PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA DAN KAITANNYA DENGAN PENEGAKAN SUPREMASI HUKUM
Pendahuluan
Penyimpangan implementasi pancasila pada masa orde lama dan orde baru, berujung menimbulkan gerakan reformasi di Indonesia, sehingga terjadilah suatu perubahan yang cukup besar dalam berbagai bidang terutama bidang kenegaraan, hukum maupun politik. Konsekuensinya mengharuskan kita mengkaji ulang atas pemahaman ilmiah tentang pancasila sebagai ideologi dan sebagai paradigma kenegaraan.Atas dasar pemahaman yang demikian itu, maka ada dua wacana ilmiah yang patut dikemukakan, yaitu :
Pertama, Apa yang dimaksud dengan pancasila sebagai ideologi terbuka?
Kedua, Apa yang dimaskud dengan pancasila sebagai paradigma kenegaraan?
Dan terhadap jawaban kedua pertanyaan di atas dapat dipertanyakan lebih lanjut bagaimana analisis yuridis kenegaraan didalam UUD 1945 ? kemudian apa kaitannya dengan supremasi hukum yang merupakan gerakan mendasar reformasi saat ini ?
Untuk menjawab secara ilmiah kedua wacana tersebut dapat dipahami dua pengertian pokok, pengertian ideologi dan pengertian reformasi.
1. Pengertian tentang ideologi
Istilah “Ideologi” berasal dari kata “ideo” (cita-cita) dan “logy” (pengetahuan, ilmu faham).
Menurut W. White definisi Ideologi ialah sebagai berikut :
“The sum of political ideas of doctrines of distinguishable class of group of people” (ideologi ialah soal cita-cita politik atau dotrin (ajaran) dari suatu lapisan masyarakatatau sekelompok manusia yang dapat dibeda-bedakan).
Sedangkan menurut pendapat Harold H Titus definisi ideologi ialah sebagai berikut : “A term used for any group of ideas concerning various politicaland economic issues and social philosophies often appliedto a systematic schema of ideas held by group classes” (suatu istilah yang dipergunakan untuk sekelompok cita-cita mengenai berbagai macam masalah politik dan ekonomi serta filsafat sosial yang sering dilaksanakan bagi suatu rencana yang sistematik tentang cita-cita yang dijalanakan oleh sekelompok atau lapisan masyarakat). (Drs Ismaun, pancasila sebagai dasar filsafat atau ideologi negara republik Indonesia dalam Heri Anwari Ais, Bunga Rampai filsafat pancasila, 1985 : 37)
.
“The term “isme” something used for these system of thought” (istilah isme/aliran kadang-kadang dipakai untuk system pemikiran ini.
Dalam pengertian ideologi negara itu termasuk dalam golongan ilmu pengetahuan sosial, dan tepatnya pada digolongkan kedalam ilmu politik (political sciences) sebagai anak cabangnya. Untuk memahami tentang ideologi ini, maka kita menjamin disiplin ilmu politik.
Didalam ilmu politik, pengertian ideologi dikenal dua pengertian, yaitu :
Pertama, pengertian secara fungsional dan
Kedua, pengertian secara structural
Ideologi dalam pengertian secara fungsional adalah ideologi diartikan seperangkat gagasan tentang kebaikan bersama atau tentang masyarakat dan negara yang dianggap paling baik. Sedangkan pengertian ideologi secara structural adalah ideologi diartikan sebagai system pembenaran, seperti gagasan dan formula politik atas setiap kebijakan dan tindakan yang diambil oleh penguasa.
Lebih lanjut ideologi dalam arti fungsional secara tipologi dapat dibagi dua tipe, yaitu ideologi yang bertipe doktriner dan ideologi yang bertipe pragmatis.
Suatu ideologi digolongkan doktriner apabila ajaran-ajaran yang terkandung dalam ideologi itu dirumuskan secara sistematis dan terinci dengan jelas, diindotrinasikan kepada warga masyarakat, dan pelaksanaanya diawasi secara ketat oleh aparat partai atau aparat pemerintah, komunisme merupakan salah satu contohnya.
Suatu ideology digolongkan pada tipe pragmatis, ketika ajaran – ajaran yag terkandung dalam ideology tersebut tidak dirumuskan secara sistematis dan terinci, melainkan dirumuskan secara umum (prinsup-prinsipnya saja). Dalam hal ini, ideology itu tidak diindoktrinasikan, tetapi disosisalisasikan secara fungsional melalui kehidupan keluarga, sistem pendidikan, sistem ekonomi, kehidupan agama dan sistem politik. Individualisme (liberalisme) merupakan salah satu contoh ideology pragmatis.
Untuk memahami lebih dalam lagi contoh-contoh ideology, maka berikut ini kita mencoba mengenal pijakan pemahaman terhadap empat ideology yang kita kenal dalam wacana politik, yaitu :
Pertama, liberalisme
Kedua, konservatisme
Ketiga, sosialisme dan komunisme
Keempat, fasisme
2. Ideologi-ideologi Dunia
2.1 Liberalisme
Liberalisme tumbuh dari konstek masyarakat Eropa pada abad pertengahan feudal, dimana sistem sosial ekonomi dikuasai oleh kaum aristrokasi feodal dan menindas hak-hak individu. Liberalisme tidak diciptakan oleh golongan pedagang dan industri, melainkan diciptakan oleh golongan intelektual yang digerakan oleh keresahan ilmiah (rasa ingin tahu da keinginan untuk mencari pengetahuan yang baru) dan artistic umum pada zaman itu.
Ciri-ciri ideology libertalisme sebagai berikut :
Pertama, demokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang lebih baik,
Kedua, anggota masyarakat memiliki kebebasan intelektual penuh, termasuk kebebasan berbicara
Ketiga, pemerintah hanya mengatur kehidupan masyarakat secara terbatas. Keputusan yang dibuat hanya sedikit untuk rakyat sehingga rakyat dapat belajar membuat keputusan untuk diri sendiri.
Keempat, kekuasaan dari seseorang terhadap orang lain merupakan hal yang buruk. Oleh karena itu pemerintahan dijalankan sedemikian rupa sehingga penyalahgunaan kekuasaan dapat dicegah.
Kelima, suatu masyarakat dikatakan berbahagia apabila setiap individu atau sebagian terbesar individu berbahagia, kalau masyarakat secara keseluruhan berbahagia, kebahagiaan sebagian besar individu belum tentu maksimal.
2.2 Konservatisme
Ketika liberalisme menggoncang struktur masyarakat feudal yang mapan, golongan feudal berusaha mencari ideology tandingan untuk menghadapi kekuasaan persuasive liberalisme. Dari sinilah muncul ideology konservatisme sebagai reaksi atas paham liberalisme.
Paham konservatisme itu ditanda dengan gejala-gejala sebagai berikut :
Pertama, masyarakat yang terbaik adalah masyarakat yang tertata. Masyarakat harus memiliki struktur (tata) yang stabil sehingga setiap orang mengetahui bagaimana ia harus berhubungan dengan orang lain.seseorang akan lebih memperoleh kebahagiaansebagai anggota suatu keluarga anggota gereja daan anggota masyarakat daripada yang dapat diperoleh secara individual.
Kedua, untuk menciptakan masyarakat yang tertata dan stabil diperlukan suatu pemerintah yang memiliki kekuasaan yang mengikat tetapi bertanggung jawab. Paam konservatif berpandangan pengatura yang tepat atas kekuasaan akan menjamin perlakuan yang samaterhadap setiap orang.
Ketiga, paham ini menekankan tanggung jawab pada pihak penguasa dalam masyarakat untuk membantu pihak yang lemah. Posisi ini bertentangan dengan pahamliberal yang berpandangan pihak yang lemah harus bertanggung jawab atas urusan dan hidupnya. Sisi konservatif inilah yang menimbulkan untuk pertama kali negara keseahteraan (welfare state) dengan program-program jaminan sosial bagi yang berpenghasilan rendah.
Ciri lain yang membedakan antara liberalisme dan konservatisme adalah menyangkut hubungan ekonomi dengan negara lain. Paham konservatif tidak menghendaki pengaturan ekonomi (proteksi), melainkan menganut paham ekonomi internasional yang bebas (persaingan bebas), sedangkan paham liberal cenderung mendukung pengaturan ekonomi internasional sepanjang hal itu membantu buruh, konsumen dan golongan menengah domestik.
2.3 Sosialisme dan komunisme
Sosialisme merupakan reaksi terhadap revolusi industri dan akibat-akibatnya. Awal sosialisme yang muncul pada bagian pertama abad ke-19 dikenal sosialis utopia. Sosialisme ini lebih didasarkan pada pandangan kemanusiaan (humanitarian), dan meyakini kesempurnaan watak manusia. Penganut paham ini berharap dapat menciptakan masyarakat sosialis yang dicita-citakan dengan kejernihan dan kejelasan argumen, bukan dengan cara-cara kekerasan dan revolusi. Sedang paham komunisme berkeyakinan perubahan system kapitalis harus dicapai dengan revolusi, dan pemerintahan oleh dictator proletariat sangat diperlukan pada masa transisi. Dalam masa transisi dengan bantuan negara dibawah dictator proletariat, seluruh hak milik pribadi dihapuskan dan diambil untuk selanjutnya berada pada kontrol negara.
Perbedaan sosialisme dan komunisme terletak pada sarana yang digunakan untuk mengubah kapitalisme menjadi sosialisme. Paham sosialis berkeyakinan perubahan dapat dan seyogyanya dilakukan dengan cara-cara damai dan demokratis.
2.4 Fasisme
Fasisme merupakan tipe nasionalisme yang romantis dengan segala kemegahan upacara dan symbol-simbol yang mendukungnya untuk mencapai kebesaran negara.
Hal itu akan dapat dicapai apabila terdapat seorang pemimpin kharismatis sebagai symbol kebesaran negara yang didukung oleh massa rakyat.. dukungan massa yang fanatik ini tercipta berkat indoktrinasi, slogan-slogan dan symbol-simbol yang ditanamkan sang pemimpin besar dan aparatnya. Fasisme ini pernah diterapkan di Jerman (Hitler), Jepang, Italia (Mossolini), dan Spanyol.
Dewasa ini pemikiran fasisme cenderung muncul sebagai kekuatan reaksioner (right wing) dinegara-negara maju, seperti skin ilead dan kluk-kluk klan di Amerika Serikat yang berusaha mencapai dan mempertahankan supremasi kulit putih.
3. Pengertian tentang reformasi
Makna serta pengertian reformasi dewasa ini banyak disalah artikan sehingga gerakan masyarakat yang melakukan perubahan yang mengatasnamakan gerakan reformasi juga tidak sesuai dengan gerakan reformasi itu sendiri. Hal ini terbukti dengan maraknya gerakan masyarakat dengan mengatasnamakan gerakan reformasi, melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan makna reformasi itu sendiri, misalnya dengan pemaksaan kehendak dengan menduduki kantor suatu instansi atau lembaga baik negeri atau swasta, dan tindakan lain yang justru tidak mencerminkan sebagai reformis.
Makna “reformasi” secara etimologis berasal dari kata “reformation” dengan akar kata “reform” yang secara semantic bermakna “make or become better by removing or putting right what is bad or wrong” (oxford advanced leaner’s dictionary of current English, 1980, dalam Wibisono 1998 : 1).
Secara harfiah reformasi memiliki makna : suatu gerakan untuk memformat ulang, menata ulang atau menata kembali hal-hal yang menyimpang untuk dikembalikan pada format atau bentuk semula sesuai dengan nilai-nilai ideal yang dicita-citakan rakyat(Riswanda, 1998).
Oleh karena itu suatu gerakan reformasi memiliki kondisi syarat-syarat sebagai berikut :
Pertama, suatu gerakan reformasi dilakukan karena adanya suatu penyimpangan-penyimpangan. Masa pemerintahan ORBA banyak terjadi suatu penyimpangan – penyimpangan, misalnya asas kekeluargaan menjadi “nepotisme” kolusi dan korupsi yang tidak sesuai dengan makna dan semangat pembukaan UUD 1945 serta batang tubuh UUD 1945.
Kedua, suatu gerakan reformasi dilakukan harus dengan suatu cita-cita yang jelas (landasan ideologis) tertentu, dalam hal ini pancasila sebagai ideology bangsa dan negara Indonesia. Jadi reformasi pada prinsipnya suatu gerakan untuk mengembalikan pada dasar nilai-nilai sebagaimana dicita-citakan oleh bangsa Indonesia. Tanpa landasan visi dan misi ideology yang jelas maka gerakan reformasi akan mengarah anarkisme, disintegrasi bangsa dan akhirnya jatuh pada kehancuran bangsa dan negara Indonesia, sebagaimana yang telah terjadi di Uni Soviet dan Yugoslavia.
Ketiga, suatu gerakan reformasi dilakukan dengan berdasar pada suatu acuan reformasi. Reformasi pada prinsipnya gerakan untuk mengadakan suatu perubahan untuk mengembalikan pada suatu tatanan structural yang ada, karena adanya suatu penyimpangan. Maka reformasi akan mengembalikan pada dasar serta sistem negara demokrasi, bahwa kedaulatan adalah ditangan rakyat sebagaimana terkandung dalam pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Reformasi harus mengembalikan dan melakukan perubahan ke arah sistem negara hukum dalam arti yang sebenarnya sebagaimana terkandung dalam penjelasan UUD 1945, yaitu harus adanya perlindungan hak-hak asasi manusia, peradilan yang bebas dari pengaruh penguasa, serta legalitas dalam arti hukum. Oleh karena itu reformasi itu sendiri harus berdasarkan pada kerangka hukum yang jelas. Selain itu reformasi harus diarahkan pada suatu perubahan ke arah transparasi dalam setiap kebijaksanaan dalam penyelenggaraan negara karena hal ini sebagai manesfestasi bahwa rakyatlah sebagai asal mula kekuasaan negara dan rakyatlah segaa aspek kegiatan negara. Atau dengan prinsip, bahwa “Tiada Reformasi dan Demokrasi tanpa supremasi hukum dan tiada supremasi hukum tanpa reformasi dan demokrasi”.
Keempat, Reformasi diakukan ke arah suatu perubahan kearah kondisi serta keadaan yang lebih baik dalam segala aspeknya antara lain bidang politik, ekonomi, sosial budaya, serta kehidupan keagamaan. Dengan lain perkataan reformasi harus dilakukan ke arah peningkatan harkat dan martabat rakyat Indonesia sebagai manusia democrat, egaliter dan manusiawi.
Kelima, Reformasi dilakukan dengan suatu dasar moral dan etik sebagai manusia yang berketuhanan yang maha esa, serta terjaminnya persatuan dan kesatuan bangsa.
Atas dasar lima syarat-syarat di atas, maka gerakan reformasi harus tetap diletakkan dalam kerangka perspektif pancasila sebagai landasan cita-cita dan ideology, sebab tanpa adanya suatu dasar nilai yang jelas, maka reformasi akan mengarah kepada disintegrasi, anarkisme,brutalisme, dengan dmikian hakekat reformasi itu adalah keberanian moral untuk membenahi yang masih terbengkalai, meluruskan yang bengkok, mengadakan koreksi dan penyegaran secara terus-menerus, secara gradual, beradab dan santun dalam koridor konstitusional dan atas pijakan/tatanan yang berdasarkan pada moral religius.
4. Pancasila sebagai ideologi terbuka
pancasila sebgaai filsafat bangsa / negara dihubungkan dengan fungsinya sebagai dasar negara, yang merupakan lndasan ideal bangsa Indonesia dan negara republik Indonesia dapat disebut pula sebagai ideologi nasional atau disebut juga sebagai ideologi negara. Artinya pancasila merupakan ideologi yang dianut oleh negara (penyelenggaraan negara dan rakyat) Indonesia secara keseluruhan, bukan milik atau monopoli seseorang atau sekelompok orang, disamping masih adanya beberapa ideologi yang dianut oleh masyarakat Indonesia yang lain, sepanjang tidak bertentangan dengan ideologi negara, sebab Pancasila merupakan kristalisasi nilai-nilai kebenaran yang telah dipilih oleh para pendiri negara ini, yang mana lima dasar atau lima silanya merupakan satu rangkaian kesatuan yang tidak terpisahkan walaupun terbedakan sebagai dasar dan ideologi pemersatu.
Sebagai suatu rumusan dasar filsafat negara atau dalam kedudukan sebagai ideologi negara yang dikandung oleh pembukaan UUD 1945 ialah pancasila. Rumusan pancasila itu dapat pula disebut sebagai rumusan dasar cita negara (staatidee) dan sekaligus dasar dari cita hokum (rechtidee) negara republik Indonesia.
Sebagai cita negara, ia dirumuskan berdasarkan cita yang hidup di dalam masyarakat (volksgeemenshapidee) yang telah ada sebelum negara itu didirikan.
Memang sebelum negara republik Indonesia berdiri, masyarakatnya telah ada sejak berabad-abad silam. Terbentuknya suatu masyarakat pada umumnya terjadi secara alamiah. Masyarakat itu kemudian mengembangkan citanya sendiri, yang berisi cita-cita, harapan-harapan, keinginan-keinginan, norma-norma dan bentuk-bentuk ideal masyarakat yang dicita-citakannya. Cita negara dirumuskan berdasarkan cita yang hidup dalam masyarakat tadi sebagai hasil refleksi filosofis.
Pertanyaan yang mendasar dan ilmiah adalah Apakah pancasila itu sebagai Ideologi ? dan jika sebagai ideologi apakah sebagai ideologi tertutup atau ideologi terbuka dan dimana letak terbukanya ?
Secara wacana akademik istilah ideologi pada walnya digunakan oleh seorang filsuf Prancis, ANTOINE DESTUTT DE TRACY, yang diartikannya “ilmu pengetahuan mengenai gagasan-gagasan (science of ideas). Istilah ini mula-mula mengandung konotasi politik karena penggunaanya berhubungan dengan epistmologi ilmu pengetahuan.
Dalam sejarahnya istilah ideologi baru berhubungan dengan kehidupan politik setelah Napoleon Bonaparte dari Prancis menamakan semua orang yang menentang gagasan-gagasan “patriotic” yang dikemukakannya sebagai kaum “ideologis”. Bagi Napoleon, ideologi adalah pemikiran-pemikiran khayali kaum idealis yang menghalang-halangi pencapaian tujuan-tujuan revolusioner.
Istilah ini semakin popular pada abad pertengahan ke 19 setelah KARL MARX menerbitkan buku German Ideology. Menurut ideologi hanyalah kesadaran yang palsu, ideologi adalah kesadaran sebuah kelas sosial dan ekonomi dalam masyarakat demi mempertahankan kepentingan-kepentingan mereka.
Dan sejarah mencatat, berbagai akibat yang ditimbulkan oleh ideologi KARL MARX, sejak kemenangan revolusi kaum Bolsjevik di Rusia pada tahun 1926 sampai masa keruntuhan kemunisme pada tahun-tahun belakangan ini.
Kajian komprehensif dari segi sosiologi pengetahuan mengenai ideologi dipelopori oleh KARL MANNHEIM. Tokoh ini menerima dasar pemikiran Karl Max bahwa ideologi adalah “kesadaran kelas”. Mann Heim membuat dua kategori ideologi, yaitu :
Pertama, Ideologi yang bersifat particular
Kedua, Ideologi yang bersifat menyeluruh
Pada kategori pertama dimaksudkannya sebagai keyakinan-keyakinan yang tersusun secara sistimatis dan terkait erat dengan kepentingan suatu kelas sosial dalam masyarakat.
Sedangkan pada kategori kedua diartikannya sebagai suatu system pemikiran yang menyeluruh mengenai semua aspek kehidupan sosial. Ideologi dalam kategori kedua ini bercita-cita melakukan transformasi sosial secara besar-besaran menuju bentuk tertentu. Jadi Mann Heim menganggap ideologi pada kategori kedua ini tetap berada dalam batas-batas yang realistic dan berbeda dengan “utopia” yang hanya berisi gagasan-gagasan besar yang hampir tidak mungkin dapat diwujudkan.
Pertanyaannya adalah apakah pancasila adalah ideologi dalam kategori pertama atau pada ideologi pada kategori kedua ?
Bagi bangsa Indonesia ideologi tentu bukan kesadaran sebuah kelas sebagaimana dipahami KARL MARX. Cara pandang kenegaraan bangsa Indonesia menolak penggunaan analisis kelas karena negara diciptakan untuk semua. Negara mengatasi paham golongan dan paham perseorangan, demikian ditegaskan dalam penjelasan umum UUD 1945, jadi ideologi negara dimaksudkan untuk mengatasi kemungkinan adanya paham golongan-golongan di dalam masyarakat karena keberadaan golongan-golongan itupun diakui oleh ketentuan pasal 2 UUD 1945. penjelasan atas pasal ini menerangkan bahwa yang dimaksud dengan golongan-golongan ialah badan-badan seperti koperasi, serikat sekerja, dan badan-badan kolektif lain.
Dengan demikian dari dua kategori ideologi yang dikemukakan oleh Mann Heim di atas, ideologi pancasila dapat digolongkan sebagai ideologi menyeluruh. Memang lima sila didalam pancasila itu mengandung cirri universal sehingga mungkin saja ia ditemukan dalam gagasan berbagai masyarakat dan bangsa di dunia. Letak kekhasan dan orsinilitasnya sebagai dasar filsafat dan ideologi negara republik Indonesia ialah, kelima sila itu digabungkan dalam kesatuan yang integrative, bulat dan utuh.
Dan sebagai ideologi bersifat menyeluruh, karena pancasila yang dirumuskan dalam pembukaan UUD 1945 pada alinea keempat itu, ditafsirkan secara otentik oleh konstitusi / UUD 1945 dalam pokok-pokok pikiran pembukaan UUD 1945, oleh karena pancasila sebagai ideologi juga didalamnya sekaligus sebagai cita hukum, artinya pancasila membimbing arah pembentukan hukum dalam masyarakat. Sebagai norma-norma mendasar (staatfundamentalnorm) rumusan pancasila bukan rumusan hukum yang bersifat operasional yang pelaksanaanya dikenakan sanksi. Untuk membuat operasiaonal, negara membentuk berbagai peringkat peraturan perundang-undangan.
Penyelenggara negara dalam mengoperasionalkan ideologi pancasila, maka harus mengacu kepada penafsiran otentik dari pancasila, dan telah menjadi kesepakatan para ahli hukum Indonesia, bahwa pokok-pokok pikiran dalam penjelasan umum pembukaan UUD 1945 adalah tafsir otentik dari pancasila yang dirumuskan atas dasar kesepakatan pendiri negara dan itulah yang kemudian kita sebut PARADIGMA PANCASILA.
Kemudian dimana letak terbukanya sebagai ideologi, hal ini dapat ditelusuri dari pernyataan dalam penjelasan umum, bahwa kita harus ingat dengan dinamika negara dan jangan terlalu cepat membuat kristalisasi terhadap pikiran-pikiran yang mudah berubah.
Contoh yang paling jelas adalah tentang konsep negara hukum yang dianut oleh negara republik Indonesia didalam kontitusinya didasari dengan satu paradigma yaitu dengan suatu prinsip “semangat para penyelenggara negara itu baik, maka baiklah segalanya”. Bagaimana pijakan berpikirnya, penjelasan UUD 1945 menegaskan bahwa negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa bermakna bahwa para penyelenggara negara berkewajiban “memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur”. Kepatuhan terhadap norma-norma moral berbeda dengan kepatuhan terhadap norma-norma hukum, karena sangat bergantung pada keinsafan batin setiap individu dan adanya kontrol yang kuat dari masyarakat. Inilah yang dimaksud dengan istilah “semangat para penyelenggara negara”.
Keberadaan lembaga kontrol yang terdiri dari masyarakat, para cendikiawan, ulama, tokoh-tokoh masyarakat, dan kalangan pers menjadi sangat penting untuk “mengawasi”, perilaku para lagislator dalam merumuskan norma-norma hukum, maupun prilaku para penyelenggara negara.
Oleh karena itu di era reformasi ini, pancasila sebenarnya dapat dijadikan paradigma reformasi, apabila keberadaaan civil society yang kuat dan berprilaku democrat, egaliter dan manusiawi. Civil society adalah elemen kunci dalam menentukan terwujudnya masyarakat demokratis yang efektif. Civil society mungkin ada tanpa demokrasi, tetapi demokrasi tidak bias ada tanpa civil society yang kuat.
Salah satu parameter civil society yang kuat adalah adanya gerakan masyarakat terhadap tegaknya supremasi hukum didalam negara dmokrasi yang sekaligus negara hukum.
Pertanyaanya adalah dapatkah pancasila sebagai paradigma reformasi hukum ? Jawaban atas pertanyaan ini adalah tergantung pemahaman penyelenggara negara dan pemerintah terhadap konsep negara hukum menurut paradigma UUD 1945.
5. Supremasi Hukum dalam konsep negara hukum “pancasila”
Berbicara tentang supremasi hukum, kita harus berbicara tentang masyarakat dimana hukum itu berlaku baik yang disebut masyarakat nasional maupun internasional. Supremasi hukum didalam masyarakat nasional kita karena didalamnya ada aturan yang disebut hukum. Secara sederhana kita dapat mendefinisikan hukum sebagai aturan tentang tingkah laku manusia dimasyarakat tertentu. Aturan yang disebut hukum tadi akan terkait dengan tindakan manusia atau tingkah laku manusia didalam suatu masyarakat nasional yang mempunyai berbagai macam aspek atau bidang, didalamnya ada bidang politik, bidang ekonomi, bidang sosial, bidang budaya, pendidikan dan juga keamanan. Didalam berbagai bidang itulah manusia melakukan tingkah laku dan manusia satu dengan yang lain melakukan interaksi dan interaksi itu berjalan secara tertib, maka dibutuhkan aturan yang disebut hukum. Oleh karena itu ketika kita akan berbicara tentang supremasi hukum maka timbul beberapa pertanyaan yang perlu mendapat jawaban secara jelas yaitu apa dimaksud dengan supremasi hukum, untuk apa supremasi hukum itu ditegakkan dan bagaimana caranya supremasi hukum itu bisa diwujudkan. Tetapi kita pertanyaan tadi dialam kehidupan masyarakat nasional pada akhirnya bermuara kepada apa yang disebut terwujudnya negara hukum.
Ketika kita berbicara tentang negara hukum yang disebut supremasi hukum itu tentu saja tidak akan lepas dari konsepsi dasar yang dipakai sebagai landasan untuk menciptakan sebuah negara nasional yang pada tataran kenegaraan dan hukum tertinggi disebut konstitusi atau Undang-undang dasar. Ini merupakan dasar yang bersifat universal yang berlaku pada tiap-tiap negara. Oleh karena itu ketika kita harus berbicara secara kongkrit tentang supremasi hukum di Indonesia pada umumnya dan khususnya Kalimantan Barat pada khususnya, kita tidak bisa lain kecuali kembali harus melihat kembali kepada konstitusi atau UUD 1945 sebagai hukum dasar tertulis yang berlaku seluruh republik Indonesia.
Jika berbicara dalam tataran koridor konstitusional, maka persoalan supremasi hukum yang hanya mungkin terwujud didalam sebuah masyarakat nasional yang disebut negara hukum konstitusional, yaitu suatu negara dimana setiap tindakan dari penyelenggara negara : pemerintah dan segenap alat perlengkapan negara di pusat dan didaerah terhadap rakyatnya harus berdasarkan atas hukum-hukum yang berlaku yang ditentukan oleh rakyat / wakilnya didalam badan perwakilan rakyat. Dan dalam wacana politik modern, maka dalam paktek negara demokrasi dengan sendirinya negara hukum. Sesuai prinsip kedaulatan rakyat yang ada, didalam negara demokrasi hukum dibuat untuk melindungi hak-hak azasi manusia warga negara, melindungi mereka dari tindakan diluar ketentuan hukum dan untuk mewujudkan tertib sosial dan kepastian hukum serta keadilan sehingga proses politik berjalan secara damai sesuai koridor hukum/konstitusional.
UUD 1945 sebenarnya telah mempunyai ukuran-ukuran dasar yang bisa dipakai untuk mewujudkan negara hukum dimana supremasi hukum akan diwujudkan. Kalau kita pelajari UUD 1945 dengan seksama ada sebuah kalimat dalam kaitan dengan apa disebut negara hukum yang secara jelas disebutkan bahwa “Indonesia adalah negara berdasar atas negara hukum, tidak berdasar atas kekuasaan belaka” ini sebenarnya Grundnorm yang telah diberikan oleh Fonding father yang membangun negara ini. Bagaimana kita akan menyusun negara hukum, bagaimana negara hukum itu akan diarahkan, dalam arti untuk apa kita wujudkan negara hukum ini, sekaligus dituntut untuk menegakkan hukum sebagai salah satu piranti yang bisa dipergunakan secara tepat didalam mewujudkan keinginan atau cita-cita bangsa. Formula UUD 1945 tersebut mengandung pengertian dasar bahwa didalam negara yang dibangun oleh rakyat Indonesia ini sebenarnya diakui adanya dua faktor yang terkait dalam mwujudkan negara hukum, yaitu satu factor hukum dan yang kedua factor kekuasaan. Artinya hukum tidak bisa ditegakkan inkonkreto dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat tanpa adanya kekuasaan dan dimanesfestasikan pada adanya apa yang UUD disebut. Kata penyelenggara negara di bidang Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif. Sebaliknya pembentukan kekuasaan dan penggunaan kekuasaan sama sekali tidak boleh meninggalkan factor hukum tersebut oleh karena hukum yang berupa Grundnorm dalam UUD 1945 ini memberikan dasar terhadap terbentuknya kekuasaan yaitu kedaulatan rakyat. Artinya rakyat yang berdaulat bukan negara yang berdaulat dan hukum juga memberikan dasar terhadap penggunaan kekuasaan tersebut hingga penggunaan kekuasaan yang ada pada negara tidak boleh diterapkan semena-mena tanpa ada dasar hukumnya yang jelas. Dengan demikian maka kekuasaan yang ada pada negara pada saat diterapkan harus menghormati kewenangan-kewenangan yang sifat terbatas diberikan kepada aparat negara. Begitu juga hukumlah yang menentukan arah kemana kekuasaan negara itu dipergunakan dan menentukan tujuan-tujuan apa yang hendak dicapai dengan menggunakan kekuasaan tersebut. Yang idak boleh dilupakan adalah bahwa hukum tidak hanya memberi dasar, tidak hanya memberi arah, tidak hanya menentukan tujuan, tetapi hukum juga menentukan cara atau prosedur bagaimana kekuasaan itu diterapkan didalam praktek penyelenggaraan negara.
Dengan demikian dua factor hukum dan kekuasaan, tidak bisa dilepaskan satu sama lain, bagaikan lokomotif dan relnya serta gerbong yang ditarik lokomotif. Artinya hukum tidak bisa ditegakkan bahkan lumpuh tanpa adanya dukungan kekuasaan. Ebaliknya kekuasaan sama sekali tidak boleh meninggalkan hukum, oleh karena apabila kekuasaan dibangun dan tanpa mengindahkan hukum, yang terjadi adalah satu negara yang otoriter. Fungsi kekuasaan pada hakekatnya adalah memberikan dinamika terhadap kehidupan hukum dan kenegaraan sesuai norma-norma dasar atau grundnorm yang dituangkan dalam UUD 1945 dan kemudian dielaborasi lebih lanjut secara betul dalam hirarki perundang-undangan yang jelas.
Jika dipahami dengan benar pemahaman dan norma ini sebenarnya secara konsepsional Indonesia memiliki landasan yang kuat untuk mewujudkan negara hukum konstitusional yang demokratis dan dengan dengan demikian secara konsepsiaonal supremasi hukum telah dijamin eksistensinya oleh UUD 1945. Artinya secara implementasi pemecahan-pemecahan segala dibidang politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan dan lain-lain menggunakan legal approach dan apabila mau menggunakan pendekatan kekuasaan itu harus didasarkan atas hukum.
Dan memang setiap transisi dalam demokrasi pasti memiliki masalah khusus. Masalah yang pokok terutama terkait dengan (1) kultur politik dan juga (2) struktur politik. Demokrasi memerlukan adanya kultur dan struktur yang mendukung proses-proses demokratisasi. Dua hal ini biasanya belum terbentuk dengan baik dalam masyarkat transisi, seperti Indonesia saat ini, atau Kal-Bar khusus saat ini. Di Indonesia, pasca orde baru, belum ada kultur demokrasi yang kuat (misalnya tradisi berbeda pendapat, toleransi, dialog terbuka, tradisi melakukan advokasi, prilaku yang menjunjung hukum dan moral religius dalam menghadapi persoalan secara jernih). Struktur politik yang ada saat ini juga belum cukup demokratis, karena diperlukan adanya perubahan structural yang harus diawali dengan perubahan atau amandemen UUD 1945 dan atau produk-produk hukum yang bertipe represif, ke arah otonom, dan bertipe responsive.
Dengan dmkian demokrasi modern selalu hadir dalam wadah negara hukum, sehingga sering disebut sebagai negara hukum konstitusional. Ciri yang mendasar dari demokrasi kontitusional yang demokratis adalah gagasan bahwa pemerintah yang demokratis adalah pemerintah yang terbatas kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warga negaranya. pembatasan-pembatasan atas kekuasan pemerintah tercantum dalam konstitusi, sehingga sering disbut “pemerintah berdasar atas konsttusi” (constitutional goverment), yang juga sama dengan limited government atau restrained government.
Kemudian dimana letak kaitan pancasila sebagai ideology dengan supremasi hukum ?
Supremasi hukum baru dapat ditegakkan apabilapara penyeleggara negara berprilaku democrat, egaliter dan manusiawi yang dijiawai oleh nilai-nilai ideology pancasila, artinya letak persoalan pokoknya belum tegaknya supremasi hukum bukan pada konsepsi negara hukumnya, bukan konsepsi dasar ideology negara pancasila yang tidak bisa memenuhi tantangan jaman, tetapi terletak pada praktek penyelenggara negara disemua bidang yang telah meninggalkan unsur-unsur iotanamkan oleh UUD 1945, yaitu semangat penyelenggara negara. Terutama butir 4 dari pokok-pokok pikiran yang tercantum dalam pembukaanUUD 1945 yang mengandung isi yang mewajibkan kepada pemerintah dan lain-lain penyeleggara negara untuk budi pekerti kemanusiaan yang luhur dengan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur, yang digali berdasarkan nilai-nilai ketuhan yang maha esa (moral religius), nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab (harkat dan martabat manusia dan hakhak azasi manusia), nilai-nilai persatuan dan kesatuan, nilai-nilai kerakyatan dan prisip musyawarah mufakat, prinsip perwakilan, dan nilai-nilai keadilan kebenaran untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Daftar Kepustakaan
1 Drs. Kaelan, MS, Pendidikan Pancasila, 1999
2 DR Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia, Gema Isani Press, 1996
3 Heri Hanwari AIS, Filsafat Pancasila, 1996
4 M. Nur Khoiron dkk, Pendidikan Politik Bagi Warga Negara (Tawaran operasional dan kerangka kerja), LKIS. 1999
5 Umaruddin Masdar dkk, Mengasah Naluri Publik Memahami Nalar Politik, LKIS 1999
6 Turiman, SH Mhum, Menegakan Supremasi Hukum dan Demokrasi di Kalimantan Barat, 2000
7 Asia DHRRA Secretariat, The Impact of Globalization of the Social Cultural Lives of Grassroots People in Asia, Grasindo, 1998
..........................................................................................................................................................
MAKALAH MATHLAUL ANWAR
Sejarah Berdirinya Mathlaul Anwar
Kondisi Umum Masyarakat Banten
Sejak dihancurkannya kesultanan Banten pada tahun 1813 oleh Gubernur Jenderal
Deandeles, praktis Banten dinyatakan daerah jajahan Belanda. Kekuatan Belanda
di Banten memaksa perubahan, dan sejak itu seluruh daeah di Banten mengalami
guncangan. Sebab ketika penetrasi kolonial secara intensif menyentuh kehidupan
sehari-hari rakyat melalui pajak yang berat, pengerahan tenaga buruh yang
berlebihan, dan peraturan yang menindas,
serta tekanan militer yang represif, jelas realitas sosial-politik di
Banten dirasakan sebagai kenyataan yang jauh dari apa yang mereka harapkan.
Kolonialisme
sebagai bentuk penguasaan wilyah memiliki system administrasi yang sistematis
dengan mengatur segala kewenangan organisasi sosial-politik di kawasan kolonial
sesuai dengan keperluan negara jajahan. Sistem itu bertentangan dengan apa yang
diharapkan dalam bentuk harmoni sosial.
Lebih dari
itu kehadiran kolonialisme Belanda bukan hanya menghancurkan tata-niaga
masyarakat pribumi, system ekonomi dan
politik tradisional, tetapi juga menghancurkan system idiologi negara sebagai
pemersatu bangsa, sehingga kesatuan rakyat di negara jajahan bercerai berai,
yang juga mengakibatkan terjadinya koflik dan peperangan antar golongan dalam
kebangkrutan politik tersebut. Demikianlah politik adu domba yang dilancarkan
Belanda menyebabkan terjadinya perselisihan dan sengketa politik antar elite
dan pewaris kesultanan yang tak jarang melahirkan peperangan local.
Perpecahan
politik ini melengkapi kemunduran structural sosial masyarakat Banten.
Kekacauan politik yang juga diikuti oleh kemerosotan ekonomi, sekaligus
disertai dengan marginalisasi masyarakat. Sebagian penduduk kembali ke
daerah-daerah pelosok pedesaan dan di sinilah pendidikan agama Islam
dikembangkan dengan fasilitas yang seadanya dan dengan orientasi yang teramat
anti-kolonialisme.
Ketika tata kehidupan tradisional yang
membentuk harmoni sosial masyarakat mengalami penghancuran, sebagian
mereka membentuk pandangan-pandangan
baru dan tumbuhnya mitologi keagamaan yang kian mengental dalam kehidupan
masyarakat. Demikian ini sebagian besar yang mayoritas petani kembali ke alam
pikiran masa lalunya, semacam restorasi tradisi, dengan mencari tulang punggung
ketenangan dan ketenteraman teologis yang pernah dirasakan sebelumnya.
Idiolegi
keagamaan semacam itu menimbulkan rasa kebencian yang dalam terhadap
kolonialisme. Sehingga sebagian dari elte agama membentuk fron perlawanan
terhadap penjajahan Belanda tanpa henti. Guru agama/kyai tidak hanya mengambil
jarak dengan pemerintah kolonial, tapi juga menjadikan kegiatan-kegiatan
sosial-keagamaan itu dinyatakan sebagai jalan jihad melawan kolonialisme
Belanda. Mereka memilih menjadi buronan yang selalu diawasi dan dikejar-kejar
oleh pemerintah. Karena itu sering terjadi pemberontakan dan perlawanan walau
banyak di antara para tokoh dan pimpinan agama Islam di Banten yang tertangkap
dan kemudian dibuang ke negeri orang.
Juga tak
sedikit para kyai/Guru Agama yang ‘uzlah meninggalkan keramaian kota dan masuk ke
pedalaman. Kelompok ini membuka lembaran baru dengan cara bertani sambil
mengajarkan ilmu agama Islam secara mandiri.
Dengan demikian bahkan mereka tetap mempunyai akar yang kuat dan
mendapat tempat terhormat di kalangan masyarakat.
Pada zaman
ini muncul kembali kepercayaan-kepercayaan tradisional sebagai bentuk
simbolisme harmoni hubungan manusia dengan lingkungan alamnya. Masyarakat
petani yang walaupun sudah memluk agama Islam, jika memulai menuai padi,
terlebih dahulu akan mengadakan upacara “mipit”. Upacara ini adalah membuat sesajian untuk
menyuguh Dewi Sri atau Sri Pohaci yang dipercaya sebagai dewi padi yang
berwenang untuk memberkahi padi. Suatu
jangjawokan (mantera dalam bahasa Sunda) yang sudah menjadi aksioma adalah
“mipit” amit ngala menta”. Artinya,
mengambil apa pun dari suatu tempat, berupa apa saja, harus izin terlebih
dahulu kepada roh halus yang menguasai tempat tersebut. Kalau setelah melakukan sesuatu kemudian
mendapat musibah, seperti sakit kepala atau demam, atau tersandung apa saja,
kemudian akan dihubung-hubungkan dengan perbuatan yang dianggap sembrono
(sembarangan). Yaitu tidak minta izin
kepada yang membahurekso (bahasa Jawa) atau nu ngageugeuh (bahasa
Sunda). Untuk itu kemu-dian masyarakat akan menanya kepada orang yang dianggap
tua dan mengerti tentang yang gaib, yang biasanya berupa seorang dukun. Sang
dukun kemudian akan memberikan petunjuk tentang apa yang harus dilakukan
sebagai langkah penebusanatas kesalahannya.
Pada upacara
walimah (pernikahan/khitanan), sang pengantin pria/wanita sebelum melaksaakan
akad nikah atau pada saat si anak dikhitan, mereka harus terlebih dahulu
mengunjungi leluhurnya untuk memohon do’a restunya, agar tidak terjadi sesuatu
bencana aral melintang yang mungkin mengganggu jalannya upacara tersebut.
Setiap orang
yang melewati tempat yang dianggap angker harus mengucapkan mantera minta izin
kanu ngageugeuh (yang membahurekso), yaitu roh halus yang menmpati tempat itu.
Misalnya saja dengan kalimat “ampun paralun kanu luhung”, “sang karuhun anu
ngageugeuh, danginang anu nga-wisesa, ulah ganggu gunasita, kami incu buyut
ki………..” (biasanya dengan menyebutkan nama leluhurnya). Misalnya ki buyut Ance, ki buyut Sawi, ki
Jaminun dan sebagainya.
Pengalaman-pengalaman
budaya seperti itu merupakan bentuk
sumbolisme atas harapan adanya ketenangan dan ketentraman kehidupan, yang pada
saat itu tak pernah dirasakan karena kuatnya tekanan koloni Belanda. Idiologi
tradisionalisme itu juga merupakan respon atas hancurnya idiologi politik dan
agama yang mereka anut, setalah kedudukan dan struktur sosial terganggu dan
hancur.
Dalam
pada itu tingkat kejahatan merajalela Perampokan, pembunuhan, perkelahian
terjadi hampir setiap saat. Sedangkan usaha penanggulangan oleh pemerintah
Belanda hanya cukup dengan mendirikan rumah-rumah penjara mulai dari kota besar sampai kota
kecil. Rumah tahanan atau penjara di
bangun di kota-kota kewadanaan seperti Menes, Labuan,
Malingping, Balaraja, Mauk dan tempat-tempat lain yang sederajat. Akibatnya, para bekas narapidana semakin
mematangkan diri dalam melakukan aksi kejahatannya, karena selama di dalam
penjara, bukannya semakin baik dan jera, tetapi semakin matang dan kian semakin
menambah kualitasnya.
Walaupun
demikian, sebenarnya, kejahatan-kejahatan itu dilakukan hanya dengan
menggunakan senjata tajam tradisional seperti golok, pisau, dan lain-lain. Hal itu ada kepercayaan atas benda-benda
tajam itu yang dianggapnya mengandung kekuatan gaib.
Kondisi Pendidikan
Di
bawah kekuasaan Belanda rakyat Banten bukan bertambah baik, malah semakin
melarat dan terbelakang. Kondisi ini hampir dialmai oleh seluruh rakyat di
seluruh nusantara. Guna mengatasi permasalahan tersebut pemerintah Belanda
memberlakukan politik etis. Program politik etis yang dijalankan oleh
pemerintah Belanda, di antaranya membuat irigasi buat mendudung pertanian
rakyat dan menyelenggarakan sekolah bagi bumiputra. Ternyata program tersebut
gagal memberikan manfaat bagi penduduk desa.
Hal ini terjadi, karena yang bisa menikmati sekolah itu hanya sebagian
kecil rakyat saja terutama orang-orang yang berada di kota dan siap jadi calon ambtenar (pegawai
Belanda).
Sedangkan di
kalangan rakyat kebanyakan, tidak terjangkau oleh sistem pendidikan ini. Disamping jumlah yang sangat sedikit (hanya
di kota-kota kewadanaan saja yang disediakan sekolah), juga syarat untuk dapat
belajar sangat berat, dan cen-derung sengaja dipersulit, dengan alasan
bermacam-macam.
Tujuan
Belanda menyelenggarakan sekolah, seperti di-katakan di atas, adalah untuk menyiapkan
calon pekerja ambtenar yang jumlahnya tidak perlu banyak. Sebagian besar rakyat bumi putra hanya
dibutuhkan sebagai pekerja kasar yang tidak memerlukan pengetahuan yang tinggi,
yang penting asal bertenaga kuat.
Pendidikan
Islam yang masih ada ialah pondok pesantren yang diselenggarakan oleh para Kyai
secara individual dan tradisional. Pendidikan ini penuh dengan segala
keterbatasannya, baik dalam hal sarana, dana, maupun manajemennya. Ditambah pula dengan kondisi yang tidak aman
dari berbagai pengawasan oleh pemerintah Belanda. Pihak penjajah beranggapan bahwa kharisma
keagamaan yang tersimpan dalam jiwa para Kyai itu masih mengundang semangat
anti kafir/ penjajah, yang bila ada peluang pasti meletuskan api pembe-rontakan
terhadap pemerintah penjajah.
Berdirinya Madrasah Pertama
Keadaan
tersebut menggelisahkan masyarakat dan mematikan semangat umat dan pada
gilirannya akan menghilangkan ajaran Islam yang telah ditanamkan oleh para
pejuang terdahulu. Oleh karenanya
orang-orang yang baru saja pulang menunaikan ibadah haji atau mukim di Mekkah
yang lama menimba agama Islam, sudah tentu merupakan sesuatu yang sangat
menarik perhatian bagi masyarakat Banten.
Di tengah
hiruk pikuknya dan galaunya kemungkaran di dalam masyarakat yang dilanda
kemiskinan, kebodohan dan kejumudan yang diselimuti pula oleh kabut kegelapan
dan kebingungan muncullah seberkas sinar harapan yang diharapkan akan membawa
perubahan di hari kemudian.
Tersebutlah K.H.E.
Moh. Yasin yang baru kembali dari menghadiri rapat yang diselenggarakan di Bogor oleh para ulama
yang mendambakan kahidupan umat yang lebih baik. Gerakan ini dipelopori oleh Haji Samanhudi
dalam rangka mendirikan Syarikat Dagang Islam (SDI) pada tahun 1908 M. Beliau mendatangi rekan-rekan ulama yang ada
disekitar Menes, antara lain Kyai H. Tb. Moh. Sholeh dari kampung Kananga dan beberapa
orang kyai lainnya. Tujuan pertemuan
tersebut adalah untuk bermusyawarah dan bertukar pikiran, yang akhirnya
melahirkan kata sepakat untuk membentuk suatu majelis pengajian yang diasuh
bersama. Pengajian ini juga dijadikan
lembaga muzakarah dan musyawarah dalam me-nanggulangi dan memerangi situasi
gelap itu ialah dengan harapan muncul seberkas sinar, yang kemudian
menjadi nama MATHLA’UL ANWAR (bahasa Arab, yang artinya tempat lahirnya
cahaya).
Militansi K.H.
Entol Moh. Yasin dari Kaduhawuk, Menes ini tak pernah memudar dalam
keinginan untuk memajukan umat melalui pendidikan. Beliau menghendaki kemajuan umat hanya
mungkin melalui pendidikan. Bukankah Nabi Muhammad SAW bersabda : “Barang siapa
yang menginginkan dunia haruslah dengan ilmu, barangsiapa meng-inginkan akhirat
haruslah dengan ilmunya, dan barang siapa yang menginginkan keduanya haruslah
dengan ilmu”. Dan hadits yang lain : “Ilmu itu adalah cahaya”.
Beranjak
dari sini agaknya pertemuan, akhirnya melahirkan sebuah kata sepakat untuk
mendirikan sebuah lembaga pendidikan Islam yang dikelola dan diasuh secara
jama’ah dengan mengkordinasikan berbagai disiplin ilmu, terutama ilmu Islam
yang dianggap merupakan kebutuhan yang mendesak.
Perjuangan
mengangkat dan membangkitkan umat dari lembah kegelapan dan kemiskinan yang
menimbulkan keterbelakangan, tidak
cukup sekedar dengan mengadakan pengajian bagi generasi tua saja. Untuk itu dituntut langkah lebih lanjut lagi,
yaitu lahirnya generasi berikutnya yang justru merupakan sasaran utama yang diharapkan mampu mengubah situasi (min
al zhulumati ila al nur).
Berdirinya Mathla’ul Anwar
Guna
mencari pemecahan masalah tersebut, para kyai mengadakan musyawarah di bawah
pimpinan KH. Entol Mohamad Yasin dan KH. Tb. Mohamad Sholeh serta para ulama
yang ada di sekitar Menes, bertempat di kampung Kananga.
Akhirnya, setelah mendapatkan masukan dari para peserta, musyawarah
mengambil keputusan untuk memanggil pulang seorang pemuda yang sedang belajar
di Makkah al Mukarramah. Ia tengah
menimba ilmu Islam di tempat asal kelahiran agama Islam kepada seorang guru
besar yang juga berasal dari Banten, yaitu Syekh Mohammad Nawawi al Bantani.
Ulama besar
ini diakui oleh seluruh dunia Islam tentang kebesarannya sebagai seorang fakih,
dengan karya-karya tulisnya dalam berbagai cabang ilmu Islam. Siapakah pemuda itu ? Dialah KH. Mas
Abdurrahman bin Mas Jamal, yang lahir pada tahun 1868, di kampung Janaka,
Kecamatan Jiput, Kawedanaan Caringin, Kabupaten Pandeglang, Karesidenan Banten.
KH. Mas
Abdurrahman bin KH. Mas Jamal kembali dari tanah suci sekitar tahun 1910
M. Dengan kehadiran seorang muda yang
penuh semangat untuk berjuang mengadakan pembaharuan semangat Islam, bersama
kyai-kyai sepuh, dapatlah diharapkan untuk membawa umat Islam keluar dari alam
gelap gulita ke jalan hidup yang terang benderang, sesuai ayat al-Qur’an “Yukhriju
hum min al dzulumati ila al nur”.
Pada
tanggal 10 bulan ramadhan 1334 H, bersamaan dengan tanggal 10 Juli 1916 M, para
Kyai mengadakan suatu musyawarah untuk membuka sebuah perguruan Islam dalam
bentuk madrasah yang akan dimulai kegiatan belajar mengajarnya pada tanggal 10
Syawwal 1334 H/9 Agustus 1916 M. Sebagai
Mudir atau direktur adalah KH. Mas Abdurrahman bin KH. Mas Jamal dan Presiden
Bistirnya KH.E. Moh Yasin dari kampung Kaduhawuk, Menes, serta dibantu oleh
sejumlah kyai dan tokoh masyarakat di sekitar Menes.
Selengkapnya para pendiri Mathla’ul Anwar :
·
Kyai Moh.
Tb. Soleh
·
Kyai E.H.
Moh Yasin
·
Kyai Tegal
·
Kyai H. Mas Abdurrahman
·
K.H. Abdul Mu’ti
·
K.H. Soleman Cibinglu
·
K.H. Daud
·
K.H. Rusydi
·
E. Danawi
·
K.H. Mustagfiri
Adapun tujuan
didirikannya Mathla’ul Anwar ini adalah agar ajaran Islam menjadi dasar
kehidupan bagi individu dan masyarakat.
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka disepakati untuk menghumpun
tenaga-tenaga pengajar agama Islam, mendirikan madrasah, memelihara pondok
pesantren dan menyelenggarakan tablig ke berbagai penjuru tanah air yang pada
saat itu masih dikuasai oleh pemerintah jajahan Belanda. Pemerintah kolonial telah membiarkan rakyat
bumi putra hidup dalam kebodohan dan kemiskinan.
Program Pendidikan Mathla’ul
Anwar
Untuk
sementara, kegiatan belajar diselenggarakan di rumah seorang dermawan, di kota Menes. Beliau merelakan tempat tinggalnya digunakan
untuk tempat belajar bagi umat. Tokoh
ini adalah K.H. Mustagfiri.
Selanjutnya,
setelah mendapatkan sebidang tanah yang diwakafkan Ki Demang Entol Djasudin,
yang terletak di tepi jalan raya, dibangunlah sebuah gedung madrasah dengan
cara gotong-royong oleh seluruh masyarakat Islam Menes. Sampai kini gedung tersebut masih berfungsi
sebagai tempat penyelenggaraan Madrasah Ibtidaiyyah, Sekolah Dasar Islam dan Taman Kanak-kanak Mathla’ul Anwar. Gedung tersebut tidak lain ialah pusat
perguruan Islam Mathla’ul Anwar yang terletak di kota Menes, Pandeglang.
Mengenai
program pendidikan diselenggarakan program pendidikan 9 (sembilan) tahun. Yaitu mulai dari kelas A, B, I, II, III, IV,
V, VI dan kelas VII. Belum ada pemisahan
tingkat Ibti-daiyah dan tingkat Tsanawiyah.
Disamping pendidikan dengan sistem klasikal dalam bentuk madrasah,
sebagai langkah modernisasi; juga dibuka lembaga pendidikan dengan sistem
pesantren. Model ini tetap dihidup-suburkan,
bahkan dikore-lasikan dengan sistem sekolah.
Guru-guru yang mengajar di madrasah pada pagi hari, pada sore dan malam
harinya, di rumah masing-masing, tetap menyelenggarakan pengajian dengan sistem
pesantren dan menampung santri yang datang dari berbagai daerah untuk belajar
di madrasah Mathla’ul Anwar.
Santriwan dan
santriwati yang telah menyelesaikan masa pendidikan selama 9 (sembilan) tahun,
yaitu tamat kelas VII, dikirim ke berbagai tempat/daerah untuk menda’wahkan
ajaran Islam dalam bentuk baru, yaitu mendirikan madrasah Mathla’ul Anwar
cabang Menes, dengan diantar oleh Pengurus Mathla’ul Anwar Menes. Mereka diberi bisluit atau Surat Tugas
mengajar dari Presiden of Bestur Mathla’ul Anwar dengan semangat iman dan
keyakinan terhadap janji Allah yang berbunyi : In tanshuru Allah yanshuru
kum. Artinya, jika engkau menolong agama
Allah, pasti Allah akan menolongmu. Maka
tidaklah menghe-rankan jika pada tahun 1920-an sampai dengan tahun 1930-an, di
Lampung, Lebak, \serang (Kepuh), Bogor, Tangerang, Karawang dan tempat-temapat
lain, sudah berdiri madrasah Mathla’ul Anwar cabang Menes, hanya diizinkan
menye-lenggarakan madrasah sampai kelas IV (empat), sedangkan untuk kelas V, VI
dan VII harus belajar di Menes.
Pada tahun
1929 didirikan madrasah putri Mathla’ul Anwar dengan tiga tokoh yang
menjadi pimpinannya yaitu : Nyi. H. Jenab binti Yasin, Nyi Kulsum, dan Nyi
Aisyah. Disamping kegiatan belajar
mengajar di madrasah dan pesantren bagi murid-murid, juga setiap hari Kamis
setiap pekan seluruh guru diwajibkan mengikuti pengajian yang diselenggarakan
di masjid Soreang, Menes. Di situ KH.
Mas Abdurrahman menetap dan sekaligus sebagai pengajian pusat. Tujuannya adalah dalam rangka memperluas dan
memperdalam ilmu Islam. Dengan cara itu,
akhirnya kyai-kyai pimpinan Mathla’ul Anwar dapat berfikir dan berwawasan luas,
tidak mengurung diri dalam satu pendapat seorang ulama saja.
Untuk
membangun dan memelihara madrasah Mathla’ul Anwar, diusahakan dengan cara
gotong-royong, baik tenaga manusianya maupun dananya. Untuk itu dihimpun shadaqoh jariyah, wakaf
dan jimpitan (beras remeh), yang diseleng-garakan oleh jama’ah Majlis Ta’lim
ibu-ibu. Caranya, setiap kali hendak
masak nasi diambil satu sendok makan dari beras yang akan dimasak dan ditampung
dalam tempat tersendiri.
Selanjutnya,
beras dihimpun oleh petugas yang biasanya terdiri dari seorang janda iskin
dengan mendapat imbalan sepuluh persen dari hasil pungutannya. Para janda
miskin ini kemudian menyetor kepada para kader yang mengikuti pengajian pada
setiap hari Kamis yang menyerahkan lagi kepada kordinator pusat Mathla’ul Anwar. Usaha yang tidak terasa namun nyata ini,
akhirnya mampu menghimpun suatu kekuatan yang tidak kecil. Diantara sekian tanda bukti yang tidak bisa
dilipakan ialah adanya beberapa bidang tanah yang dibeli dari hasil pungutan
beras jimpitan (beras remeh) dan hingga kini tempat itu dinamakan “Kebon
remeh”, milik Mathla’ul Anwar. Bukti
ini, tidak boleh dilupakan oleh generasi selanjutnya.
Pada tahun
1940 didirikan Madrasah Arabiah (Sekolah Arab) yang khusus memberi pelajaran
bahasa Arab, untuk itu didatangkan seorang guru dari Salatiga yaitu KH. Humaedi
disamping itu beberapa pemuda dikirim ke Jakarta
(sekolah Jamiatul Khaer) untuk calon-calon guru. Dan untuk mempela-jari ilmu Falak didatangkan
guru dari Pekalongan (KH. Syabrawi dan diadakan kursus ilmu falak bagi
guru-guru Mathla’ul Anwar).
Untuk
mencetak para muballig diadakan kursus muballig yang dinamai cm. Yang diikuti
para santri-santri dan guru-guru serta pemuda-pemuda. Disamping adanya kursus mubalig bagi
murid-murid/pelajar madrasah mulai tingkat rendah sampai tingkat atas, pada
tiap-tiap kenaikan kelas Ichtifalan diadakan pidato anak-anak sekolah untuk
mendidik mereka pandai pidato dan tablig.
Untuk
menampung para pelajar yang datang dari daerah-daerah, didirikan pondok-pondok
pesantren di sekitar Menes, antara lain di Kananga yang paling besar yang
dipimpin oleh KH. Tb. Ahmad, seorang alumni pertamapendidikan di Mathla’ul
Anwar. Para santri yang mondok di Kananga datang dari Bogor,
Tangerang, Lampung dan lain-lain, sampai
ratusan jumlahnya. Kananga
adalah satu kampung di kaki gunung pulosari merupakan tempat cikal bakal
Mathla’ul Anwar, sebab disitulah K. Tb. Moh. Sholeh tinggal dan setibanya KH.
Mas Abdurrahman dari Makkah tinggal di Kananga
dan menikah dengan putri dari KH. Tb. Moh. Sholeh, dan selanjutnya pindah ke
Soreang Menes, dan di Soreang inilah dibangun pesantren. KH. E. Muhamad Yasin adalah seorang ulama
intelek yang berwawasan luas, dan ia seorang putra dari seorang jaksa.
Lahirnya Statuten Mathla’ul
Anwar
Peristiwa
pemberontakan rakyat terhadap pemerintahan Belanda pada tahun 1926 di Menes dan
Labuan, tanpa disadari oleh para tokoh dan pimpinannya, telah membuat Mathla’ul
Anwar bertambah besar dan meluas.
Pemberontakan, yang oleh pihak Belanda disebut sebagai pemberontakan
Komunis, menyebabkan para tokoh dan pimpinan Mathla’ul Anwar selalu dicurigai
dan diawasi oleh aparat pemerintahan, terutama pihak P.I.D (polisi rahasia
kolonial Belanda). Hal ini terjadi
karena diantara pelaku pemberontakan terdapat tokoh dan orang-orang Mathla’ul Anwar. Meskipun mereka tidak dalam kapasitasnya
sebagai tokoh dan warga Mathla’ul Anwar, tetapi dalam kedudukannya sebagai
anggota Serikat Islam (?) Sebagian dari mereka bahkan ada pula yang dibuang ke
Boven Degul, Tanah Merah, Irian antara lain : K. Abdulhadi Bangko, Khusen
Cisaat dan lain-lain.
Dengan adanya
pengawasan dan kecurigaan yang amat ketat di Pandeglang, Khususnya di Menes dan
Labuan, aktivitas para pimpinan Mathla’ul
Anwar di daerah tersebut menjadi berkurang dan terpaksa harus berhati-hati sekali. Para kyai
dan ulama Mathla’ul Anwar kemudian bergerak menyebar-luaskan Mathla’ul Anwar ke
luar daerah, mengirimkan kader-kader dan para abituren (lulusan) madrasah
Mathla’ul Anwar Menes ke daerah-daerah di luar Pandeglang. Diantaranya ke kabupaten Lebak, Serang,
Tangerang, Bogor,
Karawang dan di Keresidenan Lampung.
Pada tahun
1936 jumlah madrasah Mathla’ul Anwar sudah mencapai 40 buah yang tersebar di
tujuh daerah tersebut di atas. Pada
waktu itu perhatian terhadap Mathla’ul Anwar tidak lagi terbatas dari kalangan
kaum pelajar (intelektual) pun mulai ikut berpartisipasi aktif. Karena itu, dan sesuai pula perkembangan
Mathla’ul Anwar, maka timbulah gagasan-gagasan untuk meningkatkan kualitas
perkembangan organisasinya, baik yang bersifat teknis pedagogis, maupun
adsministratif organisasi dan keanggotaannya.
Muktamar Pertama
Seiring
naiknya gelombang dan semangat nasionalisme di hati para kiyai dan pendukung
Mathla’ul Anwar, yang antara lain dimanipestasikan melalui perjuangan
pendidikan dan da’wah, maka Mathla’ul Anwar perlu merespon perkembangan dan
kebutuhan bangsa. Dalam rangka itu, pada tahun 1936 diadakan Kongres
(Muktamar) Mathla’ul Anwar pertama yang bertempat di
Menes. Kongres dihadiri oleh perutusan
dari semua madrasah yang ada dan para tokoh yang terdiri dari para kyai dan
ulama serta kaum terpelajar setempat.
Keputusan-keputusan
penting yang ditetapkan oleh Kongres Mathla’ul Anwar I itu antara lain :
a.
Berdirinya satu Perhimpunan yang bernama “MATH-LA’UL
ANWAR”.
b.
Mengesahkan Anggaran dasar dan Anggaran Rumah Tangga
(statuten) Mathla’ul Anwar yang antara lain memuat :
1)
Nama : Mathla’ul Anwar, disingkat M.A., didirikan pada
tahun 1334 H/1916 M di Menes Banten.
2)
Dasar : Islam sepanjang ajaran Ahli Sunnah wal
Jama’ah
3)
Tujuan : Terwujudnya pendidikan dan ajaran Islam di
kalangan umat dan masyarakat Islam.
4) Usaha : antara lain mendirikan madrasah-madrasah,
pondok pesantren dan tempat-tempat Ibadah.
c. Menetapkan susunan Pengurus Besar (Hoofd
Bestuur) yang antara lain terdiri :
Ketua Umum
(Presiden) : K.H. E. Moh. Yasin,
Wakil Ketua
(Vice Presiden) : K.H. Abdulmukti,
Sekretaris : E.E. Ismail.
d. Struktur organisasi diatur :
1) Untuk tingkat Kabupaten dibentuk
Perwakilan (Kon-sultan) yang dipimpin oleh seorang Konsul,
2)
Untuk tingkat Kecamatan (Onderdistrik) dibentuk
sub Perwakilan (Sub Konsultan) yang dipimpin oleh Sub Konsultan,
3)
Untuk di tiap madrasah dibentuk Pengurus Cabang.
e. Menetapkan
rencana pelajaran atau leerplan (kurikulum). Dan untuk terlaksananya rencana pelajaran
(leerplan) dengan baik sesuai ketentuan, maka diangkat beberapa orang penilik
(opzieneer) dan seorang pengawas (inspekteur) yang berkedudukan di pusat. Jabatan ini diamanatkan kepada K.H.M.
Abdurrahman samapi beliau wafat pada tahun 1943.
Muktamar II
Pada tahun
1937 dilangsungkan Kongres (Muktamar) II, sesuai dengan bunyi Anggaran Dasar yang
menetapkan bahwa kongres diadakan setiap tahun. Dalam kongres II ini tidak banyak hal yang
dikemukakan. Susunan Pengurus Besarpun
tidak mengalami perubahan. Kongres II
semestinya diadakan pada tahun 1938, tetapi karena pada tahun itu Ketua Umum
(Presiden) Pengurus Besar Mathla’ul Anwar K.H.E. Moh. Yasin meninggal dunia,
maka Kongres II ditunda pelaksanaannya hingga tahun berikutnya.
Muktamar III
Muktamar
III Mathla’ul Anwar dilangsungkan pada tahun 1939 dan selama itu kedudukan
Ketua Umum (Presiden) kosong. Jabatan tersebut dipangku Wakil Ketua (Vise
Presiden) yaitu K.H. Abdulmukti sampai terpilihnya Ketua Umum baru.
Pantas
dicatat, bahwa pemilihan Ketua Umum pada Kongres III tahun 1939 cukup serius
dan mengalami ketegangan di kalngan masyarakat.
Dua orang calon Ketua Umum tampil. K.H.E. Djunaedi, putra K.H.E.
Moh Yasin, ketua umum yang baru meninggal dunia, yang juga salah seorang
pendiri bahkan arsiteknya pendirian Mathla’ul Anwar. Lawannya adalah E. Uwes Abubakar yang
dicalonkan oleh K.H. M. Abdurrahman yang
juga sebagai salah seorang pendiri Mathla’ul Anwar. Calon pertama berpendidikan Al-Azhar Mesir,
sedangkan calon kedua merupakan hasil gemblengan K.H.M. Abdurrahman sendiri. Di sini masyarakat Mathla’ul Anwar dihadapkan
dua pilihan yang cukup berat dan untuk ysng pertama kalinya dialami. Karena itu dua kubu pendukung sama-sama
kokoh. Pihak pendukung K.H.E. Djunaedi
cukup beralasan, karena selain berpendidikan tinggi, juga keturunan seorang
tokoh kharismatik yang berpengaruh. Di
lain pihak mendukung E. Uwes Abubakar, yang meskipun masih muda dan belum
mempunyai namadi kalangan masyarakat, tetapi ia seorang kader, sekaligus produk
kharisma tinggi.
Dalam
menghadapi pemilihan ini masyarakat Mathla’ul Anwar benar-benar bagai
menghadapi buah simalakama. Persatuan
dan kesatuan yanhg telah bertahun-tahun dipupuk nyaris pecah. Namun kepemimpinan dan wibawa K.H.M.
Abdurrahman yang berjiwa besar dapat mempertahankan keadaan yang sudah agak
retak waktu itu. Akhirnya, E. Uwes Abubakar yang oleh pihak kubu
saingannya dijuluki “pireu” (bisu), terpilih dengan mendapatkan suara
terbanyak.
Muktamar IV dan V
Muktamar IV
Mathla’ul Anwar berlangsung pada tahun 1940.
Sementara itu Majlis Islam Ala Indonesia (MIAI) berdiri yang merupakan
satu wadah komunikasi antar organisasi-organisasi Islam dimana waktu itu antara
lain : Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, Al Irsyad, Al Jamiatul Wasliyah, Persatuan
Umat Islam yang berpusat di Majalengka, Persatuan Islam yang berpusat di
Bandung, maka Mathla’ul Anwar pun ikut pula menjadi anggotanya. Pada tahun 1941 di langsungkan Kongres
Mathla’ul Anwar V, dimana seperti halnya Kongres IV dan V, K.H. Uwes Abubakar terpilih lagi
menjadi Ketua Umum untuk periode berikutnya.
Zaman Penjajahan Jepang dan
Muktamar VI
Tahun 1942,
dengan meletusnya perang Asia Timur Raya dan masuknya Jepang menjajah Indonesia, Muktamar
VI tidak dapat dilaksanakan pada waktunya.
Baru pada tahun 1943, di bawah kekuasaan Jepang, Mathla’ul Anwar dapat
melangsungkan Kongresnya yang VI.
Pada masa
ini, bangsa Indonesia
dalam keadaan sengsara. Selain dunia
dalam keadaan perang, rakyat hidup miskin di bawah pemerintahan Penjajah
Jepang, yang fasis dan otoriter.
Mathla’ul Anwar merupakan satu-satunya organisasi yang dapat mengadakan
kongres pada zaman itu. Tentunya, hal
ini merupakan suatu perjuangan yang sangat berat, di samping harus ulet dan
berhati-hati sekali. Salah sedikit saja
bisa ber-akibat fatal.
Pantas
menjadi suatu catatan penting bagi umat Islam pada zaman penjajahan Jepang ini,
Bangsa Indonesia, setiap pagi diwajibkan menghormat kepada Tenno Heiko (Kaisar
Jepang) dengan jalan membungkukkan badan (ruku) meng-hadap ke arah di mana
tempat sang Kaisar bersinggasana. Banyak
ulama yang terang-terangan menolak tau menentang terpaksa mengalami penyiksaan
berat. Ada yang dipenjarakan dan tidak sedikit pula
yang mati terbunuh. K.H.M. Abdurrahman
termasuk salah seorang yang juga menolak, tetapi tidak terang-terangan. Karena itu beliau terpaksa selalu meng-urus
diri, kebetulan waktu itu beliau sering sakit-sakitan. Sehingga dapat dijadikan alasan untuk tidak
menampakkan diri kepada pihak pemerintah maupun masyarakat.
Pada zaman
ini pula M.I.A.I (Majlis Islam A’la Indenesia) diubah namanya menjadi Majlis
Syura Muslim Indonesia disingkat Masyumi.
Satu badan yang non politik, Masyumi waktu itu merupakan wadah untuk
menciptakan ukhuwah Islamiyah, mempererat persatuan dan kesatuan sesama Muslim. Hal-hal yang akan mengakibatkan perpecahan
dan perselisihan berat yang antara lain masalah-masalah furu’iyah dan
khilafiyah dihindarkan.
Zaman Revolusi Mempertahankan
Kemerdekaan
Setelah
Indonesia
merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, Masyumi mengubah diri menjadi partai
politik dan menjadi satu-satunya partai Islam.
Dalam hal ini memang dikehendaki oleh pemerintahan Republik Indonesia yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, sebagai salah satu sarana
pelaksanaan kehidupan demokrasi. Karena
itu pula pada waktu itu hampir seluruh ummat Islam menjadi anggota atau
simpatisan partai tersebut.
Pada masa
revolusi kemerdekaan, antara tahun 1945-1950, para pimpinan, yaitu para kyai
dan ulama Mathla’ul Anwar beserta segenap anggota ikut serta berjuang melawan
dan menentang Belanda yang berusaha untuk menjajah kembali negara dan bangsa
Indonesia. Ada yang ikut berpe-rang, memanggul senjata,
sebaai tentara, dan yang menjadi Hizbullah dan anggota-anggota badan kelaskaran
lainnya. Ada pula yang duduk dalam pemerintahan
seperti Asisten Wedana (Camat). K.E. Ismail, Sekretaris Pengurus Besar
Mathla’ul Anwar pertama periode 1936-1939, diangkat menjadi Wedana. KH. A.
Sidiq, menjadi Asisten Wedana Menes dan lain sebagainya. Disamping itu ada pula beberapa putra
Mathla’ul Anwar yang gugur dalam perang kemerdekaan sebagai pahlawan
bangsa. Di antaranya ialah Kyai Abeh
Habri salah seorang putra KH.M. Abdurrahman.
Karena
suasana perang di tanah air , maka selama itu Mathla’ul Anwar tidak dapat
melaksanakan kongres. Para pimpinan
Mathla’ul Anwar yang tinggal di kota
yang diduduki Belanda terpaksa harus mengungsi ke daerah-daerah pedalaman. Namun, dalam situasi demikian, para aktivis
pengurus tetap berusaha mengadakan kontak dan komunikasi satu dengn yang
lainnya.
Pada tahun
1949 pemerintah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, sebagai hasil perjanjian
Konfrensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag. Para pejuang dan demikian pula
pengurus Mathla’ul Anwar mulai masuk kota
kembali, ke kampung halaman masing-masing.
Mulailah saat itu diadakan kembali konsultasi dan pembenahan
organisasi. Madrasah-madrasah Mathla’ul
Anwar mulai dibuka dan diadakan kegiatan belajar mengajar seperti
sediakala. Pada waktu itu negera kita
berbentuk federasi, dengan nama Republik Indonesia Srikat. Negara Srikat ini terdiri dari beberapa
negara bagian yang sebelumnya dibentuk oleh Belanda. Ada negara Pasundan, negara Sumatra Timur,
negara Indonesia Timur, negara jawa Timur, juga termasuk di dalam Republik
Indonesia Proklamasi yang beribukota di Yogyakarta.
Negara-negra
boneka buatan Belanda itu merupakan usaha politik Belanda untuk memecah belah
dan untuk mempo-rakporandakan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Usaha ini ternyata tidak berhasil, dan bentuk
federasi Republik Indonesia Serikat umurnya tidak lebih dari satu tahun. Kalau saja bukan karena rahmat Allah dan
keuletan para pemimpin bangsa Indonesia
usaha Belanda itu nyaris berhasil.
Timbulnya
sukuisme, adanya kooperator dan nonkoope-rator, yaitu orang-orang yang
menyebrang ke Belanda dan orang-orang yang tetap bertahan anti penjajah, pada
waktu itu menimbulkan masalah yang cukup berat yang dihadapi bangsa kita.
Demikian pula
yang dialami Mathla’ul Anwar. Dalam membenahi diri kembali, Mathla’ul Anwar
tidak luput dari situasi yang tidak menguntungkan itu. Namun berkat ketabahan, ke-sabaran dan
keuletan para kyai, ulama dan pengurus Mathla’ul Anwar, maka hal-hal yang tidak
diinginkan lebih parah dapat dicegah.
Namun demikina persatuan dan kesatuan utuh se-perti sediakala tidak
dapat dipertahankan seutuhnya. Walau
dalam jumlah yang tidak berarti, juga ada anggota atau pim-pinan yang
meninggalkan jama’ah Mathla’ul Anwar yang kemudian tumbuh menjadi benih-benih
penyakit dalam tubuh organisasi.
Tahun 1950,
bagi Mathla’ul Anwar, adalah merupakan masa transisi dan peralihan dai generasi
pertama ke generasi kedua dan sekaligus merupakan peralihan dari alam
penjajahan ke alam kemerdekaan.
Muktamar VII
Karena
berkecamuknya peperangan mempertahankan kemerdekaan dari agresi Kolonial
Belanda pada tahun-tahun setelah proklamasi kemerdekaan sampai dipulihkan
kedaulatan RI pada tahun 1949, maka selama itu pula Mathla’ul Anwar tidak dapat
melaksanakan kongres. Tetapi pada tahun
1951 meskipun rakyat umumnya masih dalam keadaan menderita dan miskin, pada
tahun itu juga dilaksanakan Kongres Mathla’ul Anwar VII di Menes. Kesulitan transportasi dan komunikasi, serta
susahnya kebutuhan-kebutuhan pokok kehidupan pada waktu itu, tidak menjadi
penghalang untuk berlangsungnya kongres.
Kesadaran dan kerinduan, disamping kuatnya semangat percaya diri,
kongres VII berjalan lancar dan aman.
Pada tahun itu, kembali K. Uwes Abubakar terpilih sebagai Ketua
Umum untuk periode 1951-1952.
Kongres
Mathla’ul Anwar VIII dilaksanakn di Ciampea Bogor, pada tahun 1952. Keputusan-keputusan penting kongres VIII antara
lain adalah :
a. Terpilihnya kembali K. Uwes Abubakar sebagi Ketua Umum
Pengurus Besar Mathla’ul Anwar periode 1952-1953.
b.
Pernyataan dan penegasan bahwa Mathla’ul Anwar adalah
organisasi independen, tidk bersfiliasi dan tidak menjadi onderbouw dari organisasi
atau partai politik apapun.
c.
Bahwa Mathla’ul Anwar akan mendirikan Kepanduan
(Pramuka) sendiri.
Pernyataan
dan penegasan tersebut pada putusan ke-2 dirasa sangat perlu, karena pada
umumnya orang belum tahu, bahwa sejak Masyumi menjadi partai politik, Mathla’ul
Anwar tidak lagi menjadi anggota istimewanya.
Dan karena
itu tidak ada seorang pun pengurus Mathla’ul Anwar yang duduk sebagai anggota
DPP Masyumi sebagai wakil dari organisasi ini.
Disamping itu, sikap itu juga untuk menegaskan bahwa Mathla’ul Anwar
memang tidak berafiliasi kepada salah satu dari tiga partai politik Islam yang
ada, yakni : Masyumi, PSSI dan NU.
Pandu Cahaya Islam
Mengenai
gerakan kepanduan (pramuka), pada awal Indonesia merdeka, tahun 1945,
hanya ada satu yang diakui oleh pemerintah RI yaitu Pandu Rakyat
Indenesia. Tetapi dengan adanya negara
Republik Indinesia Serikat tahun 1950 tak terbendung kagi berdirinya
macam-macam organisasi kepanduan, antara lain : Pandu Rakyat Indonesia, Pandu
Islam Indonesia, Hizbul Wathon, Suya Wirawan, Pandu Kristen, /pandu Katholik,
Serikat Islam Afdeling Pandu, Ansor, Al Wasliyah, Pandu Al Irsyad, dan KBI.
Satu lagi
tonggak sejarah perkembangan organisasi Mathla’ul Anwar pada saat ini. Pada kongres VIII telah diterima penggabungan
dari Anwariyah dari Bandung
untuk berfusi menjadi Mathla’ul Anwar di bawah pimpinan Ajengan Sya’roni. Kehadiran Anwariyah dalam kongres Mathla’ul
Anwar VIII tersebut diwakili Ajengan
Sya’roni selaku ketua M.B. Ace selaku bendahara dan Uyeh Baluqia
Syakir sebagain unsur pemuda, dan memang utusan termuda dikala itu.
Dalam rangka
merealisir salah satu keputusan kongres Mathla’ul Anwar VIII, maka pada awal
Maret 1953, Pengurus Besar Mathla’ul Anwar mengirim tiga pemuda untuk mengikuti
Kursus Dasar Calon Pemimpin Pandu yang diadkan oleh Kwartir Besar Pandu Islam
Indonesia di Rangkasbitung-Lebak.
Kebetulan komisaris Cabang Pandu Islam Indonesia Lebak yang menjadi
panitia penyelenggara kursus tersebut adalah putra salah seorang kyai, tokoh
Mathla’ul Anwar. Panitia penye-lenggara kursus memberi kesempatan dan mengirim
undangan kepada PB Mathla’ul Anwar.
Kesempatan itu diterima dengan baik dan dikirimlah tiga orang pemuda
tersebut untuk mengikuti kursus, yang kelak sekembalinya dari kursus dapat
mendirikan dan memimpin kepanduan sendiri.
Proses
pembentukan Kepanduan Mathla’ul Anwar berjalan lancar, terutama setelah
dibicarakan dalam sidang pleno Pengurus Besar Mathla’ul Anwar dan mendapatkan
perse-tujuan rapat. Satu team yang
terdiri dari M. Muslim, Komari Saleh HG, E.A Burhani, M. Nahid Abdurrahman,
K. Ghozali, Moh. Rifa’I, E. Udan Hudari, Ma’mun. Chabri dan lain-lain diberi tugas untuk menyusun Anggaran Dasar
dan Anggaran Rumah Tangga serta ketentuan-ketentuan lain yang berhu-bungan
dengan teknik kepanduan. Akhirnya pada awal Mei tahun 1953 terbentuklah
Kepanduan Mathla’ul Anwar dengan nama Pandu Tjahya Islam disingkat PANTI,
dengan status sebagai badan otonom dari Mathla’ul Anwar.
Pada bulan
Mei 1953 berdasarkan keputusan sidang pleno Pengurus Besar Mathla’ul Anwar, Pandu
Tjahya Islam disahkan berdirinya. Dengan
demikian secara resmi sudh dapat dimulai mengadakan kegiatan. Untuk itu dan sebagai langkah pertama
diadakan kursus-kursus kepemimpinan tingkat dasar yang pesertanya terdiri dari
guru-guru madrasah dan pemuda Mathla’ul Anwar.
Dalam waktu
relatif singkat terbentuklah pasukan-pasu-kan, kelompok-kelompok dan
cabang-cabang Pandu Cahaya Islam, tetapi
di tempat-tempat lain pun seperti kota
Pandeglang, Jakarta,
Cisauk – berdiri pula Pandu Cahaya Islam.
Pada bulan
November 1953 itu pula Pandu Cahaya Islam mengirim M. Nahid Abdurrahman
untuk mengikuti Kursus Kepanduan tingkat yang lebih tinggi di luar negeri,
yakni Kualalumpur, Malaysia. Waktu itu
masih bernama Malaya se-bagai negara jajahan
Inggris. Pengiriman itu adalah atas ajakan dan kerjasama denga kwartir Besar
Pandu Islam Indonesia
di bawah pimpinan Ibrahim Muhammad.
Pada
tahun1953 itu pula, Mathla’ul Anwar untuk pertama kalinya, mendirikan sekolah
umum SMI (Sekolah Menengah Islam) atau SMP, di Menes. Ternyata SMI mendapat sambutan baik di
kalangan masyarakat, sehingga pada tahun ajaran pertama kelas I nya sudah dua
kelas paralel. Selanjutnya, SMPI ini
dikembangkan menjadi PGA (Pendidikan Guru Agama). Karena satu dan lain hal, pada tahun 1979,
peme-rintah, dalam hal ini Departemen Agama, menghapus PGA.
Muslimat Mathla’ul Anwar
Kongres
Mathla’ul Anwar IX dilangsungkan pada bulan Desember 1953 di
Pamoyanan, Bandung,
Jawa Barat. Kong-res kali ini merupakan
kongres yang luar biasa dibanding kongres-kongres sebelumnya. Mathla’ul Anwar, yang waktu itu merupakan
organisasi kecil yang pusatnya terletak di satu kecamatan, bahkan seluruh
cabang-cabangnya berada di kampung-kampung dan pinggiran kota,
mengadakan kongres di kota besar yang merupakan
ibu kota
provinsi. Resepsi pembu-kaan kongres
diselenggarakan di gedung Concordia, yang dua tahun kemudian, digunakan sebgai
tempat konferensi Asia Afrika. Dan
ternyata kongres ini menghasilkan keputusan-keputusan penting bagi masa depan
organisasi.
Kongres kali
ini telah pula melahirkan beberapa resolusi dan statemen keluar, di samping
keputusan-keputusan ke dalam, yang diantaranya ialah :
a. Pengesahan berdirinya Pandu
Cahaya Islam dengan status sebagai badan otonom Mathla’ul Anwar.
b. Keputusan tentang berdirinya Muslimat
Mathla’ul Anwar yang dipimpin oleh Nyi. H.A. Zenab binti Moh. Yasin sebagai ketua, Nyi. Ufi Alfiah sebagai Sekretaris, Ny.
Sursiah sebagai bendahara.
c. Keputusan tentang ditingkatkannya
Mathla’ul Anwar menjadi organisasi kemsyarakatan yang bergerak dalam bidang
pendidikan, sosial dan da’wah. Dengan
demikian sejak tahun 1953 itu Mathla’ul Anwar memiliki anggota. Sebe-lumnya, dalam Anggaran Dasar, tidak
dimuat pasal tentang keanggotaan. Yang
ada hanyalah tentang donatur sebagai penyandang dana orgnisasi.
d. Kongres telah memutuskan pula
untuk menyempurnakan dan menyesuaikan rencana pelajaran, leerplan atau
kuri-kulum.
e. Diputuskan pula oleh kongres
untuk menerbitkan sebuah majalah yang diberi nama Majalah Madrasah Kita. Pim-pinan umum majalah ini dipercayakan
kepada Nafsirin Hadi dan Komari Saleh HG. Dibantu oleh Moh. Rifa’I sebagai
sekretaris.
f. Pernyataan (statemen) bahwa
Mathla’ul Anwar adalah satu organisasi yang berdiri sendiri (independen), tidak
berafiliasi atau menjadi onderbouw dari partai politik atau organisasi apa pun.
Sedang dalam menghadapi pemilihsn umum, Mathla’ul Anwar menyerahkan sepenuhnya
kepada anggota atau pengurus masing-masing.
Dalam hal ini dipersyaratkan keharusan untuk menyalurkan hanya kepada
partai politik Islam (yaitu Masyumi, NU, PSII, Perti) saja.
g. Mengusulkan kepada pemerintah
agar pelajaran agama (Islam) dijadikan mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah
negeri.
h. Mengusulkan dan mendesak kepada
pemerintah RI agar di tiap-tiap stasiun kereta api didirikan Musholla.
i.
Dalam
kongres tersebut, kembali K.H. Uwes Abubakar terpilih menjadi ketua umum
dibantu Ajengan Sya’roni (dari Bandung)
sebagai wakil ketua I dan KH. Achmad Siddiq (dari Menes) sebagai Wakil Ketua
II, KH. E. Burhani sebagai Sekretaris Umum dan beberapa orang kyai dan ulama
yang juga diangkat sebagai pembantu pengurus.
Kongres IX Mathla’ul Anwar tahun 1953
merupakan masa transisi dari zaman penjajahan dan suasana yang kurang mendukung
bagi perkembangan dan pertumbuhan organisasi ke alam merdeka. Karena itu langkah-langkah yang telah
ditempuh merupakan sarana dan bekal untuk menyongsong hari depan yang
baru. Kongres ini juga merupakan titik
tolak kiprah organisasi yang akan selalu menyesuaikan diri dengan perkembangan
dan perubahan situasi dan kondisi negara kita.
Sejalan
dengan keputusan tentang peningkatan organi-sasi Mathla’ul Anwar menjadi
organisasi kemasyarakatan (ormas), masa
kerja pengurus yang baru berubah pula.
Tidak lagi satu tahun tetapi menjadi tiga tahun sekali. Sehingga
Pengurus Besar yang baru ditetapkan Kongres IX mulai diberlakukan untuk masa
kerja tahun 1953-1956.
Mathla’ul
Anwar yang dilahirkan di satu kota kecil, yang pada waktu itu mungkin tidak
tercatat dalam atlas atau peta bumi Indonesia, nyatanya mampu menyelenggarakan
kongres di ibu kota provinsi, bahkan menggunakan fasilitas yang cukup modern di
kala itu. Kongres Mathla’ul Anwar IX dibuka dengan resepsi atau ta’aruf di
Gedung Concordia, yang dua tahun kemudian menjadi tempat konferensi Asia Afrika
pertama dilangsungkan. Gedung megah yang
ada di tengah-tengah kota Bandung itu adalah peninggalan Belanda. Waktu
itu penuh sesak diisi oleh peserta dan masa Mathla’ul Anwar yang berda-tangan
dari beberapa daerah.
Pemuda
Mathla’ul Anwar
Tahun
1953, bagi Mathla’ul Anwar ditandai dengan mulai bangkitnya angkatan muda. Mereka bahu membahu ikut serta mengambil
bagian dalam barisan Mathla’ul Anwar.
Komari Saleh HG, M. Nahid Abdurrahman, Mohammad Rifa’I, Mohammada Idjen,
Uyeh Baluqia Syakir, Ismail Cairo
(Djaelani), M. Muslim, Ghozli, TB. Suja’i, Abdurrahim, Hasan Muslihat, E.A.
Burhani dan masih banyak lagi di antara nama-nama pemuda yang muncul di kala
itu.
Namun
dilain pihak, pada saat bersamaan, Mathla’ul Anwar menghadapi tantangan dan
rongrongan yang cukup berat. Khususnya dalam menghadapi pemilihan umum
yang pertama untuk Dewan Perwakilan Rakyat dan Konstituante. Partai-partai Islam berusaha menarik masa
Mathla’ul Anwar untuk masuk dalam kubunya.
Betapapun beratnya ujian waktu itu, namun Pengurus Besar Mathla’ul Anwar
dengan segenap jajarannya, tetap bertahan kepada keputusan sikapnya untuk tidak
menjadi onderbouw dan bersfiliasi kepada salah satu partai politik.
Muktamar
X
Sesuai
keputusan Kongres sebelumnya bahwa sedianya Kongres X akan diadakan di
Lampung, namun berbagai kendala pada waktunya, Lampung belum siap. Maka Pengurus Besar memutuskan Kongres X
diadakan di Menes pada tahun 1956 bulan Januari yang sekaligus dalam rangka Hari
Ulang Tahunnya yang ke-40 berdirinya Mathla’ul Anwar.
Malam
resepsi Kongres ini dihadiri pula oleh Menteri Agama R.I.,
Moh. Ilyas. Tidak hanya ribuan, tetapi
puluhan ribu umat warga Mathla’ul Anwar berduyun-duyun datang ke arena Kongres
di Cimanying, Menes. Lalu-lintas Pandeglang Labuan praktis terhenti, bahkan
berjalan kaki pun tidak mudah. Warga
Mathla’ul Anwar dari seluruh pelosok Menes dan sekitarnya ikut menyambut
gembira ulang tahun Mathla’ul Anwar ke-40.
Para peserta tidak ditempatkan di suatu
asrama khusus, tetapi ditipkan di rumah-rumah penduduk, atas biaya
masing-masing.
Mereka
yang tidak kebagian mengeluh dan mengadu kepanitia seakan tak dihargai. Terpaksa panitia menjadi repot
memindah-mindahkan para peserta agar setiap warga yang menyediakan tempat
mendapat tamu peserta. Segenap anggota
Pandu Cahaya Islam tampil denga cekatan membantu kerja panitia. Mereka bergembira dalam bekerja keras, yang
kadang-kadang terpaksa lupa makan dan minum.
Salah
satu keputusan Kongres X di Menes ini adalah rencana menerbitkan sebuah buku
Yubelium, kenang-kenangan kongres dan HUT, yang berisi pula ikhtisar sejarah
perjuangan Mathla’ul Anwar dari awal.
Sayang buku itu tidak sempat terbit.
Disamping itu, Kongres X telah mengesahkan berdirinya Pemuda
Mathla’ul Anwar, sebagai badan otonom sebagaimana Pandu Cahaya Islam dan
Muslimat Mathla’ul Anwar. Semula,
satu-satunya wadah bagi para pemuda muslim adalah Gerakan Pemuda Islam
Indonesia (GPII), Namun setelah Syarikat Islam (SI) keluar dariMasyumi pada
tahun 1948, yang kemudian berdiri menjadi Partai Syarikat Islam Indonesia
(PSII); disusul oleh Nahdatul Ulama (NU) yang menjadi partai Nahdatul Ulama,
maka timbulah kembali berbagai organisasi pemuda Islam. Diantaranya adalah Gerakan Pemuda Ansor dan
Pemuda Muhammadiyah.
Untuk
menjaga keutuhan dan persatuan di kalangan warga Mathla’ul Anwar sendiri, maka
didirikanlah Pemuda Mathla’ul Anwar (PMA), yang untuk pertama kalinya dipimpin
oleh M. Muslim.
Adapun
keputusan-keputusan lainnya dari Muktamar X, diantaranya ialah :
a.
Mengulangi
statemen bahwa Mathla’ul Anwar tidak bergabung, tidak berafiliasi atau menjadi
onderbouw dari partai politik atau organisasi apa pun juga. Keputusan ini merupakan penegasan kembali
bahwa Mathla’ul Anwar adalah organisasi yang independen atau berdiri sendiri.
b.
Mengusulkan
kepada pemerintah agar pelajaran agama (Islam) dijadikan mata pelajaran wajib
di sekolah-sekolah negeri.
c.
Mengusulkan
dan mendesak kepada pemerintah RI agar di tiap-tiap stasiun kereta api
didirikan Musholla.
d.
Susunan
Pengurus Besar Mathla’ul Anwar terpilih antara lain :
Ketua Umum : K. Uwes
Abubakar
Wakil Ketua I : Ajengan Sya’roni
Wakil Ketua II :
K.H.A. Siddiq
Sekreataris Umum :
K.H. Muslim
Sekretaris I : E.A. Burhani
Sekretaris II : E. Chabri
Bendahara : KH.
Djamhari
Waktu
itu Ketua Umum K.E. Uwes Abubakar telah dilantik sebagai anggota Dewan
Perwakilan Rakyat R.I hasil pemilu yang pertama thun 1955. Sedang sebelumnya, sejak tahun 1950 sampai
dengan 1955, beliau menjadi anggota DPRD sementara Propinsi Jawa Barat,
merangkap anggota DPRD sementara kabupaten Pandeglang, yang masing-masing
sebagai anggota fraksi Masyumi.
Situasi
ekonomi dan politik sejak tahun 1957 sangat tidak menguntungkan bagi Mathla’ul
Anwar. Negara, saat itu dikeruhkan oleh
munculnya pemberontakan PRRI dan permesta di Sumatra Barat dan Sulawesi
Utara. Karena konstituante dianggap
macet, Presiden membubarkan lembaga pembentuk UUD tersebut dan mendekritkan
kembali berlakunya UUD 1945, presiden yang semula hanya bersifat seremonial
menjadi eksekutif yang berkuasa.
Dimulailah
dikeluarkan ketentuan-ketentuan yang tidak mempunyai dasar dalam konstitusi
berupa Peraturan Presiden yang kemudian menyebabkan dibubarkannya partai
Masyumi dan PSI. Walau demikian,
Mathla’ul Anwar, yang sebelumnya hanya berada di sebagian wilayah Jawa Barat
dan Lampung, kemudian melebar samapai ke Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB,
Sulawesi Tengah, Aceh dan Kalimantan Barat.
Mathla’ul
Anwar sebagai Badan Hukum
Tahun
1959, karena masih saja terdengar suara-suara sumbang yang menyatakan bahwa
Mathla’ul Anwar sebagai mantel dan onderbouw Masyumi, maka Katua Umum K.E. Uwes
bubakar memberikan mandat kepada Wakil Ketua I, Ajeng Sya’roni untuk atas nama
organisasi menjadikan Mathla’ul Anwar sebagai badan hukum. Penetapan ini dalam bentuk keputusan Menteri Kehakiman RI
sebagai berikut:
ANGGARAN DASAR SERIKAT-SERIKAT
Tambahan
berita Negara RI tanggal 28 – 03 – 1959 No. 25 KUTIPAN
dari Daftar Penetapan Menteri Kehakiman tertanggal 13 Djanuari 1959 No. J.A
5/6/15.
MENTERI KEHAKIMAN
Membatja
|
:
|
I
II
|
Surat permohonan tertanggal 1
oktober 1958 dari H.A. Sya’roni, Wakil Ketua I dan selaku itu dalam hal ini
menjadi wakil perkumpulan tersebut di bawah ini;
Surat II. Surat dari \kepala Daerah Tingkat II
Bandung tertanggal 27 Agustus 1958 No. 93/Ktr/Sek/58.
|
Mengingat
|
:
|
Peraturan-peraturan
yang bersangkutan sebagai pasal 1, 2 dan 3 dari Lembaran Negara 1870*(Staatsblad
No.64), sebagaimana terakhir diubah dengan Lembaran Negara 1937 (staatsblad
No. 573) dan pasal-pasal 1653 sampai dengan 1965 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata :
|
|
MEMUTUSKAN :
|
|||
Menyatakan
sah Anggaran Dasar perkumpulan : Mathla’ul Anwar disingkat M.A yang memilih
kedudukan biasa di Menes, Banten, sebagaimana Anggaran Dasarnya dimaktubkan
dala lampiran penetapan ini dan oleh karena itu mengakui perkumpulan tersebut
sebagai badan hukum pada hari pengumuman anggaran dasarnya dalam Tambahan
Berita Negara Indonesia.
|
Kutipan
dari penetapan ini dikirim kepada pemohon untuk diketahui dan dituruti.
Sesuai dengan daftar tersebut :
Kepala Urusan Hukum Perdata :
u.b
Pegawai Tinggi yang diperbantukan
Mr. Tio Tjiong Tho
Bergabung
dengan Mathla’ul Anwar
Pada
tahun-tahun itu pemerintah melalui Kementrian Agama memberi bantuan berupa uang
kepada mdrasah-madrasah sekali setahun.
Besar kecilnya dihitung dari jumlah murid dikalikan Rp. 2,50.- (dua
rupiah lima
puluh sen). Untuk itu setiap madrasah yang dikoordinir oleh organisasi
masing-masing diharuskan mengisi formulir yang telah disediakan oleh Kementrian
Agama. Disamping itu ada ketentuan yang
ditetapkan oleh Kementrian Agama, bahwa madrasah-madrasah perorangan, yayasan atau
organisasi-organisasi lokal diharuskan bergabung kepada organisasi yang
bertingkat nasional.
Dimaksud
organisasi tingkat nasional adalah satu organisasi yang wilayah kerjanya
sekurang-kurangnya meliputi dua daerah propinsi. Yang termasuk golongan ini antara lain :
Muhammadiyah, NU, Al Jamiatul Wasliyah, Al Irsyad, Persis, PUI dan Mathla’ul
Anwar.
Dengan
adanya peraturan itu maka banyak yayasan-yayasan yang mengelola madrasah ,
maupun lembaga-lembaga perorangan yang menyelenggarakan pendidikan formal
(bukan diniyah) bergabung dan berfusi dengan Mathla’ul Anwar. Di Jawa Tengah : Ichsaniyah Tegal yang
memiliki daerah kerja di Brebes, Pemalang dan Banjarnegara; Al Iman Magelang
yang daerah kerjanya meliputi Temanggung, Purwarejo, Wonosobo, Kebumen dan Ma’had
Islam di semarang. Nahdlatul Wathon di Kediri Nusa Tenggara
Barat, Nurul Islam Tawaeli-Donggala Sulawesi Tengah dan puluhan madrasah di
Aceh, di bawah koordinasi Moh. Isa. Dan
karena itu Mathla’ul Anwar yang pada awalnya hanya menduduki tempat di urutan H
(8), maka satu tahun kemudian (1960) telah berada pada urutan ketiga.
Karena itu untuk memudahkan hubungan
kerja dengan Pemerintah dan Instansi terkait di Pusat, serta untuk bisa
memberikan pelayanan kepada semua madrasah-madrasah/yayasan yang bergabung,
maka didirikanlah Kantor \perwakilan Pengurus Besar Mathla’ul Anwar di Jakarta, di tanah dan
bangunan Bapak H. Suhada jalan Sangihe No. 26 A Jakrta Barat. Dan Bapak H. Suhada sendiri diangkat sebagai
Pengurus Mathla’ul Anwar DKI Jakarta.
Dan di tempat itu langsung didirikan PGD Mathla’ul Anwar yang dipimpin
oleh Ustadz. Salim Kadir dan kawani.
Berdirinya
Majlis Fatwa Wat Tabligh
Sejak
tahun 1952, dengan berdirinya MNU sebagai partai politik, timbul kembali
perselisihan umat Islam tentang masalah-masalah khilafiyah dan furuiyyah. Masalah ini sebelumnya sudah agak teredam dan
tidak lagi menjadi perselisihan sengit dikalangan masyarkat. Tetapi waktu itu, seolah-olah sengaja
dibangkitkan untuk menarik simpati umat
dalam memperkuat partai atau barisan masing-masing, lebih khusus lagi dalam rangka
kampanya dalam menghadapi Pemulihan Umum pertama pada tahun 1955. Pemahaman tentang Ahli Sunnah wal
Jama’ah menjadi kabur dan dikembangkan menurut versi masing-masing
organisasi bersangkutan. Akibatnya,
taqlid buta merambah individu-individu yang enggan berfikir dan sungkan
mengkaji.
Hal-hal
itu menjadi salah satu penyebab keprihatinan para ulama dn kyai yang
berpandangan jauh ke depan dan maju.
Guna meningkatkan wawasan dan mendorong cara berfikir para kyai dan
ulama di kalangan intern Mathla’ul Anwar, timbulah satu gagasan untuk
mengadakan pengkajian dan penyatuan pemahaman tentang berbagai ilmu agama. Dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut
maka pada tahun 1960 bertempat di Buaranjati Mauk, Tangerang diadakan
suatu pertemuan yang dihadiri, selain anggota Pengurus Besar Mathla’ul Anwar,
para tokoh, kyai dan ulamanya. Dalam
pertemuan itulah dibahas beberapa masalah aqidah dan hukum agama, khususnya
nerisi pula tentang pemahaman dan pendalaman tentang Khittah Mathla’ul Anwar.
Dan
pada akhir pertemuan disetujui agar pertemuan-pertemuan seperti itu diadakan
secara berkala sekurang-kurangnya satu tahun sekali yang temptnya
berpindah-pindah. Dan diputuskan pula
bahwa pertemuan tersebut dilembagakan dengan nama Majlis Fatwa Wattabligh
Mathla’ul Anwar. Untuk mengetuai
lembaga, pada pertama kalinya terpilih dan diangkat K.H. Achmad Syauqi,
sedangkan sekretarisnya dipilih Kyai R.A. Anhar.
Dengan
lembaga ini diharapkan soal-soal furuiyyah dan khilafiyyah yang sangat peka dan
sering menjadi penyebab timbulnya perpecahan di kalangan umat Islam dapat
dicegah dan dihindari. Juga diharapkan
timbulnya sikap tasamuh atau toleransi antar sesma Muslim. Dan dilain pihak sikap terhadap kaum kuffar
menjadi tegas.
Sidang
Majlis Fatwa Wattabligh ke-2
diadakan di kota
Magelang, Jawa Tengah, pada tahun 1961.
Sidang II ini benar-benar merupakan rena pembahasan dan pengkajian
masalah agama, khususnya yang menyangkut bidang fiqh dan hukum Islam.
Keberadaan
Ustadz Djufri Sagaf sebagai orang pertama dari yayasan Al Iman telah
menjadi salah satu penyebab sidang-sidang Majlistersebut benar-benar hidup
sesuai dengan arah yang dituju dan diharapkan Pengurus Besar Mathla’ul Anwar,
khususnya yang diinginkan oleh Ketua Umum K.E. Uwes Abubakar. Disini para ulama dan kyai dilingkungan
Mathla’ul Anwar meningkat wawasan ilmu pengetahuandan cara berfikirnya. Ustadz Djufri Sagaf, selain banyak
pengalaman, juga sangat luas ilmu pengetahuannya. Semua dalil dan alasan yang dikemukakan
dibuktikan dengan pembeberan kitab-kitab yang pernah dibaca, dan sekaligus ada
dalam koleksi perpustakaan yayasan Al Iman.
Disamping hafal kalimat demi kalimat, juga beliau ingat nama kitab,
judul, penulis, bahkan sampai dengan juz, halaman, dan jilidnya. Ditunjang pula penguasaan dan pemahaman
bahasanya. Maka tidak anehlah kalau ada
yang samapi menyebut atau menjuluki beliau sebagai kamus hidup. Dan jadilah beliau sebagi bintang perhatian
yang dikagumi seluruh peserta.
Kemudian
sidang Majli Fatwa Waatabligh yang III diadakan di kota Karawang pada tahun 1962. Sidang ini ditandai masuknya Prof. DR. Saleh
Suaidy sebagai ketua Majlis Fatwa Wattabligh yang baru menggantikan KH. Anhar
yang meninggal dunia.
Majlis
Pendidikan dan Pengajaran
Bersamaan sidang Majlis Fatwa Wattabligh yang kedua,
diadakan pula Sidang Majlis Pendidikan dan Pengajaran Mathla’ul Anwar di
lokasi itu juga. Majlis Pendidikan
Pengajaran bersidang untuk membahas rencana pelajaran (leerplan) serta pedoman
pendidikan dan Pengajaran Mathla’ul Anwar.
Ini bukan berarti bahwa Mathla’ul Anwar belum memiliki rencana
pelajaran, tetapi karena adanya penggabungan yayasan-yayasan dan
madrasah-madrasah perorangan ke dalam Mathla’ul Anwar. Atas kesepakatan dan keinginan yang sama,
dianggap perlu diadakan rencana pelajaran yang sama dan seragam yang disesuaikan
dengan perkembangan dan kemajuan zamannya.
Ditegaskan
waktu itu bahwa hal itu bukan berarti Mathla’ul Anwar mencampuri rumah tangga
intern yayasan atau lembaga-lembaga yang bergabung ke dalam Mathla’ul Anwar,
tetapi memang dikehendaki bersama oleh semua pihak yang bersangkutan.
Akhirnya
setelah menerima dan menampung usul-usul dan saran-saran dari beberapa pihak,
Majlis Pendidikan dan Pengajaran mengambil keputusan untuk membentuk Panitia
Perumus dan Penyusun Rencana Pelajaran dan Pedoman Mathla’ul Anwar, anggotanya
antara lain terdiri dari E.A. Burhani, Muslim, Uyeh Baluqia Syakir dari
Bandung, Ustadz Abdurrahman dan ustadz Djaelani Ilyas yang masing-masing dari
yayasan Ihsaniyah Tegal dan dua orang lagi dari Yayasan Al Iman, Malang. Kedua
sidang majlis tersebut diadakan pada bulan Agustus 1961 dimana yayasan Al Iman
sebagai panitia penyelenggara.
Dalam
rangka menjalin hubungan dengan ex anggota Dewan Perwakilan Rakyat hasil Pemilu
pertama tahun 1955, E. Uwes Abubakar selaku Ketua Umum Pengurus Besar Mathla’ul
Anwar, pada akhir tahun 1961 (bulan Desember) mengadakan kunjungan ke Jawa
Tengah dan Jawa Timur. Dari Jakarta,
rombongan singgah di Tegal dan Salatiga, kemudian langsung ke Surabaya menuju rumah K.H. Misbach. Beliau adalah juga ex anggita DPR hasil
Pemilu tahun 1955 yang tidak disertakan dalam DPR Gotong Royong ciptaan Bung
Karno, sesudah Dekrit Presiden tahun 1957.
Di
Surabaya selain berkunjung ke KH. Misbach, rombongan bersilaturahmi pula dengan
tokoh pengurus Yayasan Pendidikan Islam
Indonesia (YPII) yang antara lain dipimpin oleh Anwar Zain dan
Susmono. Dari pembicaraan yang tidak
semula nampak tidak terarah, akhirnya samapai pada kesimpulan penggabungan YPII
ke dalam Mathla’ul Anwar. Pembicaraan
waktu itu baru tingkat konsultasi dan informil.
Kepastian dan keputusannya Pengurus YPII Pusat untuk bergabung dengan
Mathla’ul Anwar, rencananya akan diputuskan setelah musyawarah dengan semua
perwakilannya yang tersebar di seluruh kabupaten di Jawa Timur.
Pada
bulan Jnuari 1962, pertemuan Pengurus YPII lengkap dengan
perwakilan-perwakilannya se-Jawa Timur dilangsungkan. Pada pertemuan itulah didapat kata sepakat
dan secara resmi YPII Jawa Timur bergabung dalam Mathla’ul Anwar. Diantaranya tercatat sepuluh kabupaten
Perwakilan YPII yang hadir ialah: Tuban, Bojonegoro, Probolinggo, Ngawi,
Magetan, Pacitan, Gresik, Mojokerto, Ponorogo dan kabupaten Madura.
Pada
tahun 1962 itu juga, di Tegal dilangsungkan Sidang Panitia Perumus dan Penyusun
Rencana Pelajaran (leerplan) dan Pedoman Pendidikan Mathla’ul Anwar. Sidang menghasilkan Rencana Pelajaran Terurai
untuk madrasah Ibtidaiyah. Adapun untuk
madrasah tingkat Tsanawiyah dan Aliyah akan disidangkan di Menes, Banten yang
waktunya belum ditetapkan di kala itu.
Lahirnya
Majlis Da’wah Mathla’ul Anwar
Pada
akhir tahun 1962 bertempat di Karawang, dilangsungkan sidang Majlis Fatwa
Wattabligh III. Sidang kali ini dihdiri
pula oleh Al Ustadz H.M. Sholeh Su’aedy (salah seorang yang mencetuskan
berdirinya Departemen Agama dan juga salah seorang utusan bangsa Indonesia dalam muktamar Haji di Makkah, yakni
pertemuan pertama yang dihadiri bangsa Indonesia setelah merdeka). Juga hadir K.H. Abdul Razak, seorang utusan
badan wakaf dari semarang. Satu keputusan yang sangat penting dari
sidang ini adalah dipecahnya Majlis Fatwa Wattabligh ke dalam dua lembaga:
masing-masing Majlis Fatwa Mathla’ul Anwar dan Majlis Da’wah
Mathla’ul Anwar.
Majlis Fatwa berfungsi menampung dan
membahas masalah-masalah hukum Islam, sedang Majlis Da’wah berfungsi sebagai
lembaga yang menyebarluaskan hasil-hasil olahan Majlis Fatwa. Majlis Fatwa diketuai oleh H.M. Sholeh
Su’aedy dan Majlis Da’wah diketuai A.E. Sutisna dari Pandeglang.
Pada tahun 1963 Ketua umum Pengurus
Besar Mathla’ul Anwar melaksanakan ibadah haji ke Mekah. Sebenarnya apa yang dilaksanakanitu
semata-mata untuk menyempurnakan rukun Islam yang ke lima, tidak merupakan satu yang istimewa bagi
seorang muslim. Namun tanpa diketahui
sebelumnya, sesampai beliau di tanah suci mendapat undangan resmi Rabithah Alam
Islami yang memang setiap tahun mengadakan kongresnya di Mekkah. Ketua Umum PB
Mathla’ul Anwar diundang untuk mewakili umat Islam Indonesia.
Perwakilan
Mathla’ul Anwar di Luar Negeri
Karena
merasa dirinya tidak pantas untuk bertindak sebagai wakil dari Indonesia, sebab di sana terdapat tokoh-tokoh dari NU dan
Muhammadiyah yang organisasinya sudah lebih besar dari Mathla’ul Anwar. Tetapi dari pihak Rabithah tidak mau menerima
alasan itu. Maka akhrinya dengan tidak
merasa merendahkan yang lain terpaksa undangan itu dipenuhi, dengan
pertimbangan dari pada tidak ada wakil Indonesia sama sekali. Dan kemudian sejak saat itulah Indonesia
dianggap termsuk sebagai anggota forum internasional tersebut.
Bahkan
sebulan setelah kongres itu, dalam bulletin yang diterbitkan oleh Rabithah,
dimuat salah satu keputusannya yang menguntungkan umat Islam Indonesia. Disebutkan di situ bahwa Indonesaia termasuk
salah satu negara yang umatnya akan dibantu secara material/financial. Disamping itu, Ketua Umum sempat pula
membentuk Perwakilan Mathla’ul Anwar untuk Saudi Arabia yang berkedudukan
di Mekkah.
Satu hal lagi yang diluar
perencanaan semula, dengan kehendak Allah SWT. Telah terwujud begitu saja. Pada waktu itu Jeddah ada sebuah Madrasah lil
banaat. Muridnya tidak samapi seratus
orang. Mereka ingin bergabung dengan
Mathla’ul Anwar, dan kemudian mengubah namanya menjadi Madrasah Mathla’ul
Anwar. Satu hal yang luar biasa,
beberapa waktu setelah penggabungan dengan nama Mathla’ul Anwar, muridnya
melonjak pesat sampai tiga ratus orang lebih.
Perjalanan haji waktu itu masih
menggunakan kapal laut, sehingga memakan waktu sekitar tiga bulan. Di samping itu untuk dapat menunaikan ibadah
haji, selain membayar ONH, setiap calon harus menang dalam undian kotum, yakni
kesempatan melaksanakan ibadah haji pada tahun itu. Hal ini terjadi, karena ibadah haji di waktu
itu mendapat subsidi pemerintah, dan jumlahnya sangat terbatas sesuai kemampuan
dan [emerintah.
Sekembalinya Ketua Umum di tanah
air, tidak lama kemudian diadakan satu pertemuan anggota Pengurus Besar dan
Panitia Perumus Pelajaran (Kurikulum) bertempat di Menes. Pada kesempatan itu, selaian membahas
leerplan juga untuk mendapatkan oleh-oleh perjalanan ke tanah suci, termasuk
pula tenyang kongres Rabithah.
Berdirinya perwakilan Mathla’ul Anwar untuk Saudi Arabia, dan bergabungnya
sebuah madrasah ke dalam Mathla’ul Anwar di Jeddah.
Pada tahun (1965), untuk yang
pertama kalinya Mathla’ul Anwar mendapat
jatah dari Departemen Agama untuk mengirimkan seorang menjadi MPH (TPHI), yaitu
Majlis Pembimbing Haji. Dan untuk itu
ditunjuk M. Muslim Abdurrahman untuk melaksanakan tugas tersebut.
Pada tahun 1964, suhu politik di Indonesia
terasa makin panas. Sementara
perekonomian bangsa menjadi semakin kritis, inflasi ratusan persen, harga
melambung tiap hari dan barang-barang menjadi langka. “Nasakomisasi”, yakni
menjadikan semua lembaga berintikan tiga kekuatan politik nasional, agama dan
komunis dipaksa dimana-mana. Jargon
politik seperti Manipol Usdek dan lain-lain istilah politik di waktu itu
memenuhi udara politik tanah air kita.
Semu itu tidak membuat rakyat Indonesia semakin baik, tetapi
justrumenjadikan lebih sengsara, karena ditumbuhkan kecurigaan satu sama
lain. Bersamaan dengan itu, di samping
DPR Gotong Royong, didirikan pula Front Nasional, yang berintikan kaum Komunis
dan Nasionalis kiri.
Untuk mengatasi kecenderungan ke
kiri yang berlebihan, dipelopori oleh Angkatan Darat, didirikan sekretariat
bersama Golongan Karya atau Sekber Golkar.
Tujuannya anatar lain untuk menyalurkan aspirasi rakyatdan khususnya
lagi bagi organisasi-organisasi masa kekayaan dan non politik. F dan Mathla’ul
Anwar termasuk penandatanganan berdirinya sekber Golkar.
Sekembalinya
menunaikan tugas sebagai MPH, KH. M. Muslim, yang waktu itu menjabat sebagai
Sekretaris Umum Pengurus Besar Mathla’ul Anwar menyampaikan oleh-oleh
perjalannya dalam satu pengajian. Ini terjadi pada Kamis malam, 30 September
1965. Pada saat itu, juga diserahkan
sebuah bingkisan berupa mesin huruf Arab, hadiah perwakilan Mathla’ul Anwar di
Mekkah. Sedang paket lain berupa
kitab-kitab untuk perpustakaan dikirim terpisah.
Peristiwa
G 30 S PKI dan Sikap Mathla’ul Anwar
Setelah
mendengar pengumuman “Dewan Revolusi” melalui siaran radio, mengambil
kesimpulan bahwa peristiwa itu adalah merupakan kup (cou) PKI. Dan karen itu mereka mengambil keputusan
untuk malam itu tidak berada di rumah masing-masing, tetapi mengungsi ke Dukuh
Atas, di rumah keluarga Ustadz H.M. Sholeh Su’aedy. Mereka menghawatirkan kemungkinan-kemungkinan
pihak PKI yang memberontak itu akan melakukan pembunuhan tokoh-tokoh atau
pemimpin-pemimpin Islam, musuh bebuyutannya, sebagaimana pernah terjadi pada
Kup PKI 18 September 1948 yang dikenal dengan sebutan Peristiwa Pemberontakan
PKI Madiun. Pada saat itu banyak kyai
dan ulama yang dibantai.
Tanggal
2 Oktober 1965 Pengurus Besar Mathla’ul Anwar membuat pernyataan mengutuk PKI
yang mengadakan Kup dan membantai tujuh orang Jendral. Pernyataan ini pada pagi harinya, 3 Oktober
1965 di muat di beberapa surat
kabar, seperti “Berita Yudha” dan “Merdeka”. Pernyataan Mathla’ul Anwar
merupakan pernyataan pertama dari organisasi Islam.
Pembentukan
Sekber Golkar
Sebelum
genap sebulan peristiwa G.30.S PKI, Sekber Golkar mengadakan musyawarah besar
(Mubes) yang kesatu di Cipayung-Bogor.
Dan bersamaan dengan itu pula di Jakarta
para utusan organisasi-organisasi Islam berkumpul untuk membentuk satu wadah
kerjasa antara oramas Islam non politik.
Untuk menghadiri Mubes Sekber Golakr diutus Komari Saleh HG, Moh.
Rifa’i, M. Nahid Abdurrahman, Mumung Muslim untuk mewakili Mathla’ul Anwar dan
PPMA (Persatuan Pemuda Mathla’ul Anwar).
Sedang untuk menghadiri pertemuan organisasi-organisasi Islam diwakili
sendiri oleh Ketua Umum KH. Uwes Abubakar, Taftazani. Pertemuan ini kemudian
menghasilkan satu wadah yang diberi nama Koordinator Amal Muslim yang diketuai
oleh Letnan Jendral Soedirman. Sedang
para anggotanya terdiri dari Mathla’ul Anwar, Muhammadiyah, PUI, Persis, Al
Jamiatul Washliyah, Al Irsyad, Hmi, PII, Ghasindo, Buruh Merdeka dan Al
Ittihadiyah.
Mubes
Sekber Golkar di Cipayung sempat mengadakan pemilihan pengurus baru dengan
Brigjen TMI Djuhartono terpilih menjadi Ketua Umumnya. Namun tidak lama kemudian terjadi pergantian
dan pergeseran dan Letnan Jendral Sukwati men duduki Ketua Umum dan sementara
beberapa orang pengurus lainnya dicabut dari jabatan kepengurusan.
Dalam serah terima jabatan dari
Brigjen Djuhartono kepada Letjen Sukwati, juga diadakan dialog untuk meminta
tanggapan dan pendapat organisasi-organisasi anggota Sekber Golkar tentang
susunan kabinet pengganti \kabinet seratus Menteri yang baru saja dibentuk.
Pada pertemuan itu dari Mathla’ul Anwar hadir dua orang, yaitu, KH. Uwes
Abubakar selaku Ketua Umum. Khusus
mengenai penilaian terhadap susunan kabinet yang baru, Mathla’ul Anwar mendapat
giliran yang pertama untuk menyampaikan sikap dan pendapatnya. Dalam hal ini
Mathla’ul Anwar menyambut baik dan mengucapkan selamat datang kepada Ketua Umum
Sekber Golkar yang baru Letjen Sukawati dan menyampaikan selamat jalan disertai
ucapan terima kasih kepada Ketua Lama Brigjen Djuhartono yang akan memangku
jabatan lain untuk negara. Mengenai
susunan kabinet baru Mathla’ul Anwar, meskipun tidak puas, namun dapat menerima
dan memberi kesempatan kabinet baru tersebut untuk bekerja sesuai program yang
telah ditetapkan.
Ternyata
sikap dan tanggapan Mathla’ul Anwar didukung dan diikuti oleh semua pembicara
yang lain.
Pembentukan
‘Amal Muslimin
Dalam
forum koordinator Amal Muslimin, Mathla’ul Anwar bersama HSBI (Himpunan Seni
Budaya Islam) yang wakti iu dipimpin oleh Yunan Helmi Nasution dan Aisyah
Amini, SH dan Al-Jamiatul Washliyah selalu aktif dan hampir tidak pernah
absen. Satu gagasan yang pernah
dilontarkan oleh Mathla’ul Anwar yang mendapat perhatian dan diterima oleh
salah satu sidangnya, ialah agar Koordinator Amal Muslimin menyusun
konsep-konsep ekonomi, sosial, keuangan dan berbagai macam hal yang diperlukan
untuk kemakmuran dan kesejahtraan umat sesuai ajaran Islam. Konsep-konsep ini kelak agar disodorkan dan
diusahakan untuk dilaksanakan oleh pemerintah bersama umat.
Pada awal tahun 1966, H. Adam Malik
yang waktu itu sebgai Menteri Luar Negeri
RI, menaruh perhatian dan
tertarik terhadap Mathla’ul Anwar.
Karena itu beliau bersedia diangkat sebagai pelindung organisasi ini.
Karena itu, sewaktu Mathla’ul Anwar melaksanakan muktamarnya ke IX dan
sekaligus memperingati ulang tahunnya yang ke setengah abad (50 tahun), beliau
diangkat sebagai pelindung.
Tahun 1966 situasi kota
Jakarta sebgai ibu kota RI
terasa sangat tidak menentu. Pergeseran
antara Orde Lama dan Orde Baru, munculnya gerakan angkatan umum yang terdiri
dari para mahasiswa dan pelajar serta berbagai kelompok profisional
lainnya. Sebelumnya, para mahasiswa dan
pelajar dan berbagai kelompok masyarakat telah membentuk berbagai kesatuan aksi
seperti Kasatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), Kesatuan Akmsi Pemuda dan
Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Sarjana, Buruh, wanita dll. Dalam
wadah KASI, KABI, KAWI, dan lain-lain.
Saudara Irsyad Djuwaeli dari PGA Mathla’ul Anwar Jakarta, bertindak
sebagai Ketua Ikatan Pelajar Mathla’ul Anwar (IPMA), sibuk pula bersama-sama
kesatuan-kesatuan pelajar yang lain membentuk Kesatuan Aksi Pemud Pelajar
Indonesia (KAPPI), dan menggelar demontrasi mengutuk G 30 S PKI, kemudian
menuntut pembubaran PKI dan menuntut pembubaran Kabinet 100 Menteri dan
lain-lain. Dari jasa-jasanya itu saudara
Irsyad Djuwaeli di kukuhkan kembali dalam Muktamar ke XI di Menes sebagai Ketua
Ikatan Pelajar Mathla’ul Anwar, dan masuk dalam susunan Pengurus Besar
Mathla’ul Anwar.
Muktamar
XI
Sesuai
rencana, pada bulan September 1966, Muktamar XI dan peringatan HUT Mathla’ul
Anwar ke 50 dilangsungkan di Menes. Dengan demikian Mathla’ul Anwar merupakan
organisasi kemasyarakatan yang pertama kali mengadakan muktamar pada masa Orde
Baru. Organisasi lain belum pernah
mengadakan. Namun karena situasi ekonomi
ditambah kondisi komunikasi waktu itu, maka jumlah daerah yang hadir sebagai
peserta muktamar tidak mencapai quorum sebagai mana diatur dalam Anggaran Dasar
dan Anggaran Rumah Tangga Mathla’ul Anwar.
Karena itu, akhirnya disepakati dan diputuskan sebagai Muktamar Luar
Biasa.
Pada
peringatan ulang tahunnya yang ke 50 (setengah abad), selain dihadiri dua orang
menteri yaitu Adam Malik (Menteri Lur Negeri) dan BM Diah (Menteri Penerangan),
juga dihadiri beberapa orang wakil kedutaan negara-negara sahabat. Ribuan pelajar, pemuda dan warga Mathla’ul
Anwar yang berdatangan dari beberapa daerah di Jawa Barat dan Sumatra Selatan
berbaris pawai melintas dihadapan para tanu kehormatan dan berjalan keliling
melingkari kota Menes. Bendera merah
putih dan lambang Mathla’ul Anwar yang sangat banyak jumlahnya menambah semarak
dan gegap gempitanya suasana waktu itu.
Sedang puncak acara berupa rapat umum beretempat di alun-alun Menes yang
dihadiri puluhan ribu umat warga Mathla’ul Anwar dan para simpatisannya.
Muktamar
Mathla’ul Anwar XI itu antara lain telah menghasilkan kompisisi dan susunan
pengurus baru Pengurus Besar periode 1966-1969, dimana KH. Uwes Abubakar untuk
ketujuh kalinya terpilih menjadi Ketua Umum.
Selengkapnya,
susunan Pengurus Besar Mathla’ul Anwar periode 1966 – 1969 :
Pelindung : Adam Malik (Menteri Luar Negeri RI)
Ketua
Umum : K.H. E. Uwes Abubakar
Wakil
Ketua : K.H. M. Muslim
Wakil
Ketua : K.H. Abdurrahman Nuh
Wakil
Ketua : K.H. Uyeh Baluqia
Sekretaris
Umum : M. Nahid Abdurrahman
Sekretaris
I : Komari Saleh HG.
Sekretaris
II : E. Khabri
Bendahara : Moh. Amin Taftazani
Wakil
Berdahara : Zaenudin Ramadi
Majelis
Fatwa : K.H.M. Shaleh Su’aedy
Majelis
Pendidikan : K.H. Abdurrozk
K. Djaelani Ilyas
Hubungan LN : Prof. Dr. Abubakar Aceh
Hubungan
DN : Said Sungkar
Perburuhan : Zaenal Abidinsyah
Pertanian : Abdul Syukur
Pen./Da’wah :
K.H.E. Sutisna
Muslimat : Murni Hidayat
Ratu Halimah
Ibu Suhada
Ayu Farichah Amin
Pelajar : M. Irsyad Djuwaeli
Pemuda
Putri : Ayu Etti Sughada
Organisasi : Qomaruddin
Sosial : Damanhuri
Keputusan-keputusan
Muktamar Mathla’ul Anwar XI, selain memilih, menyusun komposisi dan
personalianya, antara lain:
a. Menerima baik dengan suara bulat
kebijaksanaan Ketua Umum selama 10 tahun dari 1956 samapai dengan 1966 di
antaranya pembentukan perwakilan-perwakilan Khusus Mathla’ul Anwar yang
merupakan penggabungan-penggabungan yayasan/organisasi pendidikan lokal, yakni:
Al-Iman di Magelang, Ikhsaniyah di Tegal, Brebes dan Pemalang; Nahdatul Wathaon
di Kediri Nusa Tenggara Barat; Yayasan Pendidikan Banten (YPB) di Serang; YPII
(Yayasan Pendidikan Islam Indonesia) di Jawa Timur yang tersebar di sepuluh
kabupaten; dan Nurul Islam di Tawaeli, Donggala, Sulawesi Tengah.
b. Masuknya Mathla’ul Anwar sebagai
anggota Koordonator Amal Muslimin.
c. Masuknya Mathla’ul Anwar sebagai
anggota Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar).
d. Mengesahkan berdirinya Ikatan
Pelajar Mathla’ul Anwar (IPMA) dan Pemuda Putri Mathla’ul Anwar.
e. Mengesahkan kepengurusan PP
Pemuda Mathla’ul Anwar
f. Menerima baik hasil-hasil Panitia
Penyusunan Rencana Pelajar Terurai untuk madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan
Aliyah.
Pengangkatan
Massal Guru Agama
Pada
tahun 1967, Departemen Agama mengadakan ujian guru agama yang kemudian untuk
diangkat sebagai pegawai negeri dengan status Guru Agama. Maka ratusan abituren Mathla’ul Anwar
dimobilisir untuk mengikuti ujian guru agama tersebut. Dalam hal ini, pengurusnya dikoordinir oleh
M. Nahid Abdurrahman, Moh. Rifa’I, KH. M. Muslim, Moh. Idjen dan pemuda
Mathla’ul Anwar lainnya. Para guru itu
kemudian ada yang diangkat di Kabupaten Pandeglang, Lebak, Bandung,
Tangerang, Serang, Bogor,
Karawang dan ex Keresidenan Lampung.
Banyak diantara mereka itu yang sekarang menyandang sebagai pensiunan,
dan tidak sedikit pula yang meningkatkan kedudukannya sebagai pemilik dan
bahkan menjadi kepala Kantor Pendidikan Agama.
Berdirinya
Partai Muslim Indonesia (Permusi) dengan melalui wadah Koordinator Amal
Muslimin, Mathla’ul Anwar ikut berkiprah mendorong dan mendukungnya. Parmusi merupakan wadah untuk menampung massa Islam yang
tergabung dalam ormas-ormas Islam dan belum memiliki wadah penyalur aspirasi
politiknya, seperti: Muhammadiyah, Persis, PUI, Al-Jamiatul Washliyah,
Mathla’ul Anwar dan lain sebagainya, khususnya yang tergabung dalam Koordinator
Amal Muslimin. Sejak terbentuknya Partai
Muslimin Indonesia
yang didukung oleh ormas-ormas Islam non politik pada tahun 1970, maka
Mathla’ul Anwar dan demikian juga ormas-ormas Islam lain anggota Koordinator
Amal Muslimin menjadi hilang keanggotaannya dalam Sekber Golkar. Dengan berdirinya Parmusi, Ketua Umum
mengumumkan ke daerah-daerah agar Pengurus Daerah Mathla’ul Anwar masing-masing
daerah ikut berperan serta dalam membentuk Parmusi tingkat Kabupaten maupun
Propinsi.
Namun
pengumuman itu ditolak oleh Jawa Tengah. Dimana Komari Saleh HG. Waktu itu
menjabat sebagai koordinator Mathla’ul Anwar Jawa Tengah, yang juga sebagai
sekretaris Pengurus Besar. Ia kemudian
menemui Ketua Umum untuk menjelaskan alasan penolakannya. Bahwa kebijakan Ketua Umum itu menyalahi
Anggaran Dasar yang menyatakan bahwa Mathla’ul Anwar adalah independent. Hal ini dinyatakan sesuai Statemen
Muktamarnya yang VIII tahun 1952 di Ciampea Bogor, Muktamar IX tahun 1953 di
Bandung, ke-10 tahun 1956 di Menes dan ke-11 tahun 1966 di Menes pula.
Ketua Umum, akhirnya menyadari akan
kekhilafan tersebut dan kemudian meralatnya. Namun beberapa daerah yang sudah terlanjur
aktif dan terpilih sebagai Pengurus Parmusi di tempatnya terpaksa tidak dapat
begitu saja menarik diri, lebih-lebih karena sudah mendesaknya waktu Pemilihan
Umum pertama pada zaman Orde Baru.
Karena meninggalnya Ketua Umum, KH.
Uwes Abubakar, pada tahun 1973, bertempat di kota
Bandung,
diselenggarakan Konferensi Luar Biasa yang selain dihadiri oleh selurung
anggota Pengurus Besar dan Majelis
Fatwa. Juga dihadiri utusan-utusan dari daerah tingkat II Pandeglang, Tangerang, Bogor,
Kerawang, Bandung,
Serang, Lebak dan Purwakarta. Konfrensi
itu telah berhasil merevisi susunan Pengurus, Khususnya pengurus besar harian
menjadi sebagai berikut :
Ketua
Umum : K.H.M. Muslim
Wakil
Ketua I : Nafsirin Hadi, SH
Wakil
Ketua II : KH. Abdurrahman Nuh (tetap)
Wakil
Ketua III : K. Uyeh Baluqia (tetap)
Sekretaris
Umum : M. Nahid Abdurrahman
Sekretaris
I : Moh. Rifa’i, menggantikan Komari Saleh HG
yang mengundurkan
Diri dengan alasan berdomisili di Salatiga.
Di
samping itu, konferensi telah menyusun atau program jangka pendek, terutama
untuk secepatnya menyelenggarakan Muktamar Mathla’ul Anwar XII. Konfrensi ditutup dengan rapat umum bertempat
di gedung Merdeka Bandung, sedang pagi harinya diadakan pula perpisahan
silaturrahmi bertempat dikediaman Nafsirin Hadi pada tahun 1974 Ketua Umum
hasil konferensi Bandung, KH.M. Muslim meninggal dunia dan sebagai pejabat
sementara ditetapkan Nafsirin Hadi, SH samapai terpilihnya Ketua Umum baru pada
Muktamar XII.
Muktamar
XII
Menjelang
diadakan Muktamar XII, Pengurus Besar Mathla’ul Anwar mengintruksikan ke
daerah-daerah untuk menyelenggarakan loka karya yang semuanya akan dihadiri
utusan dari Pengurus Besar. Untuk daerah
Jawa Tengah diadakan di Salatiga, daerah Lampung dan Tanjung Karang di
Telukbetung. Begitu juga diadakan di Bogor,
Kerawang, Bandung
dan Pandeglang. Loka karya itu diadakan
di samping untuk kosultasi, dimaksudkan pula sebagai pesiapan agar suksesnya
Muktamar XII berikutnya.
Muktamar XII diadakan di Asrama PHI
Cempaka Putih, Jakarta
pada tahun 1975. Pemilihan pengurus
dalam muktamar tersebut mengalami ketegangan yang cukup panas. Walau demikian, akhirnya disepakati suatu
susunan sebagai berikut:
Ketua
Umum : Nafsirin Hadi, SH
Ketua
I : Ajengan Sya’roni
Ketua
II : KH. E. A. Burhani
Ketua
III : Drs. Yahya Nasution
Ketua
IV : K.H. Cholid
Kelengkapan
susunan Pengurus Besar dipercayakan kepada para Ketua terpilih yang akan
mengadakan sidang beberapa waktu setelah Muktamar selesai. Dan Myktamar XII selesai tanpa mengadakan
resepsi penutupan. Disamping itu,
Muktamar juga menghilangkan badan-badan otonom dan bagian-bagian sebagaimana
susunan Pengurushasil Muktamar XI. Yang
ada tinggal Majelis Fatwa.
Sidang para ketua terpilih yang
diadakan di Bandung
berhasil menetapkan Drs. M. Irsyad Djuwaeli sebagai Sekretaris Umum, Moh.
Rifa’i Sekretaris I, Moh. Idjen Sekretaris II, dan E. Lukman Hakim Sekretaris
III. Bendahara ditetapkan BM Diah yang waktu itu menyatakan dirinya sebagai
pembantu penyandang dana untuk kegiatan Sekretariat. Damanhuri, M. Nahid Abdurrahman dan Hasan
Muslihat ditetapkan sebagai pembantu.
Belum sempat Pengurus Besar
Mathla’ul Anwar hasil Muktamar XII mengadakan aktivitas yang berarti, timbullah
suatu ketegangan antara KetuaUmum dan sekreatris Umum. Akibatnya, Ketua Umum menskor Sekretaris
Umum. Keadaan ini mengakibatkan tidak
berjalannya organisasi. Sementara itu,
Ketua Umum mengangkat Damanhuri untuk menjabat Sekretaris Umum, namun tidak
lama antaranya Damanhuri meninggal dunia.
Kepengurusan hasil keputusan
Muktamar Cempaka Putih ini belum sempat mengadakan kegiatan yang berarti wadah
sekretariat PBMA pun tidak pernah tetap yang ada hanya penggantian Sekjen
sampai 3 kali setelah Drs. Irsyad Djuwaeli yaitu Damanhuri, Komari Saleh dan
Abdulwahid.
Keadaan
organisasi tidak jalan sama sekali oleh karena itu melihat keadaan demikian
timbul pemikiran dari beberapa kader Mathla’ul Anwar untuk menghidupkan
organisasi oleh karena itu kader-kader Mathla’ul Anwar yang terdiri dari :
KH. A.
Syadli
M.
Nahid Abdurrahman
Drs.
M. Irsyad Djuwaeli
H.
Mubin Arshudin
H.
Chowasi Mandala
H. Aim
Mereka
mengadakan gerakan-gerakan untuk menghidupkan Mathla’ul Anwar antara lain
mendesak ketua Umum H. Nafsirin Hadi, SH untuk Pengurus Besar dengan mengajukan
nama-nama yang baru duduk dalam susunan Pengurus Besar Mathla’ul Anwar namun
tidak mendapat tanggapan dari kita semua.
Untuk
mengisi lowongan Sekretaris maka ditunjuk Sdr. H. Nur Sanusi dari Lampung, yang
tidak lama meninggal dalam perjalanan dari Menes menuju Jakarta diganti oleh saudara Abdulwahid
Sahari. Kepungurusan hasil Muktamar
Cempaka Putih tersebut keadaannya tidak stabil malah keadaan organisasi tidak
berjalan sebagaimana mestinya.
Sekretariat Pengurus Besar tidak jelas di mana adanya, muktamar pun tidak bisa
dilaksanakan pada waktunya.
Pada
awal tahun 1985 timbul gagasan dari kader-kader Mathla’ul Anwar untuk turut
menyumbangkan tenaga dan pikirannya agar Mathla’ul Anwar bisa berjalan,
beberapa kali mengajukan usul kepada Ketua Umum
pada waktu H. Nafsirin Hadi, namun gagasan-gagasan itu ditolaknya. Maka tampillah beberapa orang untuk mendesak
Ketua umum agar segera mengadakan Multamar tapi tidak bisa dilaksanakan.
Dan
untuk melaksanakan muktamar ke-13 dibentuklah Panitia yang terdiri dari kader-kader
Mathla’ul Anwar antara lain Ketua H. Moh. Amin, M. Nahid Abdurrahman dan
muktamar diadakan di Menes pada 12 Juli 1985.
Namun pada Muktamar kelak M. Irsyad
Djuwaeli menuntut haknya untuk membela diri atas skorsing atas dirinya yang
dianggap tidak benar itu, setelah adanya pengangkatan.
Muktamar Mathla’ul Anwar XIII yang
diselenggarakan di Menes pada tahun 1985 telah melahirkan komposisi
kepengurusan, antara lain:
Ketua Dewan Pembina :
H. Alamsyah Ratu Perwiranegara
Ketua
Majlis Fatwa : K.H.A. Uyeh Baluqia Syakir
Ketua
Umum PB : K.H.E.A. Burhani
Sek.
Jenderal : Drs. M. Irsyad Djuwaeli
Bendaha
Umum : Ny. Hj. Farihah Uwes
(Data
lengkap terlampir)
Muktamar
Mathla’ul Anwar XIV, merupakan tonggak sejarah bangkitnya kembali Mathla’ul
Anwar, tepat pada masa semaraknya pembangunan nasional bangsa Indonesia. Dari Muktamar ini lahir keputusan-keputusan
organisasi yang sangat berani dalam kondisi iklim Mathla’ul Anwar pada waktu
itu. Diantara keputusan tersebut adalah
menerima Pancasila sebagai satu-satunya azas organisasi yang dicantumkan dalam
Anggaran Dasar, yang kemudian menjadi suatu keharusan bagi setiap organisasi
kemasyarakatan di Indonesia. Setahun kemudian menyusul pula kesepakatan
yang menjadi kebijakan organisasi yaitu menyalurkan aspirasi politik anggota
Mathla’ul Anwar dalam pemilihan umum untuk kemenangan Golongan Karya.
Keputusan bersejarah tersebut
mempunyai dampak yang sangat luas dalam berbagai kegiatan organisasi di segala
bidang di kemudian hari. Berbagai
terobosan dilakukan untuk mengembangkan Mathla’ul Anwar pada masa kejayaannya
yang pernah dirasakan pada waktu-waktu sebelumnya.
Wilayah-wilayah
dan daerah-daerah kepengurusan Mathla’ul Anwar semakin meluas menyebar di tanah
air Indonesia. Lembaga-lembaga pendidikan yang sebelumnya
menurunkan papan nama dan aktivitasnya dapat bangkit kembali mesli secara
perlahan-lahan. Anggota dan simpatisan
organisasi yang sebelum tercerai beraimulai terhimpun kembali, jatingan
komunikasi organisasi antara wilayah dan daerah dengan pusat menjadi lebih
lancar. Lembaga-lembaga dan
organisasi-organisasi penunjang mulai bangkit dengan melakukan berbagai
aktivitasnya, seperti bangkitnya kembali organisasi pemuda melalui Generasi
Muda Mathla’ul Anwar. Begitu juga dengan
organisasi Muslimat dan kegiatan Majelis Fatwa yang semakin aktif, hubungan
dengan pemerintah semakin harmonis yang berdampak pada diperolehnya banyak
kemudahan dari pemerintah dalam melakukan kegiatan organisasi. Peningkatan kegiatan di atas, tercermin dalam
penyelenggaraan muktamar XIV yang diselenggarakan di Jakarta pada tahun 1991. Dimana jumlah pengurus wilayah yang
sebelumnya tinggal 3 wilayah yang dianggap aktif sudah meningkat menjadi 14
wilayah yang aktif, telah banyak wakil-wakil perguruan pendidikan yang
mengikuti Muktamar. Generasi Muda
Mathla’ul Anwar dan Muslimat Mathla’ul Anwar dipercaya menjadi orfganisasi
badan otonom.
Mengembangkan
Da’wah Bilhal
Muktamat
Mathla’ul Anwar XIV tahun 1991 yang diselenggaran di Jakarta melahirkan komposisi kepengurusan
antara lain:
Ketua Dewan Pembina : H. Alamsyah Ratu Perwiranegara
Ketua
Umum : Drs. H.M. Irsyad Djuwaeli
Sekretaris
Jenderal : M. Nahid Abdurrahman
Bendahara : Zaenal Abidinsyah
Ketua
Majlis Fatwa : KH. E.A. Burhani
(Data
lengkap terlampir)
Muktamar
XIV merupakan Muktamar Mathla’ul Anwar pertama yang dibuka oleh pimpinan
negara, yang dalam hal ini dibuka oleh wakil Presiden Sudarmono, SH. Sejak itu banyak pengamat menanggapi bahwa
Mathla’ul Anwar yang biasanya melakukan kegiatannya di daerah-daerah (pedesaan)
mulai berkiprah kuat di kota dengan istilah”ayam
kampung masuk kota”.
Mulai saat itu kegiatan organisasi meningkat terus
baik secara kuantitatif maupun kualitatif di bawah kepemimpinan Drs. H.M.
Irsyad Djuwaeli. Wilayah dan daerah
Mathla’ul Anwar terus berkembang dari 14 propinsi hingga mencapai 24
propinsi. Pembinaan dalam bidang
pendidikan terus ditingkatkan. Banyak
gedung sekolah (perguruan tinggi) baru dibangun dan lebih banyak lagi
merehabilitasi bngunan-bangunan madrasah yang sudah ada. Kegiatan-kegiatan pembinaan pendidikan mulai
aktif dilakukan, kunjungan-kunjungan organisasi bagi pengurus wilayah maupun
daerah secara aktif pula dilakukan Pengurus Besar Mathla’ul Anwar.
Program-program terobosan banyak
yang berhasil dilakukan. Diantaranya
program pengumpulan dana wakaf/hibah firdaus yang dikenal dengan “Dana
Firdaus”, bekerjasama dengan BRI.
Kegiatan ini mendapat respon positif dari berbagai pihak, termasuk Presiden RI. Begitu pula program perngentasan kemiskinan
dalam rangka meningkatkan kualitas sosial ekonomi pemuda desa untuk mandiri
melalui program orang tua angkat. Pada
periode ini juga, dengan wakaf dan hibah dari beberapa dermawan dapat dibangun
komplek Universitas Mathla’ul Anwar di Cikaliung, Pandeglang, Banten, yang di
dalamnya juga didirikan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Mathla’ul Anwar (STIEMA)
dan Madrasah Aliyah Keagamaan Mathla’ul Anwar (MAKMA) di atas tanah 7 Ha dan
dilengkapi dengan asrama dan Pondok Pesantren, yang diresmikan oleh Wakil
Presiden RI pada tahun 1993. Badan Autonom dan lembaga penunjang ialah:
Muslimat Mathla’ul Anwar (MUSMA); Generasi Muda Mathla’ul Anwar (GEMMA).
Adapun
lembaga penunjang ialah:
1.
LKBH
MA (lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Mathla’ul Anwar)
2.
Lembaga
Pengembangan Koperasi
3.
Lembaga
Bimbingan Haji dan Umroh
Untuk
melaksanakan amanat Muktamar XIV, maka Muktamat XV dilaksanakan di Jakarta bertempat di
Asrama Haji Pondok Gede dan dibuka oleh Wakil Presiden RI H. Tri Sutrisno.
Salah satu keberhasilan HM. Irsjad Djuwaeli dalam membangun jaringan Mathla’ul
Anwar ke berbagai daerah di hampir seluruh propinsi di Indonesia, serta
mendirikan Universitas Mathla’ul Anwar, maka pada muktamar XV menetapkan
kembali HM. Irsjad Djuwaeli sebagai Ketua Umum PB Mathlaul Anwar dan Sekretaris
Jenderalnya adalah Drs. HM. Syatibi Mukhtar. Pada masa ini Mathla’ul Anwar
telah kehilangan putra terbaiknya, yaitu meninggalnya Ketua Dewan pembina
Mathla’ul Anwar H. Alamsyah Ratu Perwiranegara yang selama itu sangat berjasa
dalam membesarkan organisasi ini. Sepeninggalan beliau, PB. Mathla’ul Anwar
mengangkat HR. Hartono selaku Ketua Dewan Pembina Mathla’ul Anwar.
Muktamar
XVI
Dalam siatuasi krisis ekonomi
nasional yang berkepanjangan, serta peralihan kepemimpinan nasional yang
ditandai dengan gemuruhnya semangat demokratisasi dan partisipasi rakyat,
Mathla’ul Anwar melaksanakan Muktamar XVI pada 26-30 Oktober 2001 di Bojolali,
Jawa Tengah. Isu sentral yang diangkat dalam pokok-pokok pikiran muktamar
antara lain adalah mendukung pemerintah dalam memberantas KKN, penegakan supremasi
hokum, demokratisasi dan pengembangan partisipasi masyarakat dalam pembangunan.
Dalam era reformasi ini Mathla’ul
Anwar menegaskan kembali perjuangannya dalam bidang pendidikan, dakwah dan
sosial sebagai sebuah gerakan ke arah peningkatan mutu dan kualitas kehidupan
bangsa. Dalam hal ini Mathla’ul Anwar mendesak pemerintah untuk mengubah UU
Pendidikan nasioanl agar tidak diskriminatif dalam pembiayaan pendidikan antara
sekolah-sekolah swasta dan negeri, mendesak pemerintah untuk mengubah kurikulum
pendidikan yang memungkinkan madrasaf agar tetap berfungsi sebagai lembaga
pendidikan nasional, serta menambah jam pelajaran materi pendidikan agama di
sekolah-sekolah umum menjadi 6 jam pelajaran di tingkat SD dan 4 pelajaran di
tingkat SLTP dan SLTA. Juga Mathla’ul Anwar memperjuangkan otonomi pendidikan.
Muktamar Bojolali ini menghasilkan
komposisi pengurus, antara lain sbb:
Ketua
Penasihat : HR. Hartono
Ketua
Umum PB : HM. Irsjad Djuwaeli
Sekretaris
Jenderal : H. Usep Fathuddin, MPs.
Ketua
Majlis Fatwa : KH. Wahid Sahari, MA
(Data
lengkap terlampir)
Muktamar
XVII
Muktamar XVII di Pondok Gede Jakarta
2005, bersamaan dengan peringatan Hari Ulang Tahun Mathla’ul Anwar ke 89,
dibuka resmi oleh Wakil Presiden
RI. Drs. H. Muhamad Jusuf Kalla,
dan ditutup oleh Ketua DPR RI H. R. Agung Laksono dengan diperkaya masukan dari beberapa nara sumber yaitu : Menteri Perindustrian,
Menteri Agama, Menteri Pendidikan Nasional dan Menteri Sosial.
Masukian-masukan dari para nara sumber itu sangat
membantu Muktamar dalam pembahasan-pembahasan yang mengacu pada Muktamar
yaitu:” Revitalisasi Mathla’ul Anwar
melalui tiga amal: Konsolidasi organisasi, Pendidikan dan Da’wah, serta
ekonomi dan sosial.
Muktamar kali selain menghasilkan
AD/ART, juga menetapkan formatur sebagai berikut:
Ketua : Drs.H.M. IRSJAD DJUWAELI
(Ketua Umum terpilih)
Anggota : 1. Drs.
H. A. SYIHABUDIN, MM
( Pengurus Besar Demisioner)
2. Ir.
H. SURYADI SAF
(Pengurus Wilayah DKI Jakarta)
3.MOCH.
FIRASAT MOKODOMPIT, SE
( Pengurus Wilayah Prop. Sulawesi Utara)
4. K. M. FUAD ABDURRAHMAN
(Pengurus Wilayah MA Prop. Lampung)
Susunan Kepengurusan selengkapnya
terlampir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar