
politik. Untuk menghadiri Mubes Sekber Golakr diutus Komari Saleh HG,
Moh. Rifa’i, M. Nahid Abdurrahman, Mumung Muslim untuk mewakili Mathla’ul Anwar
dan PPMA (Persatuan Pemuda Mathla’ul Anwar). Sedang untuk menghadiri
pertemuan organisasi-organisasi Islam diwakili sendiri oleh Ketua Umum KH. Uwes
Abubakar, Taftazani. Pertemuan ini kemudian menghasilkan satu wadah yang diberi
nama Koordinator Amal Muslim yang diketuai oleh Letnan Jendral Soedirman.
Sedang para anggotanya terdiri dari Mathla’ul Anwar, Muhammadiyah, PUI, Persis,
Al Jamiatul Washliyah, Al Irsyad, Hmi, PII, Ghasindo, Buruh Merdeka dan Al
Ittihadiyah.
Mubes Sekber Golkar di Cipayung sempat mengadakan pemilihan
pengurus baru dengan Brigjen TMI Djuhartono terpilih menjadi Ketua
Umumnya. Namun tidak lama kemudian terjadi pergantian dan pergeseran dan
Letnan Jendral Sukwati men duduki Ketua Umum dan sementara beberapa orang
pengurus lainnya dicabut dari jabatan kepengurusan.
Dalam serah terima jabatan dari Brigjen Djuhartono kepada Letjen Sukwati, juga
diadakan dialog untuk meminta tanggapan dan pendapat organisasi-organisasi
anggota Sekber Golkar tentang susunan kabinet pengganti \kabinet seratus
Menteri yang baru saja dibentuk. Pada pertemuan itu dari Mathla’ul Anwar hadir
dua orang, yaitu, KH. Uwes Abubakar selaku Ketua Umum. Khusus mengenai
penilaian terhadap susunan kabinet yang baru, Mathla’ul Anwar mendapat giliran
yang pertama untuk menyampaikan sikap dan pendapatnya. Dalam hal ini Mathla’ul
Anwar menyambut baik dan mengucapkan selamat datang kepada Ketua Umum Sekber
Golkar yang baru Letjen Sukawati dan menyampaikan selamat jalan disertai ucapan
terima kasih kepada Ketua Lama Brigjen Djuhartono yang akan memangku jabatan
lain untuk negara. Mengenai susunan kabinet baru Mathla’ul Anwar,
meskipun tidak puas, namun dapat menerima dan memberi kesempatan kabinet baru
tersebut untuk bekerja sesuai program yang telah ditetapkan.
Ternyata sikap dan tanggapan Mathla’ul Anwar didukung dan
diikuti oleh semua pembicara yang lain.
Pembentukan
‘Amal Muslimin
Dalam forum koordinator Amal Muslimin, Mathla’ul Anwar
bersama HSBI (Himpunan Seni Budaya Islam) yang wakti iu dipimpin oleh Yunan Helmi
Nasution dan Aisyah Amini, SH dan Al-Jamiatul Washliyah selalu aktif dan hampir
tidak pernah absen. Satu gagasan yang pernah dilontarkan oleh Mathla’ul
Anwar yang mendapat perhatian dan diterima oleh salah satu sidangnya, ialah
agar Koordinator Amal Muslimin menyusun konsep-konsep ekonomi, sosial, keuangan
dan berbagai macam hal yang diperlukan untuk kemakmuran dan kesejahtraan umat
sesuai ajaran Islam. Konsep-konsep ini kelak agar disodorkan dan
diusahakan untuk dilaksanakan oleh pemerintah bersama umat.
Pada awal tahun 1966, H. Adam Malik
yang waktu itu sebgai Menteri Luar Negeri RI, menaruh perhatian dan tertarik
terhadap Mathla’ul Anwar. Karena itu beliau bersedia diangkat sebagai
pelindung organisasi ini. Karena itu, sewaktu Mathla’ul Anwar melaksanakan
muktamarnya ke IX dan sekaligus memperingati ulang tahunnya yang ke setengah
abad (50 tahun), beliau diangkat sebagai pelindung.
Tahun 1966 situasi kota Jakarta
sebgai ibu kota RI terasa sangat tidak menentu. Pergeseran antara Orde
Lama dan Orde Baru, munculnya gerakan angkatan umum yang terdiri dari para
mahasiswa dan pelajar serta berbagai kelompok profisional lainnya.
Sebelumnya, para mahasiswa dan pelajar dan berbagai kelompok masyarakat telah
membentuk berbagai kesatuan aksi seperti Kasatuan Aksi Mahasiswa Indonesia
(KAMI), Kesatuan Akmsi Pemuda dan Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi
Sarjana, Buruh, wanita dll. Dalam wadah KASI, KABI, KAWI, dan lain-lain.
Saudara Irsyad Djuwaeli dari PGA Mathla’ul Anwar Jakarta, bertindak sebagai
Ketua Ikatan Pelajar Mathla’ul Anwar (IPMA), sibuk pula bersama-sama
kesatuan-kesatuan pelajar yang lain membentuk Kesatuan Aksi Pemud Pelajar
Indonesia (KAPPI), dan menggelar demontrasi mengutuk G 30 S PKI, kemudian
menuntut pembubaran PKI dan menuntut pembubaran Kabinet 100 Menteri dan
lain-lain. Dari jasa-jasanya itu saudara Irsyad Djuwaeli di kukuhkan
kembali dalam Muktamar ke XI di Menes sebagai Ketua Ikatan Pelajar Mathla’ul
Anwar, dan masuk dalam susunan Pengurus Besar Mathla’ul Anwar.
Muktamar
XI
Sesuai rencana, pada bulan September 1966, Muktamar XI dan
peringatan HUT Mathla’ul Anwar ke 50 dilangsungkan di Menes. Dengan demikian
Mathla’ul Anwar merupakan organisasi kemasyarakatan yang pertama kali
mengadakan muktamar pada masa Orde Baru. Organisasi lain belum pernah
mengadakan. Namun karena situasi ekonomi ditambah kondisi komunikasi
waktu itu, maka jumlah daerah yang hadir sebagai peserta muktamar tidak
mencapai quorum sebagai mana diatur dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah
Tangga Mathla’ul Anwar. Karena itu, akhirnya disepakati dan diputuskan
sebagai Muktamar Luar Biasa.
Pada peringatan ulang tahunnya yang ke 50 (setengah abad),
selain dihadiri dua orang menteri yaitu Adam Malik (Menteri Lur Negeri) dan BM
Diah (Menteri Penerangan), juga dihadiri beberapa orang wakil kedutaan
negara-negara sahabat. Ribuan pelajar, pemuda dan warga Mathla’ul Anwar
yang berdatangan dari beberapa daerah di Jawa Barat dan Sumatra Selatan berbaris
pawai melintas dihadapan para tanu kehormatan dan berjalan keliling melingkari
kota Menes. Bendera merah putih dan lambang Mathla’ul Anwar yang sangat
banyak jumlahnya menambah semarak dan gegap gempitanya suasana waktu itu.
Sedang puncak acara berupa rapat umum beretempat di alun-alun Menes yang
dihadiri puluhan ribu umat warga Mathla’ul Anwar dan para simpatisannya.
Muktamar Mathla’ul Anwar XI itu antara lain telah
menghasilkan kompisisi dan susunan pengurus baru Pengurus Besar periode
1966-1969, dimana KH. Uwes Abubakar untuk ketujuh kalinya terpilih menjadi
Ketua Umum.
Selengkapnya, susunan Pengurus Besar
Mathla’ul Anwar periode 1966 – 1969 :
Pelindung
: Adam Malik (Menteri Luar Negeri RI)
Ketua
Umum
: K.H. E. Uwes Abubakar
Wakil
Ketua
: K.H. M. Muslim
Wakil
Ketua
: K.H. Abdurrahman Nuh
Wakil
Ketua
: K.H. Uyeh Baluqia
Sekretaris
Umum : M. Nahid Abdurrahman
Sekretaris
I
: Komari Saleh HG.
Sekretaris
II
: E. Khabri
Bendahara
: Moh. Amin Taftazani
Wakil
Berdahara : Zaenudin
Ramadi
Majelis
Fatwa
: K.H.M. Shaleh Su’aedy
Majelis
Pendidikan : K.H. Abdurrozk
K. Djaelani Ilyas
Hubungan
LN
: Prof. Dr.
Abubakar Aceh
Hubungan
DN
: Said Sungkar
Perburuhan
: Zaenal Abidinsyah
Pertanian
: Abdul Syukur
Pen./Da’wah
: K.H.E. Sutisna
Muslimat
: Murni Hidayat
Ratu Halimah
Ibu Suhada
Ayu Farichah Amin
Pelajar
: M. Irsyad Djuwaeli
Pemuda
Putri
: Ayu Etti Sughada
Organisasi
: Qomaruddin
Sosial
: Damanhuri
Keputusan-keputusan Muktamar Mathla’ul
Anwar XI, selain memilih, menyusun komposisi dan personalianya, antara lain:
a. Menerima baik dengan
suara bulat kebijaksanaan Ketua Umum selama 10 tahun dari 1956 samapai dengan
1966 di antaranya pembentukan perwakilan-perwakilan Khusus Mathla’ul Anwar yang
merupakan penggabungan-penggabungan yayasan/organisasi pendidikan lokal, yakni:
Al-Iman di Magelang, Ikhsaniyah di Tegal, Brebes dan Pemalang; Nahdatul Wathaon
di Kediri Nusa Tenggara Barat; Yayasan Pendidikan Banten (YPB) di Serang; YPII
(Yayasan Pendidikan Islam Indonesia) di Jawa Timur yang tersebar di sepuluh
kabupaten; dan Nurul Islam di Tawaeli, Donggala, Sulawesi Tengah.
b. Masuknya Mathla’ul
Anwar sebagai anggota Koordonator Amal Muslimin.
c. Masuknya Mathla’ul
Anwar sebagai anggota Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar).
d. Mengesahkan berdirinya Ikatan Pelajar
Mathla’ul Anwar (IPMA) dan Pemuda Putri Mathla’ul Anwar.
e. Mengesahkan
kepengurusan PP Pemuda Mathla’ul Anwar
f. Menerima baik
hasil-hasil Panitia Penyusunan Rencana Pelajar Terurai untuk madrasah Ibtidaiyah,
Tsanawiyah dan Aliyah.
Pengangkatan
Massal Guru Agama
Pada tahun 1967, Departemen Agama mengadakan ujian guru
agama yang kemudian untuk diangkat sebagai pegawai negeri dengan status Guru
Agama. Maka ratusan abituren Mathla’ul Anwar dimobilisir untuk mengikuti
ujian guru agama tersebut. Dalam hal ini, pengurusnya dikoordinir oleh M.
Nahid Abdurrahman, Moh. Rifa’I, KH. M. Muslim, Moh. Idjen dan pemuda Mathla’ul
Anwar lainnya. Para guru itu kemudian ada yang diangkat di Kabupaten Pandeglang,
Lebak, Bandung, Tangerang, Serang, Bogor, Karawang dan ex Keresidenan
Lampung. Banyak diantara mereka itu yang sekarang menyandang sebagai
pensiunan, dan tidak sedikit pula yang meningkatkan kedudukannya sebagai
pemilik dan bahkan menjadi kepala Kantor Pendidikan Agama.
Berdirinya Partai Muslim Indonesia (Permusi) dengan melalui
wadah Koordinator Amal Muslimin, Mathla’ul Anwar ikut berkiprah mendorong dan
mendukungnya. Parmusi merupakan wadah untuk menampung massa Islam yang
tergabung dalam ormas-ormas Islam dan belum memiliki wadah penyalur aspirasi
politiknya, seperti: Muhammadiyah, Persis, PUI, Al-Jamiatul Washliyah,
Mathla’ul Anwar dan lain sebagainya, khususnya yang tergabung dalam Koordinator
Amal Muslimin. Sejak terbentuknya Partai Muslimin Indonesia yang didukung
oleh ormas-ormas Islam non politik pada tahun 1970, maka Mathla’ul Anwar dan
demikian juga ormas-ormas Islam lain anggota Koordinator Amal Muslimin menjadi
hilang keanggotaannya dalam Sekber Golkar. Dengan berdirinya Parmusi, Ketua
Umum mengumumkan ke daerah-daerah agar Pengurus Daerah Mathla’ul Anwar
masing-masing daerah ikut berperan serta dalam membentuk Parmusi tingkat
Kabupaten maupun Propinsi.
Namun pengumuman itu ditolak oleh Jawa Tengah. Dimana Komari
Saleh HG. Waktu itu menjabat sebagai koordinator Mathla’ul Anwar Jawa Tengah,
yang juga sebagai sekretaris Pengurus Besar. Ia kemudian menemui Ketua
Umum untuk menjelaskan alasan penolakannya. Bahwa kebijakan Ketua Umum
itu menyalahi Anggaran Dasar yang menyatakan bahwa Mathla’ul Anwar adalah
independent. Hal ini dinyatakan sesuai Statemen Muktamarnya yang VIII
tahun 1952 di Ciampea Bogor, Muktamar IX tahun 1953 di Bandung, ke-10 tahun
1956 di Menes dan ke-11 tahun 1966 di Menes pula.
Ketua Umum, akhirnya menyadari akan kekhilafan tersebut dan kemudian
meralatnya. Namun beberapa daerah yang sudah terlanjur aktif dan terpilih
sebagai Pengurus Parmusi di tempatnya terpaksa tidak dapat begitu saja menarik
diri, lebih-lebih karena sudah mendesaknya waktu Pemilihan Umum pertama pada
zaman Orde Baru.
Karena meninggalnya Ketua Umum, KH. Uwes Abubakar, pada tahun 1973, bertempat
di kota Bandung, diselenggarakan Konferensi Luar Biasa yang selain dihadiri
oleh selurung anggota Pengurus Besar dan Majelis Fatwa. Juga dihadiri
utusan-utusan dari daerah tingkat II Pandeglang, Tangerang, Bogor,
Kerawang, Bandung, Serang, Lebak dan Purwakarta. Konfrensi itu telah
berhasil merevisi susunan Pengurus, Khususnya pengurus besar harian menjadi
sebagai berikut :
Ketua
Umum
: K.H.M. Muslim
Wakil
Ketua I
: Nafsirin Hadi, SH
Wakil
Ketua II :
KH. Abdurrahman Nuh (tetap)
Wakil
Ketua III : K. Uyeh
Baluqia (tetap)
Sekretaris
Umum : M. Nahid Abdurrahman
Sekretaris
I
: Moh. Rifa’i, menggantikan Komari Saleh HG yang mengundurkan
Diri dengan alasan berdomisili di Salatiga.
Di samping itu, konferensi telah menyusun atau program jangka
pendek, terutama untuk secepatnya menyelenggarakan Muktamar Mathla’ul Anwar
XII. Konfrensi ditutup dengan rapat umum bertempat di gedung Merdeka
Bandung, sedang pagi harinya diadakan pula perpisahan silaturrahmi bertempat
dikediaman Nafsirin Hadi pada tahun 1974 Ketua Umum hasil konferensi Bandung,
KH.M. Muslim meninggal dunia dan sebagai pejabat sementara ditetapkan Nafsirin
Hadi, SH samapai terpilihnya Ketua Umum baru pada Muktamar XII.
Muktamar
XII
Menjelang diadakan Muktamar XII, Pengurus Besar Mathla’ul
Anwar mengintruksikan ke daerah-daerah untuk menyelenggarakan loka karya yang
semuanya akan dihadiri utusan dari Pengurus Besar. Untuk daerah Jawa
Tengah diadakan di Salatiga, daerah Lampung dan Tanjung Karang di Telukbetung.
Begitu juga diadakan di Bogor, Kerawang, Bandung dan Pandeglang. Loka
karya itu diadakan di samping untuk kosultasi, dimaksudkan pula sebagai
pesiapan agar suksesnya Muktamar XII berikutnya.
Muktamar XII diadakan di Asrama PHI Cempaka Putih, Jakarta pada tahun
1975. Pemilihan pengurus dalam muktamar tersebut mengalami ketegangan
yang cukup panas. Walau demikian, akhirnya disepakati suatu susunan
sebagai berikut:
Ketua
Umum
: Nafsirin Hadi, SH
Ketua
I
: Ajengan Sya’roni
Ketua
II
: KH. E. A. Burhani
Ketua
III
: Drs. Yahya Nasution
Ketua
IV
: K.H. Cholid
Kelengkapan susunan Pengurus Besar dipercayakan kepada para
Ketua terpilih yang akan mengadakan sidang beberapa waktu setelah Muktamar
selesai. Dan Myktamar XII selesai tanpa mengadakan resepsi
penutupan. Disamping itu, Muktamar juga menghilangkan badan-badan otonom
dan bagian-bagian sebagaimana susunan Pengurushasil Muktamar XI. Yang ada
tinggal Majelis Fatwa.
Sidang para ketua terpilih yang diadakan di Bandung berhasil menetapkan Drs. M.
Irsyad Djuwaeli sebagai Sekretaris Umum, Moh. Rifa’i Sekretaris I, Moh. Idjen
Sekretaris II, dan E. Lukman Hakim Sekretaris III. Bendahara ditetapkan BM Diah
yang waktu itu menyatakan dirinya sebagai pembantu penyandang dana untuk
kegiatan Sekretariat. Damanhuri, M. Nahid Abdurrahman dan Hasan Muslihat
ditetapkan sebagai pembantu.
Belum sempat Pengurus Besar Mathla’ul Anwar
hasil Muktamar XII mengadakan aktivitas yang berarti, timbullah suatu
ketegangan antara KetuaUmum dan sekreatris Umum. Akibatnya, Ketua Umum
menskor Sekretaris Umum. Keadaan ini mengakibatkan tidak berjalannya
organisasi. Sementara itu, Ketua Umum mengangkat Damanhuri untuk menjabat
Sekretaris Umum, namun tidak lama antaranya Damanhuri meninggal dunia.
Kepengurusan hasil keputusan Muktamar Cempaka
Putih ini belum sempat mengadakan kegiatan yang berarti wadah sekretariat PBMA
pun tidak pernah tetap yang ada hanya penggantian Sekjen sampai 3 kali setelah
Drs. Irsyad Djuwaeli yaitu Damanhuri, Komari Saleh dan Abdulwahid.
Keadaan organisasi tidak jalan sama sekali oleh karena itu
melihat keadaan demikian timbul pemikiran dari beberapa kader Mathla’ul Anwar
untuk menghidupkan organisasi oleh karena itu kader-kader Mathla’ul Anwar yang
terdiri dari :
KH.
A. Syadli
M.
Nahid Abdurrahman
Drs.
M. Irsyad Djuwaeli
H.
Mubin Arshudin
H.
Chowasi Mandala
H.
Aim
Mereka mengadakan gerakan-gerakan untuk menghidupkan
Mathla’ul Anwar antara lain mendesak ketua Umum H. Nafsirin Hadi, SH untuk
Pengurus Besar dengan mengajukan nama-nama yang baru duduk dalam susunan
Pengurus Besar Mathla’ul Anwar namun tidak mendapat tanggapan dari kita semua.
Untuk mengisi lowongan Sekretaris maka ditunjuk Sdr. H. Nur
Sanusi dari Lampung, yang tidak lama meninggal dalam perjalanan dari Menes
menuju Jakarta diganti oleh saudara Abdulwahid Sahari. Kepungurusan hasil
Muktamar Cempaka Putih tersebut keadaannya tidak stabil malah keadaan
organisasi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Sekretariat Pengurus
Besar tidak jelas di mana adanya, muktamar pun tidak bisa dilaksanakan
pada waktunya.
Pada awal tahun 1985 timbul gagasan dari kader-kader
Mathla’ul Anwar untuk turut menyumbangkan tenaga dan pikirannya agar Mathla’ul
Anwar bisa berjalan, beberapa kali mengajukan usul kepada Ketua Umum pada
waktu H. Nafsirin Hadi, namun gagasan-gagasan itu ditolaknya. Maka
tampillah beberapa orang untuk mendesak Ketua umum agar segera mengadakan
Multamar tapi tidak bisa dilaksanakan.
Dan untuk melaksanakan muktamar ke-13 dibentuklah Panitia
yang terdiri dari kader-kader Mathla’ul Anwar antara lain Ketua H. Moh. Amin,
M. Nahid Abdurrahman dan muktamar diadakan di Menes pada 12 Juli 1985.
Namun pada Muktamar kelak M. Irsyad Djuwaeli menuntut haknya untuk membela diri
atas skorsing atas dirinya yang dianggap tidak benar itu, setelah adanya
pengangkatan.
Muktamar Mathla’ul Anwar XIII yang diselenggarakan di Menes pada tahun 1985
telah melahirkan komposisi kepengurusan, antara lain:
Ketua
Dewan Pembina : H. Alamsyah Ratu Perwiranegara
Ketua
Majlis Fatwa : K.H.A.
Uyeh Baluqia Syakir
Ketua
Umum PB
: K.H.E.A. Burhani
Sek.
Jenderal
: Drs. M. Irsyad Djuwaeli
Bendaha
Umum
: Ny. Hj. Farihah Uwes
(Data
lengkap terlampir)
Muktamar Mathla’ul Anwar XIV, merupakan tonggak sejarah
bangkitnya kembali Mathla’ul Anwar, tepat pada masa semaraknya pembangunan
nasional bangsa Indonesia. Dari Muktamar ini lahir keputusan-keputusan
organisasi yang sangat berani dalam kondisi iklim Mathla’ul Anwar pada waktu
itu. Diantara keputusan tersebut adalah menerima Pancasila sebagai
satu-satunya azas organisasi yang dicantumkan dalam Anggaran Dasar, yang
kemudian menjadi suatu keharusan bagi setiap organisasi kemasyarakatan di
Indonesia. Setahun kemudian menyusul pula kesepakatan yang menjadi
kebijakan organisasi yaitu menyalurkan aspirasi politik anggota Mathla’ul Anwar
dalam pemilihan umum untuk kemenangan Golongan Karya.
Keputusan bersejarah tersebut mempunyai dampak yang sangat luas dalam berbagai
kegiatan organisasi di segala bidang di kemudian hari. Berbagai terobosan
dilakukan untuk mengembangkan Mathla’ul Anwar pada masa kejayaannya yang pernah
dirasakan pada waktu-waktu sebelumnya.
Wilayah-wilayah dan daerah-daerah kepengurusan Mathla’ul
Anwar semakin meluas menyebar di tanah air Indonesia. Lembaga-lembaga
pendidikan yang sebelumnya menurunkan papan nama dan aktivitasnya dapat bangkit
kembali mesli secara perlahan-lahan. Anggota dan simpatisan organisasi
yang sebelum tercerai beraimulai terhimpun kembali, jatingan komunikasi organisasi
antara wilayah dan daerah dengan pusat menjadi lebih lancar.
Lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi penunjang mulai bangkit dengan
melakukan berbagai aktivitasnya, seperti bangkitnya kembali organisasi pemuda
melalui Generasi Muda Mathla’ul Anwar. Begitu juga dengan organisasi
Muslimat dan kegiatan Majelis Fatwa yang semakin aktif, hubungan dengan
pemerintah semakin harmonis yang berdampak pada diperolehnya banyak kemudahan
dari pemerintah dalam melakukan kegiatan organisasi. Peningkatan kegiatan
di atas, tercermin dalam penyelenggaraan muktamar XIV yang diselenggarakan di
Jakarta pada tahun 1991. Dimana jumlah pengurus wilayah yang sebelumnya
tinggal 3 wilayah yang dianggap aktif sudah meningkat menjadi 14 wilayah yang
aktif, telah banyak wakil-wakil perguruan pendidikan yang mengikuti
Muktamar. Generasi Muda Mathla’ul Anwar dan Muslimat Mathla’ul Anwar
dipercaya menjadi orfganisasi badan otonom.
Mengembangkan
Da’wah Bilhal
Muktamat Mathla’ul Anwar XIV tahun 1991 yang diselenggaran
di Jakarta melahirkan komposisi kepengurusan antara lain:
Ketua
Dewan Pembina
: H. Alamsyah Ratu Perwiranegara
Ketua
Umum
: Drs. H.M. Irsyad Djuwaeli
Sekretaris
Jenderal
: M. Nahid Abdurrahman
Bendahara
: Zaenal Abidinsyah
Ketua
Majlis
Fatwa
: KH. E.A. Burhani
(Data
lengkap terlampir)
Muktamar XIV merupakan Muktamar Mathla’ul Anwar pertama yang
dibuka oleh pimpinan negara, yang dalam hal ini dibuka oleh wakil Presiden
Sudarmono, SH. Sejak itu banyak pengamat menanggapi bahwa Mathla’ul Anwar
yang biasanya melakukan kegiatannya di daerah-daerah (pedesaan) mulai berkiprah
kuat di kota dengan istilah”ayam kampung masuk kota”.
Mulai saat itu kegiatan organisasi meningkat
terus baik secara kuantitatif maupun kualitatif di bawah kepemimpinan Drs. H.M.
Irsyad Djuwaeli. Wilayah dan daerah Mathla’ul Anwar terus berkembang dari 14
propinsi hingga mencapai 24 propinsi. Pembinaan dalam bidang pendidikan terus
ditingkatkan. Banyak gedung sekolah (perguruan tinggi) baru dibangun dan
lebih banyak lagi merehabilitasi bngunan-bangunan madrasah yang sudah
ada. Kegiatan-kegiatan pembinaan pendidikan mulai aktif dilakukan,
kunjungan-kunjungan organisasi bagi pengurus wilayah maupun daerah secara aktif
pula dilakukan Pengurus Besar Mathla’ul Anwar.
Program-program terobosan banyak yang berhasil dilakukan. Diantaranya
program pengumpulan dana wakaf/hibah firdaus yang dikenal dengan “Dana
Firdaus”, bekerjasama dengan BRI. Kegiatan ini mendapat respon positif
dari berbagai pihak, termasuk Presiden RI. Begitu pula program
perngentasan kemiskinan dalam rangka meningkatkan kualitas sosial ekonomi
pemuda desa untuk mandiri melalui program orang tua angkat. Pada periode
ini juga, dengan wakaf dan hibah dari beberapa dermawan dapat dibangun komplek
Universitas Mathla’ul Anwar di Cikaliung, Pandeglang, Banten, yang di dalamnya
juga didirikan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Mathla’ul Anwar (STIEMA) dan Madrasah
Aliyah Keagamaan Mathla’ul Anwar (MAKMA) di atas tanah 7 Ha dan dilengkapi
dengan asrama dan Pondok Pesantren, yang diresmikan oleh Wakil Presiden RI pada
tahun 1993. Badan Autonom dan lembaga penunjang ialah: Muslimat Mathla’ul Anwar
(MUSMA); Generasi Muda Mathla’ul Anwar (GEMMA).
Adapun
lembaga penunjang ialah:
1. LKBH MA (lembaga
Konsultasi dan Bantuan Hukum Mathla’ul Anwar)
2. Lembaga Pengembangan
Koperasi
3. Lembaga Bimbingan
Haji dan Umroh
Untuk melaksanakan amanat Muktamar XIV, maka Muktamat XV
dilaksanakan di Jakarta bertempat di Asrama Haji Pondok Gede dan dibuka oleh
Wakil Presiden RI H. Tri Sutrisno. Salah satu keberhasilan HM. Irsjad Djuwaeli
dalam membangun jaringan Mathla’ul Anwar ke berbagai daerah di hampir seluruh
propinsi di Indonesia, serta mendirikan Universitas Mathla’ul Anwar, maka pada
muktamar XV menetapkan kembali HM. Irsjad Djuwaeli sebagai Ketua Umum PB
Mathlaul Anwar dan Sekretaris Jenderalnya adalah Drs. HM. Syatibi Mukhtar. Pada
masa ini Mathla’ul Anwar telah kehilangan putra terbaiknya, yaitu meninggalnya
Ketua Dewan pembina Mathla’ul Anwar H. Alamsyah Ratu Perwiranegara yang selama
itu sangat berjasa dalam membesarkan organisasi ini. Sepeninggalan beliau, PB.
Mathla’ul Anwar mengangkat HR. Hartono selaku Ketua Dewan Pembina Mathla’ul
Anwar.
Muktamar
XVI
Dalam siatuasi krisis ekonomi nasional yang berkepanjangan, serta peralihan
kepemimpinan nasional yang ditandai dengan gemuruhnya semangat demokratisasi
dan partisipasi rakyat, Mathla’ul Anwar melaksanakan Muktamar XVI pada 26-30
Oktober 2001 di Bojolali, Jawa Tengah. Isu sentral yang diangkat dalam
pokok-pokok pikiran muktamar antara lain adalah mendukung pemerintah dalam
memberantas KKN, penegakan supremasi hokum, demokratisasi dan pengembangan
partisipasi masyarakat dalam pembangunan.
Dalam era reformasi ini Mathla’ul Anwar menegaskan kembali perjuangannya dalam
bidang pendidikan, dakwah dan sosial sebagai sebuah gerakan ke arah peningkatan
mutu dan kualitas kehidupan bangsa. Dalam hal ini Mathla’ul Anwar mendesak
pemerintah untuk mengubah UU Pendidikan nasioanl agar tidak diskriminatif dalam
pembiayaan pendidikan antara sekolah-sekolah swasta dan negeri, mendesak
pemerintah untuk mengubah kurikulum pendidikan yang memungkinkan madrasaf agar
tetap berfungsi sebagai lembaga pendidikan nasional, serta menambah jam
pelajaran materi pendidikan agama di sekolah-sekolah umum menjadi 6 jam
pelajaran di tingkat SD dan 4 pelajaran di tingkat SLTP dan SLTA. Juga
Mathla’ul Anwar memperjuangkan otonomi pendidikan.
Muktamar Bojolali ini menghasilkan komposisi pengurus, antara lain sbb:
Ketua
Penasihat : HR. Hartono
Ketua
Umum PB : HM. Irsjad Djuwaeli
Sekretaris
Jenderal : H. Usep Fathuddin, MPs.
Ketua
Majlis Fatwa : KH. Wahid Sahari, MA
(Data
lengkap terlampir)
Muktamar
XVII
Muktamar
XVII di Pondok Gede Jakarta 2005, bersamaan dengan peringatan Hari Ulang Tahun
Mathla’ul Anwar ke 89, dibuka resmi oleh Wakil Presiden RI. Drs. H. Muhamad
Jusuf Kalla, dan ditutup oleh Ketua DPR RI H. R. Agung Laksono dengan
diperkaya masukan dari beberapa nara sumber yaitu : Menteri Perindustrian, Menteri Agama, Menteri Pendidikan Nasional dan Menteri
Sosial.
Masukian-masukan dari para nara sumber
itu sangat membantu Muktamar dalam pembahasan-pembahasan yang mengacu pada
Muktamar yaitu:” Revitalisasi Mathla’ul Anwar melalui tiga amal:
Konsolidasi organisasi, Pendidikan dan Da’wah, serta ekonomi dan sosial.
Muktamar kali selain menghasilkan
AD/ART, juga menetapkan formatur sebagai berikut:
Ketua
: Drs.H.M. IRSJAD DJUWAELI
(Ketua Umum terpilih)
Anggota
: 1. Drs. H. A. SYIHABUDIN, MM
( Pengurus Besar Demisioner)
2. Ir. H. SURYADI
SAF
(Pengurus Wilayah DKI Jakarta)
3.MOCH. FIRASAT MOKODOMPIT, SE
( Pengurus Wilayah Prop. Sulawesi Utara)
4. K. M. FUAD ABDURRAHMAN
(Pengurus Wilayah MA Prop. Lampung)
Susunan
Kepengurusan selengkapnya terlampir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar